menu

Jumat, 25 September 2015

Haji: Gerbang Literasi Islam Nusantara




Mekkah Tempo Dulu



Sudah menjadi kewajiban bagi tiap umat muslim yang mampu untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Sebagai bagian dari rukun Islam kelima menuntut umat Islam dimanapun untuk melaksanakannya. Termasuk juga umat muslim di nusantara yang terbentang jarak begitu jauh. Keberangkatan jamaah haji asal nusantara tidak hanya terjadi dikala alat transportasi begitu nyaman seperti saat ini. Namun muslim nusantara telah melakukannya jauh dikala transportasi laut masih begitu sederhana.

Catatan yang spesifik tentang keberadaan jamaah haji asal nusantara tertua diungkapkan oleh  Di Varthema tatkala melakukan perjalanan ke Mekkah. Dia melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun 930 H / 1504 M. Disana ia mengamati banyaknya jumlah jamaah haji asal greater India (India Major – anak benua India) dan dari lesser India (India Minor, insular India – kepulauan Nusantara).

Dalam beberapa catatan yang lebih tua juga didapati keberadaan muslim nusantara di jalur-jalur menuju Mekkah. Namun hal tersebut tak menunjukkan hal spesifik akan tujuan mereka untuk melaksanakan ibadah haji. Misalnya catatan Schrieke yang mengutip catatan al-Idrisi pada tahun 549 H/ 1154 M tentang kehadiran orang-orang Indonesia-Melayu di kawasan barat Lautan India. Bahkan Ibnu Batutah pada 747 H / 1346 M mencatat keberadaan orang-orang jawah (nusantara) diantara para pedaagang asing di Kalikut, Pantai Malabar.

Tujuan muslim nusantara, dalam penelitian Martin van Bruinessen, menunaikan ibadah haji di Mekkah tidak hanya untuk menuntaskan rukun Islam saja. Terkadang ada tujuan lain seperti halnya mencari ilmu kesantian (ngelmu) dan juga legitimasi politik. Misalnya yang dilakukan oleh raja Banten dan raja Mataram pada tahun 1630-an. Saat itu, kedua raja tersebut sedang terlibat persaingan sengit. Lalu mereka sama-sama mengutus rombongan untuk melaksanakan ibadah haji dan menemui Syarif Besar, pemimpin Mekkah-Madinah kala itu. Dalam persaingan untuk mendapat semacam legitimasi politik tersebut utusan raja Banten tiba pada tahun 1638 M. Sedangkan utusan dari raja Mataram tiba tiga tahun sesudahnya.

Tetapi yang paling penting dalam perjalanan haji muslim nusantara – yang akan dibahas dalam tulisan ini – adalah bagaimana mereka dalam mengakses ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama. Dalam upaya tersebut, seusai melaksanakan ibadah haji, orang-orang nusantara tidak langsung pulang. Mereka menetap terlebih dahulu untuk menuntut ilmu agama. Upaya menuntut ilmu itulah yang menjadi pintu gerbang arus literasi Islam Nusantara terbuka.

Alur transmisi pembelajaran saat itu – salah satu polanya – adalah dengan sistem tanya jawab. Dimana para santri mengajukan pertanyaan dan gurunya memberikan jawaban. Dalam memberikan jawaban, sebagaimana diuraikan oleh Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, tak jarang menuliskannya dalam sebuah karya tulis. 

Ada beberapa karya tulis yang merupakan “pesanan” dari muslim nusantara. Dalam proses pembelajaran di Mekkah ataupun di Madinah santri dari nusantara mengajukan pertanyaan dan kemudian jawaban dari gurunya berbentuk sebuah kitab. Ibrahim al-Kurani (w. 1101 H / 1690 M), seorang ulama terkemuka di Haramain yang menjadi guru ulama dari berbagai negara, menulis kitab ‘Ithafu-l-Dzaki bi Syarahi-l-Tuhfati-l-Mursalah ila Ruhi-l-Nabi. Dimana kitab tersebut ditulis untuk merespon persoalan yang dialami oleh santri-santrinya dari nusantara.

Al-Kurani menuliskan karyanya dalam bidang tasawuf tersebut sebagai tanggapan atas karya Fadhl-u-Allah al-Burhanpuri yang berjudul al-Tuhfatu-l-Mursala ila Ruhi-l-Nabi yang diselesaikannya pada tahun 1000 H/ 1590 M. Tanggapan al-Kurani tersebut ditujukan atas permintaan para murid-muridnya yang berasal dari nusantara. Hal ini sebagaimana tersirat dari kata pengantar dalam karyanya tersebut:

“Kami mendapatkan informasi yang dapat dipercaya dari sebuah kelompok Jawiyyin (nusantara) bahwa telah tersebar di kalangan penduduk tanah-tanah Jawah (nusantara) beberapa buku mengenai haqiqah ......diantaraa buku-buku tersebut adalah sebuah ringkasan yang berjudul al-Tuhfatul Mursalah.....

Ibrahim al-Kurani tak hanya mengarang ‘Ithaful Dzaki guna menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami murid-muridnya dari nusantara. Al-Kurani kembali menuliskan sebuah kitab dengan pembahasan yang sama tentang tasawuf yang memadukan antara syariat dan hakikat. Kitab tersebut berjudul al-Jawabatu-l-Gharawiyyah ‘an Masa’ili-l-jawiyyah al-Jahriyyah.

Karya tulis lain yang ditujukan untuk menjawab permasalahan-permasalah keagamaan orang-orang nusantara juga ditulis oleh Abdul Syukur al-Syami. Karya yang berjudul Ziyadah min Ibarati-l-Mutaqaddimin min Ahli-l-Jawi – Tambahan Atas Contoh-Contoh yang Terdahulu dari Penduduk Jawi (nusantara) – itu mengupas tentang hakikat dan keesaan Tuhan. Abdul Syukur sendiri, besar kemungkinanan, adalah murid dari Ibrahim al-Kurani.

Adapula seorang ulama terkemuka tanah Mekkah yang menuliskan tentang permasalahan umat Islam Nusantara. Ia adalah Tajjudin bin Ahmad (w. 1066 H / 1656  M), atau dikenal pula dengan nama Ibnu Ya’qub. Ia merupakan ulama yang produktif menulis, mulai tentang bahasa Arab sampai sufistik. Sedangkan karyanya yang ditujukan untuk menjawab permasalahan murid-muridnya asal nusantara menguraikan tentang konsep wahdaniyah (keesaan Tuhan). Kitab itu berjudul al-Jadatul Qawimah ila Tahqiq Mas’alatil Wujud wa Ta’alluail Qudratil Qadimah fil Jawab an al-Is’ilatil Waridah min (Bilad) Jawah.

Tidak hanya ulama-ulama Haramain pada abad ke-17 yang menuliskan kitab-kitab untuk menjawab permasalahan umat muslim di Nusantara. Salah seorang ulama dan penulis produktif abad ke-18 bernama Sulaiman al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M) juga menuliskan kitab yang ditujukan kepada muslim nusantara.  Karya yang berjudul al-Durratul Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil Jawiyyah itu, berdasar penelitian dari Azyumardi Azra, tak diketahui tentang isinya. 

Kitab karya Sulaiman al-Kurdi, sebagaimana juga karya Tajjudin bin Ahmad sebelumnya, dapat ditelusuri dari buku Ismail Basya al-Baghdadi berjudul Hadiyyatul Arifin Asma al-Mu’allifin wa ‘Atsar al-Mushannifin. Diterbitakan tahun 1951 di Istanbul, Turki.

***
Kitab-kitab karya para ulama Haramain abad 17 dan 18 yang ditujukan kepada komunitas muslim Jawwah alias nusantara menjadi bagian dari tonggak penting dalam tradisi literasi Islam Nusantara.  Dari interaksi yang intens demikian menghasilkan ulama dan penulis-penulis dari Islam Nusantara sendiri pada masa-masa selanjutnya. Dimana proses interaksi intelektual tersebut muncul berkat dari peribadatan haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam dimanapun. Begitu!

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi

Daftar Pustaka:
 1. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Edisi Parenial. Jakarta: Kencana. 2013.
2. Martin van Bruinessen,  Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. Cet. II. 1995

Tidak ada komentar: