Merdeka: Penggiat Literasi Merayakan Kemerdekaan Indonesia di Puncak Ijen |
“Negeri
Indoensia ketika itu merdeka, tetapi penduduk Indonesia, rakyat jelata
Indonesia, Marhaen Indonesia adakah ia merdeka? Marhaen Indonesia tidak pernah
merdeka.” Mereka hanya menjadi perkakas saja dari raja-raja itu dengan segala
bala keningratannya...”
Penggalan dari buku Mencapai Indonesia Merdeka, tulisan Ir.
Soekarno itu dibacakan oleh Saifudin Zuhri – kelak dia menjadi Menteri Agama,
begitupula anaknya yang bernama Lukman Hakim Saifudin juga menjadi Menteri
Agama RI untuk saat ini - dihadapan para pengurus takmir masjid. Kemudian para
takmir itu berdiskusi tentang kemerdekaan dan penjajahan. [1]
Kisah masa kecil KH.
Saifudin Zuhri yang ditulis autobiografinya, Berangkat Dari Pesantren, itu menggambarkan bahwa dunia literasi
ikut memainkan peran penting dalam mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia ini.
Dengan segala keterkungkungan penjajah Belanda, media tulis menulis menjadi
solusi. Lewat tulisan – tulisan, baik berupa buku, koran ataupun pamflet –
gagasan kemerdekaan, propaganda perlawanan terhadap penjajah dan hal ihwal
upaya pencerdasan segenap anak bangsa disebarkan.
Setelah era politik
etis – akhir abad ke-19 – yaitu dengan dibukanya lembaga pendidikan (sekolah)
yang mengajarkan cara membaca dan menulis dalam huruf latin, perkembangan dunia
literasi latin pun bergeliat. Pada awal kebangkitan nasional, hampir setiap
organisasi atau kumpulan apapun mempunyai produk literasi. Baik berupa buku,
jurnal, majalah ataupun koran. Misalnya, dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917)
– inspirator berdirinya organisasi Budi Utomo – menerbitkan majalah Ratnadoemilah. Adapula jurnal Bintang Hindia yang diterbitkan pertama
kali di Belanda pada tahun 1902 oleh Abdul Rivai (l. 1871). Dan banyak lagi
terbitan lainnya.
Memang pada beberapa
dekade menjelang kemerdekaan (1900-1930) itu, tak banyak orang yang bisa
membaca huruf Latin. Sebagaimana sensus yang dilakukan pemerintah kolonial pada
tahun 1930, jumlah penduduk seluruh kepulauan di Indonesia tak lebih dari 7,4 %
saja. Perinciannya: di Sumatera 13,1 %, di Jawa dan Madura 6% serta di Bali dan
Lombok 4%. Dan presentase terbesar berada di Ambon yang mencapai 50% [2]. Namun
hal tersebut tidak menghalangi rakyat Indonesia untuk berliterasi.
Sebagaimana dikisahkan
oleh Saifudin Zuhri diawal tulisan ini, orang yang bisa membaca bertugas untuk
membacakan buku tersebut didepan para audien yang tidak bisa mengakses bacaan.
Kemudian yang mendengarkan itu mendiskusikannya antar sesama pendengar dan
pembaca itu sendiri. Proses yang demikian tak ubahnya sistem pengajaran di
pesantren, yaitu sistem bandongan.
Sistem bandongan adalah sistem
pembelajaran kitab kuning di pesantren dimana qori (pembaca kitab), membacakannya dihadapan para santri.
Namun sebenarnya,
peranan literasi dalam membangun kesadaran nasional dan kemerdekaan serta
perlawanan terhadap penjajah tidak hanya baru muncul pada awal abad ke-20 saja.
Sebelum diterapkannya politik etis yang mengajarkan aksara Latin, penduduk
Indonesia sejatinya telah berliterasi. Baik dengan menggunakan aksara Jawa,
aksara Pegon maupun aksara Arab.
Proses literasi dalam
kerangka melawan penjajah berkembang pada abad ke-17. Banyak karya tulis yang
mengabadikan dan menyerukan perlawanan terhadap penjajah. Diantaranya adalah
karya Syekh Abdus Samad al-Falimbani (1116 -1203 H / 1704-1788 M), yang
berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul
Mukminin fi Fada’ilil Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin (Nasihat
bagi orang-orang muslim dan pengingat bagi orang-orang mukmin tentang keutamaan
jihad di jalan Allah dan kemulyaan orang-orang yang berjihad). Kitab yang
ditulis menggunakan aksara dan bahasa Arab ini sendiri merupakan kajian dalam
bidang fiqih dan tasawuf, namun sarat dengan seruan untuk melawan penjajahan.
Dari kitab inilah, salah satu pahlawan nasional dari Aceh, Tengku Cik Di Tiro
terinspirasi untuk melakukan perlawan terhadap penjajah [3].
Di Indonesia timur juga
muncul banyak karya tulis yang menyerukan tentang perlawanan terhadap penjajah.
Rijali, seorang penulis asal Ambon, menulis Hikayat
Tanah Hitu, dalam bahasa Melayu dan menggunakan aksara Arab Pegon yang
mekonstruksi sejarah Ambon, dimana meletakkan Portugis dan Belanda sebagai
penjajah “kafir” yang harus dilawan. Di Makasar juga muncul karya literasi
berjudul Syair Prang Makasar yang dianggit oleh
Encik Amin. Tulisan tersebut menggunakan aksara Arab Pegon dan bahasa Melayu.
Isinya berupa pujian pada Pangeran Hasanudin yang melawan penjajah Belanda [4].
Pasca perang Jawa (1725
– 1730 M), banyak para pengikut Pangeran Diponegoro yang notabane-nya adalah para ulama dan pendakwah mengubah stategi
perlawanan terhadap penjajah. Selain masih menggunakan konfrontasi fisik,
mereka juga mulai melakukan kaderisasi strategis dengan mengedepankan
pendidikan (pesantren). Lewat pesantren itulah, dunia literasi sebagai bagian
dari perjuangan melawan penjajah dilaksanakan.
Salah satunya adalah
yang dilakukan oleh Kyai Abdus Salam. Selain seorang pendekar pilih tanding,
eks pasukan Pengeran Diponegoro ini juga merupakan juru dakwah dan ulama. Usai
ditangkapnya Pangeran Diponegoro, Kyai Abdus Salam menggeser area perjuangannya
dari Tegalrejo menuju ke arah timur, Tambakberas Jombang. Disini beliau
mendirikan pesantren yang kelak dikenal dengan pesantren Bahrul Ulum,
Tambakberas Jombang. Dari keturunan Kyai Abdus Salam dikemudian hari lahir para
faunding faather bangsa Indonesia.
Diantaranya adalah KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahab Hasbullah yang kelak
memprakarsai resolusi jihad pada perang kemerdekaan [5].
Keberadaan pesantren
kala itu, tidak hanya mengajarkan literasi ilmu-ilmu keagamaan saja. Namun,
beragam ilmu militer guna melawan penjajah juga diajarkan. Diantara naskah yang
diajarkan dan kemudian dirampas Belanda dan kini tersimpan di perpustakaan
Lieden, yaitu satu teks dengan kode Lor 5738 bis yang berjudul Mbedil (menembak) [6].
Ilmu-ilmu kemiliteran
ini, dipelajari dari teks-teks Spanyol-Portugis dan Turki-Utsmaniyah yang
diterjemahkan oleh kalangan santri-mustami’
(meminjam istilah Ahmad Baso), di Bontoala-Makasar yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Bugis dan Makasar. Diantara teks tersebut ditulis oleh komandan artileri
Raja Katela (spanyol), Andrea Ri
Monyona dibuat pada tahun 1635 dan 1652. Dan juga tulisan Haji Bankatasi
(dialek Bugis dari Haji Bektash), yang merupakan komandan artileri Kesultanan
Turki Utsmani asal Anatolia [7].
Banyaknya pesantren
yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajah, membuat Belanda seringkali
melakukan razia ke pesantren. Salah satu diantara targetnya adalah dengan
merampas kitab-kitab pesantren yang menjadi media perjuangan literatif.
Sebagaimana sebuah surat yang ditulis oleh Snouck Hurgronje tentang perampasan
ini:
“Akhirnya
saya memperoleh sejumlah naskah yang saya bawa dari Hindia-Belanda untuk saya
sampaikan. Berikut ini terlampir koleksi naskah-naskah yang sebagian berbahasa
Arab, sebagian lagi dalam bahasa Jawa (dalam huruf Jawi atau Arab Pegon).
Beberapa tahun lalu naskah-naskah itu saya peroleh sari kota Serang (Banten)
yang sebelumnya tersimpan dan ditahan selama 16 tahun, yang kemudian saya bawa
ke Batavia. Kebanyakan naskah-naskah tersebut bertema keagamaan, yang disita
dari seorang pribumi yang dituduh melakukan agitasi anti pemerintah
[kolonial].” [8].
Dari fakta sejarah
diatas dapat disimpulkan bahwasannya literasi memiliki peranan yang tidak kecil
dalam mencapai kemerdekaan bangsa ini. Dengan literasi menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya kemerdekaan dan perjuangan melawan penjajah serta peningkatan
aneka ragam ilmu pengetahuan. Maka, diperingatan 70 tahun kemerdekaan bangsa
Indonesia kali ini, kesadaran akan pentingnya literasi pun harus kembali
digalakkan. Membaca dan menulis tentang penyadaran dan pencerdasan kehidupan
bangsa menjadi instrumen penting dalam mengisi kemerdekaan ini.
Ayo berliterasi...!
Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi
Fotenoot:
1.
Berangkat
Dari Pesantren, KH. Saifudin Zuhri, LkiS: Yogyakarta,
Cet. 1, 2013. Hal. 99 – 102.
2.
Sejarah
Indonesia Modern 1200 – 2008 (terjemah), MC. Ricklefs.
Serambi: Jakarta, Cet. 1, 2008. Hal. 346.
3.
Ensiklopedi
Penulis Pesantren: Biografi Singkat Para Penulis Pesantren (Mulai Abad 14
Hingga 21 Masehi), A. Mubarok Yasin. Pustaka Tebuireng:
Jombang, Cet. 1, 2009. Hal. 39-41.
4.
Pesantren
Studies 2a, Ahmad Baso, Pustaka Afid: Jakarta, Cet.
2, 2013. Hal. 275
5.
Laskar
Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Zainul Milal Bizawie.
Pustaka Compass: Jakarta. Cet. 1. 2014. Hal.50-51
6.
Ibid,
Ahmad
Baso. Hal. 303
7.
Ibid,
Ahmad
Baso. Hal. 275-276.
8.
Naskah surat asli tersebut dapat dilihat
di , Witkam, Inventory, vol.6
hal.159-60. Diterjemahkan oleh Ahmad Baso dalam catatan kaki buku Pesantren
Studies 2a, halaman 144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar