Gus
Dur sebagai sosok yang kompleks semakin menemukan relevansinya. Keluasan
pengetahuan dan kedalaman pemahamannya akan berbagai hal menjadikan Gus Dur
sosok yang sulit untuk dikategorikan dan dibatas-batasi. Penguasaan akan
keagamaan yang mendalam tak berhenti menjadikannya menjadi seorang ulama saja.
Tapi beliau juga mahir bergerak dibidang politik, sosial, kebudayaan, seni,
olahraga dan juga sejarah. Bidang sejarah inilah yang coba penulis fahami dari
sosok Gus Dur.
Dalam
kumpulan artikelnya yang diterbitkan LKiS tahun 2010 (cet. 1) yang bejudul
“Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur” mengajarkan cara membaca
sejarah. Sejarah bagi Gus Dur bukanlah kebutuhan akademis yang sarat dengan
rujukan-rujukan ilmiah, namun sejarah bagi Gus Dur juga bisa berasal dari
cerita tutur yang berkembang di masyarakt setempat selagi bisa diautentikkan
secara logis. Dengan demikian sejarah adalah sebuah fondasi untuk memahami masa
sekarang dan masa depan kelak. Sejarah tidak hanya sebatas mengetahui masa
lampau, namun bagaimana menarik benang merah dan mencari subtansi.
Sebagaimana
yang ditulis oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam kata pengantar buku
tersebut, penafsiran sejarah yang dilakukan Gus Dur cenderung kontroversial.
Namun dibalik kontroversi penafsiran sejarah ala Gus Dur, pesan moral, kritik,
dan upaya mengambil hikmah disetiap peristiwa sejarah tidak pernah
ditinggalkan. Bagaimana Gus Dur mengaitkan perkembangan LSM/NGO dengan kisah
perseteruan antara Sultan Hadiwijaya dengan menantunya, Pangeran Sutawijaya.
Atau juga bagaimana Gus Dur mengupas kealpaan ngopeni sektor
maritim oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dan juga kesultanan Banten yang
mengakibatkan kekalahan melawan kompeni.
Namun
dari serangkaian penafsiran sejarah yang dilakukan oleh Gus Dur adalah tentang
relasi negara dan agama. Dalam beberapa kupasannya Gus Dur memahami beberapa
konflik kerajaan di Nusantara sebagai bentuk pertentangan agama. Bala bantuan
pasukan China (diyakini Gus Dur sebagai pasukan muslim dibawah pimpinan Laksmana Ceng Ho) yang membantu
Raden Wijaya untuk mengalahkan Kerajaan
Singosari dibawah kekuasan Prabu Jayakatwang bukan semata-mata perkara politik
namun karena perbedaan agama antara Islam yang dianut Ceng Ho dan Raden Wijaya
(dugaan Gus Dur) melawan Jayakatwang yang beragama Bhirawa (Hindu-Budha). Adapula perang Bubat yang juga diartikan
sebagai upaya pencegahan perpaduan antara dua kerajaan berhaluan Bhirawa yaitu Majapahit dan Pejajaran
oleh sekelompok elit yang beragama Hindu-Murni atau Islam.
Selain
itu, Gus Dur juga membedah kemungkinan konflik agama yang melatarbelakangi penyerangan
Kusuma Wardani dari Kadipaten
Kediri yang beragama Bhirawa terhadap
Prabu Brawijaya V yang memimpin Majapahit yang mulai mengalami proses islamisasi.
Dimana kelak Kusuma Wardani yang bergelar Prabu Brawijaya VI juga diserang oleh
Kerajaan Demak yang beragamakan Islam. Dan juga masih banyak tafsiran-tafsiran
atas kronik sejarah yang dilakukan Gus Dur sebagai bentuk konflik agama.
Dari
hal tersebut, penulis menangkap pesan Gus Dur yang menentang formalisasi agama
dalam kenegaraan. Ketika agama diformalkan dan integral dalam bentuk negara
akan menyulut konflik dari penganut agama lain sebagaimana yang telah tersaji
dalam sejarah panjang Nusantara. Gus Dur seakan menegaskan bahwa bangsa
Indonesia harus memandang agama sebagai sesuatu yang simbiotik, sebagaimana
yang telah dikonsepsikan oleh KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahid Hasyim yang tak
lain kakek dan ayahandanya.
*) Profil Buku:
Judul buku : Membaca Sejarah Nusantara
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar : KH A Mustofa Bisri
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal buku : 133 halaman
Judul buku : Membaca Sejarah Nusantara
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar : KH A Mustofa Bisri
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal buku : 133 halaman
Banyuwangi,
26 November 2014
Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar