Salah satu hal yang paling urgen dalam peradaban manusia,
mungkin, adalah pernikahan. Dalam pernikahan, perkembangbiakan manusia diatur.
Tak hanya berupa aturan adat, pernikahan pun memunculkan aturan hukum agama,
hukum positif dan beragam konsekuensi aturan lainnya. Begitu pentingnya
pernikahan dalam kehidupan manusia, sehingga bagi orang-orang yang memilih
untuk tidak menikah dalam hidupnya mendapat ‘perhatian yang lebih’ (baca:
sorotan), ditengah masyarakat.
Sebenarnya, ada banyak orang yang tetap memilih membujang,
atau dalam bahasa kekinian acap disebut “jomblo”. Mulai dari orang biasa sampai
orang penting, dari orang papa sampai kaya raya, laki-laki atau wanita yang
memilih menjomblo. Tak menikah hingga akhir usia. Tentu dengan beragam alasan
dan penyebabnya masing-masing.
Namun, dalam tulisan kali ini, saya akan menuliskan para
muallif, penulis kitab, yang tetap menjomblo hingga akhir hayatnya. Saya
sarikan tulisan singkat ini dari buku KH. Husain Muhammad yang berjudul Memilih Jomblo: Kisah Para Intelektual
Muslim yang Berkarya Sampai Akhir Hayatnya. Dalam buku terbitan Zora Book
tersebut, Husain Muhammad menuliskan sekitar dua puluh satu (21) kisah para
intelektual muslim dari berbagai bidang yang memilih untuk tidak menikah. Dari
sekian intelektual jomblo tersebut, ada yang produktif menulis dan ada pula
yang tidak produktif. Maka, saya memilahnya lagi menjadi beberapa jomblo yang
aktif menulis dan memproduksi karya tulis.
Ada kalanya para muallif tersebut menuturkan alasan-alasannya
kenapa memilih untuk menjomblo. Namun, tak sedikit yang hanya melahirkan terka
kenapa ia tak menikah. Berikut kisahnya:
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (224-310 H / 839-923 M). Lahir di Tabaristan,
sebuah kota di Turkmenistan, selatan Laut Kaspia. Sejak belia telah dikenal
sebagai orang yang memiliki kecerdasan luar biasa. Diusianya yang ke tujuh, ia
telah hafal Al-Qur’an dan pada usia sembilan tahun telah mulai menulis hadis.
Hari-harinya dihabiskan dengan
menuntut ilmu dan menulis kitab. Banyak karya monumental yang telah ditulisnya.
Ada puluhan buku dalam berbagai kajian ilmu keislaman yang dianggitnya. Antara
lain: Jami’ul Bayan At tanwil Ayil Qur’an
dalam bidang tafsir Qur’an yang terdiri dari 30 jilid, dan Tarikh al-Rosul, wal Anbiya wal Muluk wal Umam dalam bidang sejarah
yang terdiri dari 8 jilid yang masing-masing berjumlah 700 halaman. Ada pula Tahdzibul Atsar, Ikhtilaful Ulama al-Amshar,
Adabul Qadhi, dan lain-lain.
Menurut al-Simsimi, salah seorang
muridnya, Ibnu Jarir menulis buku selama 40 tahun. Dimana tiap hari ia menulis
sekitar 40 halaman. Dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa dari keseluruhan
karya Ibnu Jarir jika dibandingkan dengan panjang usianya yang mencapai 80 tahun,
ia rata-rata menulis 14 lembar sehari.
Tak ada riwayat yang menjelaskan
alasan Ibnu Jarir untuk memilih jomblo dalam hidupnya. Namun, jika dilihat dari
kecintaannya pada ilmu dan gairahnya yang begitu luar biasa dalam menulis, bisa
diduga alasannya, sebagaimana orang Arab katakan:
“Wa inna ladzdzatal ma’rifah agnathaa an ladzdzatiz zawaaja wal irtibath”
Menggumuli ilmu pengetahuan jauh
lebih nikmat daripada kenikmatan menikah dan terikat.
Abul A’la Al-Ma’arri
Ia terlahir dalam kondisi normal, namun
pada usia tiga tahun Al-Ma’ari mengalami panas yang berakibat cacar dan
mengganggu penglihatannya. Tiga tahun kemudian, ia mengalami kebutaan permanen.
Namun, kebutaan pada matanya tak menyurutkannya untuk belajar pria kelahiran
tahun 363 H / 937 M di Ma’arri al-Nu’man, di Syiria Utara. Ia kelak dikenal
sebagai seorang cendikiawan, filsuf dan penyair yang banyak menulis karya.
Karya-karya Al-Ma’ari kebanyakan
berupa antologi puisi. Antara lain yang terkenal adalah Siqthul Zindi (Percikan Api) yang terdiri dari 3000 bait puisi, Luzum Ma Laa Yalzam (Keharusan yang
Tidak Harus), Istaghfir wa Istaghfiri
terdiri dari 10.000 bait. Selain itu, karya monumentalnya yang paling
berpengaruh adalah Risalatul Ghufran
(Surat Pengampunan).
Risalatul Ghufran berupa sastra falsafi yang berisi tentang kehidupan manusia di neraka dan
surga yang terbungkus dalam dialog imajinatif yang indah nan satiris. Buku ini
kelak banyak mempengaruhi sastrawan-sastrawan besar dunia. Sebut saja Dante
Alighieri (1265 M), seorang penulis Italia yang begitu legendaris dengan
karyanya Divine Comedy (Komedi
Ilahiyah).
