menu

Minggu, 18 Oktober 2015

Bugyatul Mustarsyidin, Kitab Pijakan Awal Resolusi Jihad


Salah satu cetakan Kitab Bugyatul Mustarsyidin


(a). Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikapdan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.
(b) Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia dan Agama Islam.

Demikianlah keputusan yang kelak menggerakkan rakyat Indonesia, khususnya Jawa, bertempur dengan sengit melawan NICA di pertempuran Surabaya pada 10 Nopember 1945. Keputusan yang dikenal dengan Resolusi Jihad tersebut dikeluarkan oleh Hoobestur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini mengadakan pertemuan dengan semua konsul NU se-Jawa Madura di Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945.

Hadratusysyekh KH. Hasyim Asyari, Rois Akbar NU, tentu tidak sembarangan dalam mengeluarkan keputusan tersebut. Sebagai seorang yang begitu menguasai ilmu fiqih, tentu setiap keputusannya didasarkan pada keilmuwan sekaligus keyakinan beragamanya tersebut. Apalagi keputusan dalam bidang keagamaan, sebagaimana seruan untuk jihad fi sabilillah.

Dalam perspektif fiqih, jihad fi sabilillah dalam rangka membela negara (wilayah / balad ) diperbolehkan hanya untuk mempertahankan Darul Islam (Negara Islam). Lantas, apakah Indonesia merupakan darul islam  yang diperkenankan untuk jihad fi sabilillah dalam mempertahankannya?

Pertanyaan tentang status Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda), telah mengemuka dan diputuskan oleh Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 M. Dalam muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) adalah sebagai darul islam. Hal ini didasarkan pada kitab Bugyatul Mustarsyidin:

مسألة : كل محل قدر مسلم ساكن به في زمن من الأزمان يصير دار إسلام تجري عليه أحكامه في ذالك الزمان ومابعده وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لاحكما فعلم أن أرض بتاوي وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها قبل الكفار

“Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang'”hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Jawah (Nusantara) adalah “Daerah Islam” (darul Islam) karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.”

Menarik kiranya menelusuri kitab Bugyatul Mustarsyidin tersebut dalam kaitannya tentang penyebutan Batawi (Batavia / Jakarta), begitupula Jawah (Nusantara / Indonesia), sebagai darul islam.

Kitab Bugyatul Mustarsyidin dikarang oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar atau dikenal dengan julukan Al-Ba’alawi. Beliau dilahirkan di Tarim pada 29 Sya’ban 1250 H. Beliau seorang mufti di Hadramaut yang sehari-harinya beruzlah di Masjid Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sahran sekaligus menjadi imam besar disana. Konon, di masjid itulah kitab Bugyatul Mustarsyidin ditulis.
 
Suasana Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin
Kitab tersebut merupakan kumpulan fatwa ulama muta’akhirin dan beberapa fatwa yang sebelumnya telah ditulis dalam enam kitab fatawa. Diantaranya adalah Fatawa As-Sayyid Abdullah Husain Bafaqih, Fatawa Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Fatawa Sayyid Alawi  bin Saqaf al-Jufri, Fatawa Abu Bakar al-Asykhari, dan Fatawa Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi.

Kembali ke pertanyaan diatas, darimanakah Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwa bahwa Batawi dan Jawah pada umumnya adalah darul Islam?

Ada beberapa kemungkinan yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan diatas. Pertama, Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwanya sendiri. Kemungkinan fatwa tersebut dikeluarkan ketika ada muridnya yang berasal dari Indonesia yang menanyakan pertanyaan yang serupa.

Hal tersebut bukan tidak mungkin. Mengingat hubungan nusantara dan dan Hadramaut telah terjalin sejak lama. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwasannya Wali Songo, penyebar Islam awal di Indonesia, berasal dari salah satu kota di Yaman tersebut. Hubungan tersebut terutama dilakukan oleh kalangan habaib yang banyak tinggal di Indonesia. Ada keterbatasan referensi bagi penulis untuk meneliti kemungkinan ini lebih jauh. Insyaallah pada tulisan lain akan dibahas.

Kemungkinan kedua, Habib Abdurrahman Ba’alawi mengutip tentang status Betawi ataupun Jawah itu berasal dari kitab Fatawa Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Pendapat ini, penulis kira, masih prematur. Namun, setidaknya tulisan ini, bisa menjadi rintisan untuk menjawab pertanyaan diatas.

Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M), memiliki hubungan yang cukup harmonis dengan murid-muridnya yang berasal dari Jawah. Hubungan harmonis tersebut ditandai dengan perhatiannya terhadap mas’alatul jawiyah  (Masalah-masalah dari Jawah). perhatian tersebut tampak dari karyanya yang berjudul Al-Durrat al-Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil Jawiyyah. Dalam penelitian Azyumadri Azra kitab tersebut tak diketahui membahas tentang permasalahan apa. Namun, tidak mungkin permasalahan tentang Jawah yang diajukan ke Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi juga menanyakan tentang status Jawah itu sendiri dalam hukum Islam. 

Salah satu murid dari Sulaiman Al-Kurdi yang berasal dari Indonesia adalah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812 M). Menurut Steenbrink (1984) Al-Banjari seringkali meminta fatwa tentang permasalahan yang terjadi di tanah airnya. Salah satu permasalahan yang pernah ditanyakan adalah tentang kebijakan Sultan Banjar  untuk mendenda rakyatnya yang tidak melaksanakan sholat Jum’at.

Hubungan Al-Banjari dengan Sulaiman Al-Kurdi ini menarik untuk diamati, mengingat kisah kepulangannya ke tanah air. Al-Banjari bersama dua kawannya, Syekh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi pada tahun 1186 H / 1773 M. Kepulangan Al-Banjari tersebut tidak langsung menuju Banjarmasin, daerah asalnya, namun menetap dulu di Betawi dalam beberapa bulan.

Saat tinggal di Betawi, Al-Banjari banyak melakukan aktivitas dakwah yang berpengaruh besar. Salah satu diantaranya adalah melakukan pembetulan arah kiblat di masjid-masjid yang berada di Betawi. Tidak menutup kemungkinan keberadaan Al-Banjari di Betawi berkirim surat ke Sulaiman Al-Kurdi untuk mempertanyakan status mempertahankan Betawi dan Jawah (nusantara) pada umumnya. Karena, pada masa-masa kedatangan Al-Banjari, Betawi dan sebagian besar pulau Jawa terlibat dalam perlawanan menghadapi Belanda. 

Sebagaimana dikemukakan diawal, tulisan ini merupakan rintisan yang masih bersifat prematur, tentu masih banyak hal yang perlu dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut. Namun terlepas dari asal muasal pendapat tersebut, tulisan Habib Abdurrahman Ba’alawi di kitab Bugyatul Mustarsyidin tak dapat dipungkiri telah menjadi pijakan ulama Nusantara untuk berjihad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Jumat, 16 Oktober 2015

Naskah Militer Orang-Orang Pesantren


Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Salah satu perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terjadi pada periode 1825-1830. Perlawanan yang dikenal dengan nama Perang Jawa ini berlangsung sengit dibawah kepemimpinan seorang santri cum bangsawan, Pangeran Diponegoro (1785-1855). Peperangan yang juga dikenal dengan sebutan Perang Diponegoro ini, menurut MC. Ricklef , menewaskan penjajah sebanyak 8.000 pasukan berkebangsaan Eropa dan 7.000 berkebangsaan Indonesia. Sedangkan orang Jawa sedikitnya 200.000 orang yang tewas dalam pertempuran selama lima tahun tersebut.

Perang Diponegoro yang berlangsung sengit ini tidak terlepas dari peranan pesantren. Pangeran Diponegoro sendiri tumbuh dilingkungan pesantren di daerah Tegalrejo, Yogyakarta. Begitu pula para bawahan dan pasukannya kebanyakan adalah orang-orang pesantren. Sebut saja Kyai Mojo, ulama asal Surakarta, Sentot Ali Basya, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam Demak, Jombang, Kyai Hasan Besari, Tegalsari Ponorogo dan sebagainya.

Kontribusi kalangan pesantren pada Perang Jawa tersebut tidak hanya sebatas pada sumber daya manusianya saja. Namun, pada segi persenjataan dan kemampuan militer juga disokong oleh orang-orang pesantren. Peter Carey dalam bukunya The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Older in Java, 1785-1855 menulis demikian:

Although captured Dutch suplies were extensively used, Dipanegara also obtained propellants from local villages in the districts to the south and west of Yogya. These included Samen in the Pandhak sub-district near Bantul to the south of the sultan’s capital, Into-into on the Praga River, and the villages of Geger (Samigaluh) and Deksa in Kulon Praga, an area where tin cannonballs were also cast for the prince’s artillery. Experiments were even made in the Menoreh district with the manufacture of bullets made out of tightly packed rush matting, the materials presumably being obtained from the neighbouring pradikan (tex-free) villages of Pesantren and Bendha in southern Kedhu which specialised in mat weaving. The former in particular was mentioned on the Dutch reports as a staunch centre of support for te prince during the war. [hal 609-10]

Meski perlengkapan persenjataan Belanda banyak yang dirampas dan dimanfaatkan untuk keperluan perang, Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari desa-desa di berbagai kabupaten bagian selatan dan barat Yogyakarta. Termasuk diantaranya adalah dari Samen dan Kawedanan Pandak dekat Bantul arah selatan Yogyakarta, Into-into di Kali Progo, dan desa-desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulon Progo. Daerah-daerah ini juga menghasilkan peluru meriam dari timah untuk keperluan artileri  Diponegoro. Bahkan beberapa percobaan dilakukan di Menoreh untuk membuat peluru dengan gelagah anyaman yang sangat rapat; dan bahan-bahan itu kemungkinan diperoleh dari desa-desa perdikan (bebas pajak) Pesantren dan Bendo di Kedu selatan yang khusus menghasilkan anyaman tikar. Desa-desa pesantren inilah yang secara spesifik disebut-sebut dalam sumber-sumber Belanda sebagai salah satu basis dukungan kuat terhadap Dipanegara.

Dari uraian diatas, menunjukkan kemapuan orang-orang pesantren dalam penguasaan senjata api. Tidak hanya sebatas bambu runcing sebagaimana seringkali dicitrakan. Lantas yang menjadi pertanyaannya, darimanakah mereka menguasai teknik-teknik kemiliteran dan persenjataan tersebut?
Pater Carey mengungkapkan bahwa kemampuan militer dan teknologi persenjataan tersebut diadaptasi dari Turki Usmaniyah. Hal ini tampak dari adanya utusan khusus. Haji Badarudin, salah seorang penasehat khusus strategi perang Pangeran Diponegoro, disebut-sebut menimba ilmu militernya pada Kesultanan Turki Usmaniyah. Tak dapat dipungkiri, kontak antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah adalah hubungan yang diawali dari kalangan pesantren yang menuntut ilmu di Timur Tengah yang telah terjalin sejak abad ke-15.

Ahamd Baso dalam Pesantren Studies 2a menyebutkan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah dalam bidang militer bahkan terjadi jauh sebelum Perang Diponegoro berkobar. Hal ini dengan adanya teks-teks yang berisikan tentang ilmu kemiliteran yang berasal dari Kesultanan Turki Usmaniyah pada abad ke-18 dan 19. Salah satunya adalah karya Haji Bankatasi, seorang komandan militer Usmani asal Anatolia, yang berisi tentang berbagai soal imu perang dan teknik persenjataan.

Nama Haji Bankatasi sendiri merupakan penyebutan dengan ejaan Bugis-Makasar. Nama aslinya adalah Haji Bektash yang juga pendiri tarekat Bektashi yang merupakan guru spritual pasukan Janissaries Turki Usmani. Naskah karya Haji Bankatasi yang dikaji oleh orang-orang Bugis-Makasar tersebut kemudian dipelajari pula oleh orang-orang Aceh.

Keterkaitan Pangeran Diponegoro dengan Kesultanan Turki Usmaniyah juga tampak pada penamaan pasukannya. Penamaan Prajurit Bulkiyah, suatu pasukan berani mati dibawah pimpinan Haji Usman Alibasya dan Haji Abdulkadir, menyerupai penamaan pada pasukan Turki Usmani.

Naskah-naskah kemiliteran yang tersebar di pesantren Nusantara juga ditemukan pada abad ke-17. Naskah tersebut disimpan di London, Inggris, yang berupa risalah dalam bahasa Bugis dan Makasar tentang teknik persenjataan. Menurut Ahmad Baso, penyalin teks tersebut dilakukan oleh kalangan pesantren di Bontoala, Makasar. 

Naskah tersebut diadaptasi oleh para santri Bontoala dari naskah berbahasa Spanyol yang ditulis oleh komandan artileri Raja Kasatela (Spanyol), Andarae Ri Monyona (ejaan Bugis-Makasar). Terjemahan bahasa Bugis dari bahasa Makasar dibuat pada tahun 1635 dan pada 1652.

Selain itu adapula naskah tentang ilmu militer yang berasal dari kalangan pesantren. Salah satunya adalah naskah pendek dengan kode Lor 5738 bis yang tersimpan di Perpustakaan Lieden, Belanda. Naskah dalam bahasa Melayu tersebut berjudul Membedil  (menembak). Tentu isinya adalah tentang tata cara penggunaan senjata yang telah berkembang kala itu. Naskah tersebut disita oleh pasukan Belanda dari seorang ulama Banten yang tak disebutkan namanya yang dituduh telah melakukan agitasi melawan Belanda. Naskah-naskah tersebut ditemukan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1890 di Serang. Kemudian, ia kirimkan ke Belanda pada 28 Juli 1906.

Naskah-naskah tersebut menandakan bahwa pesantren kala itu tidak hanya sebagai pusat pendidikan keagamaan belaka. Namun pesantren menjadi universitas bagi bangsa Indonesia untuk menggerakkan keilmuwan dan peradaban bangsa dalam berbagai bidang, duniawi maupun ukhrawi.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Selasa, 13 Oktober 2015

Lukmanakim Adammakna, Primbon Panduan Menikah



Salah satu karya literasi masyarakat Jawa yang paling populer adalah primbon. Primbon menjadi pegangan dan panduan masyarakat Jawa dalam melaksanakan laku hidup. Mulai dari hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari, sampai yang urgen berurusan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selain Serat Chentini, ada Primbon Adammakna yang menjadi babon dari beberapa primbon yang tersebar di masyarakat Jawa.
 
Dalam Primbon Adammakna sendiri terdapat beberapa bagian primbon yang terbagi dalam beberapa judul. Dimana dalam tulisan ini, akan membahas tentang Primbon Lukmanakim Adammakna. Primbon ini adalah satu dari sekitar sepuluhan seri Primbon Adammakna.

Konon, Primbon Adammakna sendiri merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh Kanjeng Sultan Hamengku Buwono ing Ngayugyakarta yang kelima. Kemudian disalin menjadi karya tulis oleh Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat. Berkat jasa Ir. Wibatsu Harianto Soembogo (RW Radya Soembogo), buku-buku primbon tulisan Harya Tjakraningrat tersebut diterbitkan untuk khalayak luas pada tahun 1990. Hal ini setelah mendapat persetujuan ahli waris buku-buku primbon tersebut, yaitu Ibu Siti Woerjan Soemidjah Noeradyo.

Primbon Lukmanulhakim Adammakna ini terbagi menjadi lima bahasan. Pertama adalah Primbon Yuswa Widodo. Yuswa Widodo ini mengajarkan bagaimana laku hidup agar berumur panjang. Hal ini merupakan ajaran yang disampaikan oleh Dalem Kanjeng Raden Hadipati Harya Danureja VI.

Pada bagian kedua, Primbon Shastra Gendhig Pesatohan Adammakna, menjelaskan tentang seluk beluk perjodohan dan pernikahan. Setelah menjelaskan tentang dasar-dasar perhitungan Jawa yang didasarkan pada perhitungan garis edar bumi yang disesuaikan dengan basis filosofis masyarakat Jawa, kemudian menjelaskan tentang praktek-praktek perhitungan.

Perhitungan pertama adalah tentang pesatohan salaki rabi (penyatuan sebelum menikah) dan pitungan salaki rabi  (perhitungan sebelum pernikahan). Pada perhitungan ini mendasarkan akan hari kelahiran dan neptu-nya calon mempelai laki-laki dan perempuan yang dijumlahkan. Hasil pejumlahan tersebut kemudian dicocokkan dengan beberapa variabel jawaban yang telah tersusun berdasarkan angka-angka. 

Adapula perhitungan berdasarkan nama calon mempelai. Dengan menggunakan rumus dan tabel tertentu untuk menentukan karakter dan nasib mempelai kelak. Ada sekitar sebelas macam jenis perhitungan yang dijelaskan dalam primbon ini. Salah satu dari bab pitungan salaki rabi ini, saya ambil satu jenis perhitungan. Nasib sepasang pengantin bisa diprediksi dengan mengkalkulasi nama awal dan akhir keduanya. Kemudian setelah dijumlahkan lalu dibagi 5. Sisa dari pembagian itulah yang diperhitungkan.

Sisa 1 berarti tergolong variabel tunggak tan semi artinya akan banyak anak yang mati. Sisa 2 disebut pisang punggel akan terjadi perceraiaan. Sisa 3 adalah lumbung gumuling alias boros. Sisa 4 yaitu sanggar waringin alias akan menjadi keluarga pengauban (?). Sisa 5 adalah pedaringan kebak akan kaya raya. Sisa 6 itu satriya lelaku cocoknya jadi pedagang. Sisa 7 dikategorikan pandhito mukti artinya keluarga yang harmonis dan sejahtera.
Ini rumusan huruf dan angkanya:

Ha (6), na (3), ca (3), ra (3), ka (3)
Da (5), ta (3), sa (3), wa (6), la (5)
Pa (1), dha (4), ja (3), ya (8), nya (3)
Ma (5), ga (1), ba (2), tha (4), nga (2)
Contoh:

Rafi Ahmad dan Nagita Slavina.
Rafi Ahmad = Ra (3) + da (5) = 8
Nagita Slavina = Na (3) + na (3) = 6
8 + 6 = 14. Kemudian 14 ÷ 5 sisa 4.

Artinya: sanggar waringin alias akan menjadi keluarga yang melindungi / menghidupi banyak orang.

Pada bagian ini, juga menyajikan tabel yang menjelaskan tentang konsekuensi pernikahan antara lelaki dan perempuan berdasarkan hari kelahiran dan pasarannya masing-masing mempelai. Lalu kemudian disesuaikan hari untuk melaksanakan ijab qobulnya. Dari tabel ini akan terlihat bagaimana watak dari pasangan tersebut serta bagaimana sikap orang tua mereka.

Ambil contoh bagi memelai laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Pon kemudian menikahi perempuan yang lahir pada Sabtu Wage, maka harus melaksankan ijab qabul pernikahan anatara Senin Kliwon atau Jum’at Kliwon. Jika demikian, maka pernikahan tersebut akan menghasilkan watak penganten yang luwih becik (lebih baik), dan sikap orang tua (mertua) yang jangkep (sempurna).

Adapula perhitungan berdasarkan keblat papat kelima pancer,  dimana basis perhitungannya menggunakan arah keberadaan calon mempelai yang dikombinasikan dengan hari pasaran pelaksanaan akad nikah.
Selain menjelaskan tentang waktu yang tepat untuk melaksanakan akad nikah, disini juga dibahas tentang hari, tanggal atawa bulan yang tak diajurkan untuk melaksanakan akad nikah.  Salah satunya adalah hari-hari dalam bulan-bulan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk melaksanakan akad nikah karena dipercaya akan menimbulkan nasib buruk bagi mempelai.
Pada bulan Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (Sya’ban) hari buruknya adalah hari Jum’at. Sedangkan pada bulan Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Dulkangidah (Dzulqaidah), hari buruknya untuk akad nikah pada Sabtu dan Ahad. Kemudian, pada bulan Besar (Dzulhijah), Sura (Muharram), dan Sapar (Safar), hari-hari buruknya adalah Senin dan Selasa. Lalu pada bulan Mulud (Rabiul Awal), Rabingul akir (Robiul Akhir), dan Jumadilawal (Jumadil Awal), hari buruknya adalah Rabu dan Kamis.
Setelah menjelaskan tentang perhitungan mempelai dan kapan pelaksanaan akad nikah yang tepat, dalam pembahasan ini juga dikemukakan tentang aturan-aturan pernikahan sampai tatacara senggama dengan begitu detail dalam hal pelaksanaannya. Pembahsan ini masuk pada bagian ketiga, yaitu Primbon Asmaragama atau Kamawadha. Persiapan pelaksanan prosesi pernikahan di-jlentreh-kan mulai dari perihal tarub, sarat lan sajen mantu, slametan penganten, srah-srahan lamaran, siraman penganten, midadareni, sanggan penganten, ijabe penganten lanang, paes penganten lanang  lan wadon, sampai slametan pasaran.
Yang menarik adalah keterangan tentang saresmi (senggama). Selain mengemukakan tentang waktu yang tepat dan tidak boleh, juga dijelaskan tentang titik rangsang pasangan berdasarkan warna kulit dan tanggal waktu senggama. Ada tujuh jenis macam warna kulit, (1) Berkulit putih: titik rangsangnya berada di dua belah pipi dan waktu yang tepat pada waktu-waktu tertentu berdasarkan tanggal pelaksanaan. (2) Berkulit kuning: titik rangsangnya berada di kedua alisnya. Waktu yang tepat adalah saat anak-anak telah terlelap (3) Berkulit kuning langsat: titiknya berada di paha kanan. Waktu yang tepat sekitar jam tiga dini hari (4) berkulit kuning kehijauan: titiknya terletak pada kedua pundak. Waktunya ketika anak-anak telah tertidur (5) Berkulit putih kemerahan: terletak pada kedua mata dan payudaranya. Waktunya tepat pada lingsir wengi / tengah malam (6) Berkulit hitam: berada pada paha kirinya. Waktunya sekitar jam delapan malam. Dan (7) Berkulit hitam manis titik ransangnya terletak pada kedua telinganya. Waktunya kala anak-anak telah tertidur.
Tata cara senggama dalam primbon tersebut juga terbagi berdasarkan tanggal senggama. Misalnya bersenggama pada tanggal satu. Maka, diawali dengan memegang jempol kaki kanan dan semua jari-jarinya. Disanalah titik ransang bermula pada tanggal satu tersebut. Kemudian jika si wanita berkulit putih maka dilanjutkan dengan mencium kedua pipinya. Demikian seterusnya sebagaimana pada penjelasan diatas yang didasarkan pada warna kulit tersebut. Ada tiga puluh keterangan yang disesuaikan dengan kalender perbulan.
Pada bagian keempat menjelaskan tentang Primbon Usada. Hal ini merupakan perpaduan antara empat primbon: Primbon Jalu Usada, Wanita Usada, Rarya Usada, dan Tri Guna Usada. Bab ini menjelaskan tentang pengobatan. Begitu pula pada bab lima juga berisi pengobatan tetapi dengan aji-aji, rajah ataupun jimat.
Pada bab lima ini juga terdapat beberapa rajah dan aji-aji guna memperkuat stamina di ranjang serta memperbesar ukuran kelamin.
***
Dalam paradigma saat ini, isi primbon demikian terkesan sebagai tahayul belaka. Namun, tak ada salahnya jika kita mempelajari suatu karya literasi nenek moyang bangsa Jawa sebagai bentuk pelestarian kebudayaan. Bagi penulis sendiri, primbon-primbon tersebut tak sepenuhnya salah karena hanya tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Karena, menurut penulis, ada kearifan dan “standard ilmiah” sendiri yang menjadi basis metodologis primbon-primbon tersebut yang berbeda dengan epistimologis keilmuwan modern yang pada dasarnya berkiblat ke kebudayaan barat. Wallahu’alam.

Nb: Tulisan ini merupakan tulisan rintisan yang berkemungkinan terdapat kesalahan dalam pembacaan Primbon Lukmanakim Adammakna dikarenakan keterbatasan penulis dalam penggunaan bahasa Jawa dan peristilahan-peristilahan tertentu.

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi