menu

Minggu, 27 September 2015

Membaca Sejarah Ala Gus Dur





Gus Dur sebagai sosok yang kompleks semakin menemukan relevansinya. Keluasan pengetahuan dan kedalaman pemahamannya akan berbagai hal menjadikan Gus Dur sosok yang sulit untuk dikategorikan dan dibatas-batasi. Penguasaan akan keagamaan yang mendalam tak berhenti menjadikannya menjadi seorang ulama saja. Tapi beliau juga mahir bergerak dibidang politik, sosial, kebudayaan, seni, olahraga dan juga sejarah. Bidang sejarah inilah yang coba penulis fahami dari sosok Gus Dur.

Dalam kumpulan artikelnya yang diterbitkan LKiS tahun 2010 (cet. 1) yang bejudul “Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur” mengajarkan cara membaca sejarah. Sejarah bagi Gus Dur bukanlah kebutuhan akademis yang sarat dengan rujukan-rujukan ilmiah, namun sejarah bagi Gus Dur juga bisa berasal dari cerita tutur yang berkembang di masyarakt setempat selagi bisa diautentikkan secara logis. Dengan demikian sejarah adalah sebuah fondasi untuk memahami masa sekarang dan masa depan kelak. Sejarah tidak hanya sebatas mengetahui masa lampau, namun bagaimana menarik benang merah dan mencari subtansi.

Sebagaimana yang ditulis oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam kata pengantar buku tersebut, penafsiran sejarah yang dilakukan Gus Dur cenderung kontroversial. Namun dibalik kontroversi penafsiran sejarah ala Gus Dur, pesan moral, kritik, dan upaya mengambil hikmah disetiap peristiwa sejarah tidak pernah ditinggalkan. Bagaimana Gus Dur mengaitkan perkembangan LSM/NGO dengan kisah perseteruan antara Sultan Hadiwijaya dengan menantunya, Pangeran Sutawijaya. Atau juga bagaimana Gus Dur mengupas kealpaan ngopeni sektor maritim oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dan juga kesultanan Banten yang mengakibatkan kekalahan melawan kompeni.

Namun dari serangkaian penafsiran sejarah yang dilakukan oleh Gus Dur adalah tentang relasi negara dan agama. Dalam beberapa kupasannya Gus Dur memahami beberapa konflik kerajaan di Nusantara sebagai bentuk pertentangan agama. Bala bantuan pasukan China (diyakini Gus Dur sebagai pasukan muslim dibawah pimpinan Laksmana Ceng Ho) yang membantu Raden Wijaya untuk mengalahkan Kerajaan Singosari dibawah kekuasan Prabu Jayakatwang bukan semata-mata perkara politik namun karena perbedaan agama antara Islam yang dianut Ceng Ho dan Raden Wijaya (dugaan Gus Dur) melawan Jayakatwang yang beragama Bhirawa (Hindu-Budha). Adapula perang Bubat yang juga diartikan sebagai upaya pencegahan perpaduan antara dua kerajaan berhaluan Bhirawa yaitu Majapahit dan Pejajaran oleh sekelompok elit yang beragama Hindu-Murni atau Islam.

Selain itu, Gus Dur juga membedah kemungkinan konflik agama yang melatarbelakangi penyerangan Kusuma Wardani dari Kadipaten Kediri yang beragama Bhirawa terhadap Prabu Brawijaya V yang memimpin Majapahit yang mulai mengalami proses islamisasi. Dimana kelak Kusuma Wardani yang bergelar Prabu Brawijaya VI juga diserang oleh Kerajaan Demak yang beragamakan Islam. Dan juga masih banyak tafsiran-tafsiran atas kronik sejarah yang dilakukan Gus Dur sebagai bentuk konflik agama.

Dari hal tersebut, penulis menangkap pesan Gus Dur yang menentang formalisasi agama dalam kenegaraan. Ketika agama diformalkan dan integral dalam bentuk negara akan menyulut konflik dari penganut agama lain sebagaimana yang telah tersaji dalam sejarah panjang Nusantara. Gus Dur seakan menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus memandang agama sebagai sesuatu yang simbiotik, sebagaimana yang telah dikonsepsikan oleh KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahid Hasyim yang tak lain kakek dan ayahandanya.

*) Profil Buku: 
Judul buku  : Membaca Sejarah Nusantara
Penulis       : Abdurrahman Wahid
Pengantar   : KH A Mustofa Bisri
Penerbit      : LKIS, Yogyakarta
Cetakan     : Pertama, 2011
Tebal buku  : 133 halaman

Banyuwangi, 26 November 2014



Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Tidak ada komentar: