Mekkah Tempo Dulu |
Sudah menjadi kewajiban
bagi tiap umat muslim yang mampu untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Sebagai bagian dari rukun Islam kelima menuntut umat Islam dimanapun untuk
melaksanakannya. Termasuk juga umat muslim di nusantara yang terbentang jarak begitu
jauh. Keberangkatan jamaah haji asal nusantara tidak hanya terjadi dikala alat
transportasi begitu nyaman seperti saat ini. Namun muslim nusantara telah
melakukannya jauh dikala transportasi laut masih begitu sederhana.
Catatan yang spesifik
tentang keberadaan jamaah haji asal nusantara tertua diungkapkan oleh Di Varthema tatkala melakukan perjalanan ke
Mekkah. Dia melakukan perjalanan ke Mekkah pada tahun 930 H / 1504 M. Disana ia
mengamati banyaknya jumlah jamaah haji asal greater
India (India Major – anak benua India) dan dari lesser India (India Minor, insular India – kepulauan Nusantara).
Dalam beberapa catatan
yang lebih tua juga didapati keberadaan muslim nusantara di jalur-jalur menuju
Mekkah. Namun hal tersebut tak menunjukkan hal spesifik akan tujuan mereka
untuk melaksanakan ibadah haji. Misalnya catatan Schrieke yang mengutip catatan
al-Idrisi pada tahun 549 H/ 1154 M tentang kehadiran orang-orang
Indonesia-Melayu di kawasan barat Lautan India. Bahkan Ibnu Batutah pada 747 H
/ 1346 M mencatat keberadaan orang-orang jawah
(nusantara) diantara para pedaagang asing di Kalikut, Pantai Malabar.
Tujuan muslim
nusantara, dalam penelitian Martin van Bruinessen, menunaikan ibadah haji di
Mekkah tidak hanya untuk menuntaskan rukun Islam saja. Terkadang ada tujuan
lain seperti halnya mencari ilmu kesantian (ngelmu)
dan juga legitimasi politik. Misalnya yang dilakukan oleh raja Banten dan raja
Mataram pada tahun 1630-an. Saat itu, kedua raja tersebut sedang terlibat
persaingan sengit. Lalu mereka sama-sama mengutus rombongan untuk melaksanakan
ibadah haji dan menemui Syarif Besar, pemimpin Mekkah-Madinah kala itu. Dalam
persaingan untuk mendapat semacam legitimasi politik tersebut utusan raja
Banten tiba pada tahun 1638 M. Sedangkan utusan dari raja Mataram tiba tiga
tahun sesudahnya.
Tetapi yang paling
penting dalam perjalanan haji muslim nusantara – yang akan dibahas dalam
tulisan ini – adalah bagaimana mereka dalam mengakses ilmu pengetahuan,
terutama ilmu agama. Dalam upaya tersebut, seusai melaksanakan ibadah haji,
orang-orang nusantara tidak langsung pulang. Mereka menetap terlebih dahulu
untuk menuntut ilmu agama. Upaya menuntut ilmu itulah yang menjadi pintu
gerbang arus literasi Islam Nusantara terbuka.
Alur transmisi
pembelajaran saat itu – salah satu polanya – adalah dengan sistem tanya jawab.
Dimana para santri mengajukan pertanyaan dan gurunya memberikan jawaban. Dalam
memberikan jawaban, sebagaimana diuraikan oleh Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, tak jarang menuliskannya dalam sebuah karya
tulis.
Ada beberapa karya
tulis yang merupakan “pesanan” dari muslim nusantara. Dalam proses pembelajaran
di Mekkah ataupun di Madinah santri dari nusantara mengajukan pertanyaan dan
kemudian jawaban dari gurunya berbentuk sebuah kitab. Ibrahim al-Kurani (w.
1101 H / 1690 M), seorang ulama terkemuka di Haramain yang menjadi guru ulama
dari berbagai negara, menulis kitab ‘Ithafu-l-Dzaki
bi Syarahi-l-Tuhfati-l-Mursalah ila Ruhi-l-Nabi. Dimana kitab tersebut
ditulis untuk merespon persoalan yang dialami oleh santri-santrinya dari
nusantara.
Al-Kurani menuliskan
karyanya dalam bidang tasawuf tersebut sebagai tanggapan atas karya
Fadhl-u-Allah al-Burhanpuri yang berjudul al-Tuhfatu-l-Mursala
ila Ruhi-l-Nabi yang diselesaikannya pada tahun 1000 H/ 1590 M. Tanggapan
al-Kurani tersebut ditujukan atas permintaan para murid-muridnya yang berasal
dari nusantara. Hal ini sebagaimana tersirat dari kata pengantar dalam karyanya
tersebut:
“Kami
mendapatkan informasi yang dapat dipercaya dari sebuah kelompok Jawiyyin (nusantara) bahwa telah
tersebar di kalangan penduduk tanah-tanah Jawah
(nusantara) beberapa buku mengenai haqiqah
......diantaraa buku-buku tersebut adalah sebuah ringkasan yang berjudul al-Tuhfatul Mursalah.....”
Ibrahim al-Kurani tak
hanya mengarang ‘Ithaful Dzaki guna
menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami murid-muridnya dari nusantara.
Al-Kurani kembali menuliskan sebuah kitab dengan pembahasan yang sama tentang
tasawuf yang memadukan antara syariat dan hakikat. Kitab tersebut berjudul al-Jawabatu-l-Gharawiyyah ‘an
Masa’ili-l-jawiyyah al-Jahriyyah.
Karya tulis lain yang
ditujukan untuk menjawab permasalahan-permasalah keagamaan orang-orang nusantara
juga ditulis oleh Abdul Syukur al-Syami. Karya yang berjudul Ziyadah min Ibarati-l-Mutaqaddimin min
Ahli-l-Jawi – Tambahan Atas Contoh-Contoh yang Terdahulu dari Penduduk Jawi
(nusantara) – itu mengupas tentang hakikat dan keesaan Tuhan. Abdul Syukur
sendiri, besar kemungkinanan, adalah murid dari Ibrahim al-Kurani.
Adapula seorang ulama
terkemuka tanah Mekkah yang menuliskan tentang permasalahan umat Islam
Nusantara. Ia adalah Tajjudin bin Ahmad (w. 1066 H / 1656 M), atau dikenal pula dengan nama Ibnu
Ya’qub. Ia merupakan ulama yang produktif menulis, mulai tentang bahasa Arab
sampai sufistik. Sedangkan karyanya yang ditujukan untuk menjawab permasalahan
murid-muridnya asal nusantara menguraikan tentang konsep wahdaniyah (keesaan Tuhan). Kitab itu berjudul al-Jadatul Qawimah ila Tahqiq Mas’alatil Wujud wa Ta’alluail Qudratil
Qadimah fil Jawab an al-Is’ilatil Waridah min (Bilad) Jawah.
Tidak hanya ulama-ulama
Haramain pada abad ke-17 yang menuliskan kitab-kitab untuk menjawab
permasalahan umat muslim di Nusantara. Salah seorang ulama dan penulis produktif
abad ke-18 bernama Sulaiman al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M) juga
menuliskan kitab yang ditujukan kepada muslim nusantara. Karya yang berjudul al-Durratul Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil Jawiyyah itu, berdasar
penelitian dari Azyumardi Azra, tak diketahui tentang isinya.
Kitab karya Sulaiman
al-Kurdi, sebagaimana juga karya Tajjudin bin Ahmad sebelumnya, dapat
ditelusuri dari buku Ismail Basya al-Baghdadi berjudul Hadiyyatul Arifin Asma al-Mu’allifin wa ‘Atsar al-Mushannifin. Diterbitakan
tahun 1951 di Istanbul, Turki.
***
Kitab-kitab karya para
ulama Haramain abad 17 dan 18 yang ditujukan kepada komunitas muslim Jawwah alias nusantara menjadi bagian
dari tonggak penting dalam tradisi literasi Islam Nusantara. Dari interaksi yang intens demikian
menghasilkan ulama dan penulis-penulis dari Islam Nusantara sendiri pada
masa-masa selanjutnya. Dimana proses interaksi intelektual tersebut muncul
berkat dari peribadatan haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam
dimanapun. Begitu!
Ayung
Notonegoro
Penggiat Literasi
Banyuwangi
Daftar Pustaka:
1. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Edisi Parenial. Jakarta: Kencana. 2013.
2. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. Cet. II. 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar