menu

Rabu, 27 Februari 2013

Bhotho Lurah


Desa Pelaosan begitu meriah. Gambar-gambar bertebaran di setiap sudut desa. Mulai dari yang ukuran polio sampai ukuran baliho. Ada yang bergambar orang memakai dasi yang dipadu dengan jas sebagai bukti keprofisionalan dan keintelektualannya. Ada juga yang berkopiah dan baju koko putih seolah-olah menampakkan keberagamaannya. Dan adapula yang bersafari sambil mengacungkan genggaman tangannya untuk menggambarkan semangatya.

Pilihan kepala desa kali ini berbeda dengan pemilihan kepala desa – kepala desa sebelumnya, dimana hanya memasang gambar hasil kebun, seperti jagung, kelapa, pisang, singkong, dan lainnya sebagai lambang setiap kandidat. 


Tak hanya sebatas gambar wajah, tapi juga sudah memakai berbagai slogan yang saling bersaing mutu untuk merebut simpati rakyat.

“Lanjutkan kepemimpinan cerdas dan bersih”. Begitu bunyi slogan dari Drs. Soeharto yang menjadi calon incumbent.

Beda latar belakang kandidat beda slogan pula. Haji Abdullah atau akrab dipanggil Haji Dullah, salah seorang tokoh masyarakat yang memimpin salah satu ormas keagamaan, memakai jargon, “Wujudkan desa agamis yang sejahtera”.

Begitu pula calon ketiga yang menjadi representasi para pemuda, Mulyono atau familiar disebut Cak Mul, mungusung jargon, “Dengan semangat muda, mengubah desa menjadi kota”.

Demam pemilihan kepala desa menjalar ke berbagai penjuru, tidak hanya dalam desa bahkan sampai pula ke luar desa. Pemilihan kepala desa selalu menjadi topik utama.

“Kaya’e Pak Lurah bakal kepilih lagi.” Ujar Sarmin di pos ronda.

“Iya.. Keputusannya membuat lapangan bola baru akan mampu merebut simpati para pemuda untuk memilihnya.” Timpal Kardi menganalisis kebijakan Pak Lurah dengan gaya bak pengamatan politik yang sering muncul di televisi.

“Kalau saya menjagokan Haji Dullah.” Rahmat menanggapi.

“Dia sosok yang baik dan agamis, gak neko-neko hidupnya. Pasti banyak yang simpatik kepada beliau.” Lanjutnya.

“Benar Haji Dullah berpeluang menempel ketat Pak Lurah. Setelah saya melakukan survey kecil-kecilan dibeberapa kantong suaranya Pak Lurah banyak yang mendukung Haji Dullah.” Ujar sang pengamat politik kampung, Kardi.

“Kalau menurutmu peluangnya Mulyono bagaimana?” Tanya Sarmin ke Kardi.

“Dia tak ubahnya pion yang hanya dijadikan tumbal dalam setiap pertarungan. Tumbang dia.” Jawab Kardi.
“Alah sok tahu kamu Kar.” Bentak Karmin yang merupakan saudara jauhnya Mulyono.

“Kamu saja Min yang kurang pergaulan.” Kardi tersulut emosinya.

“Wes..wes…” Sarmin melerainya.

Semakin dekat waktu pemilihan semakin panas dan sensitif perbincangan tentang pilkades, pemilihan kepala desa. Apalagi dibumbui gerak para petaruh yang memanaskan situasi. Namun perbincangan calon kepala desa mengerucut kepada dua kandidat, Lurah lama dan Haji Dullah. Pada bursa taruhan para Bhotho Lurah, menempatkan keduanya sebagai calon kuat. Sedangakan Cak Mul dianggap sebagai bawang alias pelengkap.

“Kamu cari sebanyak mungkin bhotho-bhotho cilik dari dalam desa yang pegang Mulyono. Kamu kasih penawaran yang menguntungkan mereka agar mereka mau memilih Mulyono. Gunakan uang ini untuk notoi Pak Lurah dan Haji Dullah.” Tarmin, si Bhotho besar, menginstruksikan kepada kedua anak buahnya, Udin dan Tarjo.

Meluncurlah dua bhotho suruhan Tarmin untuk melakukan transaksi perjudian. Ada yang model ashor setengah yaitu dua suara Pak Lurah atau Haji Dullah sama denga satu suara Cal Mul. Ada juga yang model ngepoor yaitu perhitungan suara Pak Lurah atau Haji Dullah dimulai dari min, mulai min seratus, min seratus limapuluh, bahkan sampai min duaratus suara.

Taruhannya beragam. Mulai dari uang limaratus ribu, satu juta, bahkan sampai mendekati sepuluh juta. Ada pula yang mempertaruhkan kambing, sapi, sepeda motor atau bahkan menggadaikan sertifikat rumah atau kebun dan sawahnya. Perjudian yang tak hanya bemotif uang tapi juga gengsi dan tradisi.

Udin dan Tarjo sukses menjalankan perintah sang bos. Semua petaruh-petaruh kelas rencek menjagokan Cak Mul. Sedangkan Pak Lurah dan Haji Dullah dimonopoli oleh Udin dan Tarjo saja. Jika ada yang menjagokan Pak Lurah dan Haji Dullah, Udin atau Tarjo akan menantangnya dengan penawaran yang menguntungkan lawannya. Jika tidak mau, maka musuh dari lawannya tersebut dibeli agar mau bertaruh dengan Udin atau Tarjo saja. Tentunya juga dengan penawaran yang lebih menggiurkan.

Malam menjelang hari pemilihan adalah malam yang paling mendebarkan. Disetiap sudut desa banyak masyarakat yang bergadang. Malam itu menjadi malam penentuan siapa yang bakal menjadi kepala desa. Dari kalangan pemercaya mistis, mereka akan sering melihat ke langit untuk memastikan jatuhnya andaru, si bintang jatuh yang dipercaya sebagai perlambang keberuntungan. Rumah yang terlihat kejatuhan andaru ini dipercaya akan menjadi pemenang. Berbeda dengan para simpatisan kandidat kepala desa, mereka akan menjaga sekitar rumah si calon untuk memastikan tidak ada serangan ghaib, semacam sihir, yang dipercaya bisa merusak suara si calon. Selain itu, mereka juga berjaga-jaga dibeberapa tempat yang rawan dan sepi dari bentuk serangan fajar yaitu pembagian uang atau sembako untuk membeli suara masyarakat besok di hari pemilihan. Serangan fajar tidak hanya diotaki oleh tim sukses salah satu kandidat, tapi yang paling bahaya adalah yang dilakukan oleh para bhotho.

Ratusan masyarakat tumplek blek di lapangan untuk menyaksikan perhitungan suara setelah jam satu ditutup kesempatan pemungutan suara. Para bhotho hilir mudik memantau jalannya perhitungan. Ada yang berwajah tegang, harap-harap cemas, ada yang khusu’ seolah memanjatkan doa, ada pula yang menahan senyum melihat jagoannya memperoleh suara banyak. Tampak pula Udin dan Tarjo yang juga tidak kalah tegangnya. Maklum dia berdua menjadi bintang diantara ratusan bhotho yang hadir.
“Bos celaka, jagoan kita kalah semua.” Udin melaporkan hasil perhitungan suara pemilihan kepala desa kepada sang bos, Tarmin.

“Ha…ha…ha….” Diluar dugaan, Tarmin malah ketawa keras memperlihatkan gigi-gigi emas di gerahamnya.

“Kalah kok malah ketawa Bos?” Tarjo tidak memahami prilaku bosnya yang telah memodalinya duaratusan juta untuk taruhan kepala desa.

“Goblok kamu. Kalian berdua itu hanya umpan. Saya sengaja mengarahkan bhotho-bhotho cilik itu untuk menjagokan Mulyono. Sehingga mereka nantinya yang akan menggembosi suaranya Lurah dan Haji Dullah. Kita tidak perlu berkeringat mencari suara, biar mereka yang menyogok dan membujuk saudara dan teman-temannya.” Tarmin menjelaskan dengan diiringi gelak tawa.

“Terus uangnya gimana bos?” Udin masih belum faham.

“Hahahaha… saya ini bhotho kelas kakap musuhnya pun kelas kakap. Aku megang Mulyono melawan Koh Liong, bos tambak desa sebelah. Kamu tahu tidak?” Tanya Tarmin.

Udin dan Tarjo menggeleng.

“Empat ratus juta.” Ujar Tarmin memberitahu anak buahnya.

“HA HA HA….” Tarmin tertawa sekali lagi diikuti oleh Udin dan Tarjo. Mereka mentertawakan proses demokrasi yang telah dikangkangi oleh para bhotho lurah protolan sekolah dasar. 


Ayung Notonegoro

Tidak ada komentar: