Cover Buku |
Kebanyakan buku sejarah
tentang Banyuwangi masih berupa kumpulan artikel sejarah. Yang mana hanya
mengupas penggalan-penggalan sejarah secara singkat. Sedikit sekali ada buku
sejarah yang fokus membahas satu bagian sejarah tentang Banyuwangi secara utuh.
Diantara yang sedikit tersebut,
buku Hoo
Tong Bio; Kisah Klenteng Tertua di Ujung Timur Jawa 1965-2014 adalah salah
satunya.
Buku yang ditulis oleh
Ika Ningtyas ini menuturkan tentang sejarah sebuah klenteng tertua di
Banyuwangi, Klenteng Hoo Tong Bio, beserta kehidupan etnis Tionghoa yang
menghidupinya. Namun, buku tersebut lebih mengfokuskan perkembangan dan
dinamika Klenteng Hoo Tong Bio selama tahun 1965 – 2014 yang begitu erat
kaitannya dengan kebijakan politik pemerintah.
Meski buku tersebut
hanya memfokuskan pada tahun 1965 hingga 2014, namun buku ini juga menyajikan
sejarah tentang etnis Tionghoa secara garis besar di Indonesia dan dari masa ke
masa. Mulai pertama kali masuk ke Indonesia, kemudian masuk ke Banyuwangi. Lalu
perkembangannya sejak masa kerajaan, kolonial, dan juga awal-awal kemerdekaan.
Pada bagian pertama buku
ini, menyorot tentang awal mula masuknya etnis Tionghoa ke Indonesia. Mengutip
Groneveldt, orang Tionghoa yang pertama kali menginjakkan kaki ke nusantara
adalah Faxian, seorang peziarah Budhis, yang diperkirakan terjadi pada tahun
413 M (hal.2). Setelah itu, gelombang kedatangan orang-orang Tiognhoa makin
masif, terutama pada abad ke-15 dan abad ke-16. Dimana kebanyakan wilayah yang
dituju adalah Jawa dan Sumatra.
Pola migrasi orang
Tionghoa yang ke Jawa dan ke Sumatra atau Kalimantan sangat berbeda. Jika di
Sumatra dan Kalimantan, migrasi orang Tionghoa cenderung berkelompok dan
berjumlah besar. Sedangkan yang ke Jawa, pola migrasinya dilakukan dalam
kelompok-kelompok kecil. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan
tradisi dari etnis Tionghoa itu sendiri. Jika di Sumatra yang kehidupan orang
Tionghoanya berjumlah besar, mereka mampu mempertahankan budaya maupun bahasa
Mandarin sampai beberapa generasi. Sedangkan yang bermigrasi ke Jawa, karena
berkelompok kecil, mereka berupaya untuk berbaur dengan penduduk setempat.
Sehingga pada generasi selanjutnya, kebanyakan dari mereka sudah kehilangan
bahasa Mandarinnya (hal.5).
Sedangkan migrasi orang
Tionghoa ke Blambangan (Kerajaan yang berada sebelum Kabupaten Banyuwangi
berdiri), diperkirakan pertama kali pada abad ke-14. Saat itu, pasukan
Laksamana Cheng Ho melakukan perjalananannya ke Kerajaan Majapahit dan
Blambangan. Kedatangannya ke Blambangan terjadi pada tahun 1405 M (hal. 39).
Dalam Babad Notodiningratan, menyebutkan bahwa etnis Tionghoa mulai menetap di
Blambangan berkisar pada tahun 1631 M. Namun dalam perpindahannya yang masif ke
Blambangan diduga kuat terjadi pada tahun 1740. Dimana pada tahun itu, etnis
Tionghoa banyak mengalami pembantaian di Batavia dan merambat sampai ke Semarang
(hal.49).
Motif kedatangan orang
Tionghoa di Banyuwangi, maupun di Indonesia secara keseluruhan, sebagian besar
karena faktor ekonomi dan politik. Demi untuk berlindung dari kebijakan politik
yang tidak aman mereka melakukan migrasi. Juga mereka melakukan kegiatan-kegiatan
ekonomi yang menuntut mereka untuk berdiaspora dari tanah kelahirannya.
Kegiatan ekonomi etnis
Tionghoa tidak melulu dalam sektor perdagangan sebagaimana jamak kita ketahui
saat ini. Ada beragam profesi yang ditekuninya, seperti pertukangan, arsitektur
dan pertanian. Sebagaimana di Banyuwangi, etnis Tionghoa banyak juga yang menekuni
dunia pertukangan. Asal usul nama Kelurahan Tukangkayu di Banyuwangi erat
kaitannya dengan profesi etnis Tionghoa tersebut.
Dimana Kelurahan
Tukangkayu dan Kelurahan Karangrejo (tempat berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio),
merupakan bekas daerah Pecinan. Kelurahan Tukangkayu dikenal dengan daerah
Pecinan Kulon (Barat) yang banyak dihuni oleh imigran yang berprofesi sebagai
tukang kayu. Dan Pecinan Wetan (Timur), yang saat ini dikenal dengan Kelurahan
Karangrejo (hal. 54).
Klenteng
Hoo Tong Bio
Klenteng adalah tempat
ibadah layaknya masjid bagi umat Islam, gereja bagi umat Kristiani atau pura
bagi umat Hindu. Klenteng diperuntukkan untuk tempat memuja dan melakukan
upacara-upacara keagamaan penganut Kong Hu Cu. Yang unik, istilah klenteng
sendiri bukan berasal daari Tiongkok, namun asli dari model penamaan masyarakat
Nusantara. Dalam dialek Hokkian, klenteng di Tiongkok dikenal dengan sebutan miao. Adapun nama klenteng itu diduga
berasal dari cara masyarakat Indonesia mengidentifikasi tempat tersebut dari
suara genta raksasa yang menjadi salah satu tradmark klenteng. Genta yang
mengeluarkan bunyi “klenteng” itu
lamban laun dijadikan nama tempat pemujaan tersebut (hal. 35-36).
Klenteng sendiri ada
beberapa klasifikasi, mulai dari klenteng umum, spesifik, sampai keluarga. Hal
ini tergantung dari penggunaannya dan dewa yang disembahnya (hal. 37). Dari
klasifikasi tersebut, Klenteng Hoo Tong Bio termasuk klenteng umum. Dimana
penggunaanya terbuka untuk pemujaan bagi beberapa dewa yang diyakini oleh tiga
kepercayaan; Budha, Tao dan Kong Hu Cu. Dimana ketiganya menyatu dalam ajaran
yang disebut dengan Tri Darma.
Keistimewaan klenteng
ini adalah adanya dewa lokal yang disembah, yaitu Dewa Tan Hu Cin Jin. Dewa tan
Hu Cin Jin juga dijuluki dengan Kongco
diangkat sebagai dewa karena dianggap sebagai leluhur yang menyelamatkan orang
Tionghoa di Blambangan pada masa kolonialisme Belanda (hal. 60).
Menurut Claudine Salmon
dan Myra Sidharta, berdasarkan pada naskah bertajuk Tjeritanja Kongtjo Banjowangi,
menceritakan bahwa Tan Hu Cin Jin (baca: Chengfu Zhenren) atau yang berarti
“Manusia Sejati Tan” merupakan seorang juragan perahu sloop yang pertama yang
berlayar ke Bali dari Batavia. Namun, dalam perjalanannya, kapal yang
dinaikinya pecah dan terdampar di Blambangan. Disinilah Tan Hu Cin Jin
dipercaya sebagai arsitek kerajaan Blambangan yang baru di Macan Putih (hal.
60-61).
Awalnya Klenteng Hoo
Tong Bio ini dibangun di Lateng,
Rogojampi. Bangunan ini masih berupa rumah yang dibangun sebagai bentuk
penghormatan terhadap Tan Hu Cin Jin. Rumah penghormatan ini kemudian dipindah
ke Banyuwangi setelah adanya perampasan tanah oleh VOC. Dalam cerita yang
bersumber pada naskah diatas, menyebutkan penyerobotan lahan ini terjadi pada
tahun 1765, namun pada kenyataannya terjadi pada tahun 1767 9hal. 64).
Tak ada tahun pasti
kapan klenteng ini pertama kali dibangun. Namun pengelola klenteng menyandarkan
tahun berdirinya Klenteng Hoo Tong Bio pada sebuah prasasti yang berupa panel
kayu bertuliskan kaligrafi Tiongkok. Dalam prasasti tersebut tertulis nama Tan
Cu Jin dan bertanggal Qianlongflacan
yang bertepatan dengan tahun 1784 M. Kemudian klenteng tersebut mengalami
beberapakali renovasi. Berdasarkan beberapa prasasti menunjukkan klenteng
tersebut direnovasi pada tahun 1848 M dan pada musim dingin 1898/99 M (hal.
60).
Dalam perkembangannya,
Klenteng Hoo Tong Bio ini menjadi klenteng induk untuk beberapa klenteng yang
menyembah Dewa Tan Hu Cin Jin. Klenteng-klenteng tersebut antara lain:
Klenteng Tik Liong Tian di Rogojampi
(Banyuwangi), Klenteng Poo Tong Bio di
Besuki (Situbondo), Klenteng Liong Coan Bio (Probolinggo), Klenteng Kong
Co Bio (Tabananan, Bali), Klenteng Leeng Gwan Kiong (Singaraja, Bali), Klenteng
Leen Gwan Bio (Kuta, Bali), Klenteng Cung Ling Bio (Jembrana, Bali) dan
Klenteng Pao Hwa Kong (Ampenan, Lombok).
Perkembangan klenteng
dan juga etnis Tionghoa mengalami masa suram kala memasuki orde baru
(1965-1998). Tragedi kemanusiaan pada tahun 1965 yang melimbatkan PKI, membuat
pemerintah melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut pemerintah,
etnis Tionghoa memiliki peranan dalam pemberontakan PKI. Setidaknya ada delapan
aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah orde baru yang diskriminiatif terhadap
etnis Tionghoa ( hal. 13 – 14).
Peraturan diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa itu sangat berpengaruh besar dalam kehidupan sosial
budayanya. Termasuk kalangan etnis Tionghoa di Banyuwangi. Etnis Tionghoa tidak
bisa leluasa melaksanakan ibadah di klenteng. Perayaan dan pemujaan, seperti
Cap Go Meh dan Liang Leong tidak lagi bisa ditampilkan. Yang sangat tragis
adalah tentang konversi agama sebagian etnis Tionghoa. Mereka , karena tidak kuat
menghadapi diskriminasi, merubah keyakinan agamanya dari Kong Hu Cu menjadi
Budha, Katolik ataupun Islam (hal. 92). Adapun yang tetap kukuh mempertahankan
kepercayaan Kong Hu Cu-nya, tetap secara administrasi kependudukan ditulis
sebagai bagian dari umat Budha. Klenteng juga dipaksa merubah nama. Dari Klenteng
Hoo Tong Bio menjadi TITD Nara Raksita (hal. 67).
Perkembangan yang tidak
kondusif terhadap etnis Tionghoa juga berimbas pada keberadaan klenteng. Klenteng
banyak ditinggal jama’ahnya. Juga tidak bisa melakukan renovasi dan
pengembangan. Selain kondisi yang tidak memungkinkan, juga keuangan klenteng
yang disokong etnis Tionghoa dalam masa kekurangan (hal. 69). Praktis klenteng
diawal orde baru itu tanpak sederhana dan kecil. Klenteng hanya terdiri dari altar
Tuhan dan ruang dewa-dewi (hal. 68).
Sebelum tahun 1980,
pihak klenteng pernah melakukan pembangunan. Setelah mendapat izin dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi, pihak klenteng membangun ruang pemujaan
Taoisme dan Kong Hu Cu di sebelah selatan (hal. 69). Setelah tahun 1980, izin
untuk perluasan tidak bisa dilakukan lagi.
Baru pada tahun 2003, setelah Instruksi Presiden no. 14 tahun 1967
dicabut oleh KH. Abdurrahman Wahid, sebagai presiden RI kala itu, pembangunan
dan segala aktivitas klenteng kembali normal. Mereka bisa melakukan perayaan
secara bebas dan dapat melakukan pembangunan klenteng. Klenteng Hoo Tong Bio
melakukan renovasi besar-besaran. Tidak hanya menambah beberapa altar untuk
melakukan pemujaan kepada dewa-dewi, tapi gedung-gedung penunjang juga
dibangun. Ruang serba guna, sarana olahraga, dan gudang juga dibangun
dikompleks seluas 70 x 50 meter tersebut. Pembangunan yang masif tersebut
menasbihkan klenteng Hoo Tong Bio sebagai klenteng terbesar di ujung timur
pulau Jawa.
Kemegahan itu terus
bertahan hingga berakhir pada suatu petaka; kebakaran. Api melalap hampir
sebagian besar klenteng. Prasasti dan benda-benda bersejarah ikut terlalap si
jago merah. Penulis yang juga sebagai koresponden Tempo memuatkan
pemberitaan-pemberitaan terkait peristiwa kebakaran tersebut di bagian akhir
buku setebal 143 (+ xxv) halaman ini.
Dari buku yang diterbitkan
oleh Perempuan Bertutur ini, ada banyak pengetahuan baru tentang kehidupan
etnis Tionghoa dan keberadaan Klenteng Hoo Tong Bio sebagai penanda peradaban
mereka di ujung timur pulau Jawa. Namun, justru dari desakan informasi itu
memunculkan tanda tanya lain yang datang silih berganti. Pertanyaan yang menuntut
untuk dilakukannya penelitian lanjutan untuk menguak semakin gamblang peranan etnis
Tionghoa di Banyuwangi ini.
Pembabakan antara tahun 1965 sampai 2014, menurut hemat saya,
adalah pembabakan berdasarkan produk politik. Sehingga - seyogyanya - sejarah tentang
perpolitikan etnis Tionghoa juga harus dikupas. Etnis Tionghoa - sebagaimana dalam buku ini - tidak hanya dinarasikan sebagai obyek politik, tapi bagaimana peranan etnis tersebut sebagai subyek politk. Misalnya tentang bagaimana tentang orentasi
politik orang Tionghoa? Apakah partai politik juga melakukan penggalangan massa
di klenteng sebagaimana di masjid-masjid kala itu? Dan juga berderet pertanyaan
lain.
Saya kira,
tanggungjawab Kak Ika Ningtyas sebagai penggiat sejarah dalam Komunitas Sejarah
Blambangan (Koseba), telah ditunaikan. Tinggal tugas kita untuk melanjutkan
penelitian dan meneruskan pembukuan-pembukuan sejarah Banyuwangi yang masih
membelantara ini. Mari...
Ayung Notonegoro,
Penggiat Literasi Banyuwangi.
1 komentar:
Bagaimana cara memesan buku ini
Posting Komentar