Sepanjang hayatnya, Al-Ma’ari memilih
untuk tidak menikah. Menikah baginya adalah momok yang amat menakutkan. Dalam
salah satu riwayat ia mengatakan, “Tinggalkan berketurunan. Berketurunan akan
menimbulkan kematian.”
Dalam riwayat yang lain, ia
berwasiat, “Aku wasiat kepadamu, jangan menikah. Bila kau takut dosa, nikahlah
tetapi jangan berketurunan. Kuatkanlah.”
Ketakutannya pada keturunan yang
menyebabkannya memilih tidak menikah didasarkan dari pandangan subyektifnya
akan penderitaan seorang anak. Ia amat
takut menjadi penyebab penderitaan bagi anak-anak yang dilahirkannya.
Bahkan dalam wasiatnya yang lain, Al-Ma’ari berpesan untuk menuliskan di batu
nisannya sebuah pernyataan:
Hadzaa janaahu abiy alayya wa maa janaytu alaa ahadin
Ini adalah kesalahan ayahku atasku,
dan aku tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
Imam
Zamakhsyari
Seorang teolog bermadzhab Mu’tazilah
ini lahir di Provinsi Khawarizm, di Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Al-Imam
Abu Qosim Mahmud bin Umar al-Zamkhsyari al-Khawarizmi. Sejak kecil Zamakhsyari
telah haus akan ilmu. Ia rela menempuh perjalanan ribuan mil dari tanah
kelahirannya menuju Mekkah guna menuntut ilmu. Kelak ia dikenal sebagai seorang
cendikia dibidang bahasa dan terkenal pula sebagai mufassir. Kitab tafsirnya
yang terkenal berjudul Al-Kasysyaf an Haqaiq Ghawamidh At-Tanzil wa ‘Uyunil
Aqawil fi Wujudit Ta’wil.
Selain kitab tafsir, intelektual ‘rasional’
tersebut juga menulis 50 buku penting dalam beragam kajian. Antara lain: Al-Faiq fi Gharibil Hadits, Nukatul A’rab fi
Gharibil I’rab, Mutasyabih Asmauil Ruwat, Asasul Balaghah, Syaqaiqul Nu’mal fi
Haqaiqil Nu’man, dan beberapa judul lainnya.
Ia pun sama dengan beberapa
cendikiawan lainnya. Zamakhsyari memutuskan untuk menjadi “uzzab” – memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hayat. Dalam satu
bait puisinya, Zamakhsyari mengungkapkan alasannya untuk menjomblo:
“Aku telah mengamati nasib anak-anak
Aku hampir tak menemukan, anak-anak yang tidak menyakiti ibu dan ayahnya
Aku melihat seorang ayah yang menderita karena mendidik anak-anaknya
Dan ia ingin sekali anaknya menjadi orang yang pintar dan cerdas
Ia ingin mendidik generasi yang cemerlang
Tetapi apa daya , apakah ia menjadi baik atau menjadi nakal
Saudaraku menderita, karena menjadi beban anaknya
Anak itu begitu nakal
Karena itulah, aku tinggalkan menikah
Dan memilih cara hidup sebagai biarawan
Ini bagiku jalan hidup terbaik
Ia terlahir dari pasangan Mirza bin
Ali dan Nuriah binti Mala Thahir di desa Nurs, bagian timur Anatolia, Turki
pada tahun 1877 M. Said Nursi memiliki kecerdasan begitu menonjol sejak belia. Konon,
kala usianya baru 15 tahun, ia mampu menghafal 80 kitab-kitab standard utama,
baik yang tebal maupun yang tipis. Diantaranya adalah kitab Jam’ul JawamiI karya Taqiyuddin As-Subki
yang dihafalkan hanya dalam waktu satu minggu. Begitu pula kamus Al-Muhith (Fairuz Abadi), Ushulul Fiqh Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (Ibnu
Hajib), Al-Tuhfatul Muhtaj bi Syarah
al-Minhaj (Ibnu Hajar Al-Haitsami) dan beberapa kitab lainnya juga
dihafalnya.
Tak hanya ilmu-ilmu keagamaan yang
dikuasainya, pada tahun 1897 ia juga mempelajari ilmu-ilmu sekuler seperti
halnya matematika, astronomi, kimia, fisika, geografi, filsafat, sejarah dan
lain sebagainya. Kecerdasannya yan begitu luar biasa itu menasbihkan dirinya
dengan julukan “Badi’uz Zaman” (Kecemerlangan suatu zaman).
Di tengah aktivitasnya politiknya
yang penuh dengan polemik dan tekanan dari rezim Attartuk, Said Nursi tetap
menjadi penulis produktif. Salah satu karyanya yang paling menonjol adalah Rasailun Nur. Kitab ini merupakan tafsir
Al-Qur’an dalam perspektif sufistik. Karya ini mendapat respon yang begitu luar
biasa dengan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia. Karya lainnya antara
lain: Al-Matsnawi al-Arabi al-Nuri,
Al-Kalimat, Al-Lama’at, Al-Syua’at, Al-Muhkamat, Al-Rumuz, Al-Ayatul QubraI dan lain sebagainya.
Gairahnya dalam menuntut ilmu dan
aktivitas politiknya yang begitu luar biasa mengantarkan Said Nursi menjadi
jomblo progresif sepanjang masa. Dalam salah satu tulisan ia mengatakan
alasannya “menjomblo”
”Aku sungguh tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban untuk istriku
dalam kondisi hidupku seperti ini; menghadapi situasi sosial, politik yang
penuh gejolak dan instabilitas.”
[Bersambung]
Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar