menu

Rabu, 30 Desember 2015

PARA MUALLIF JOMBLO



Salah satu hal yang paling urgen dalam peradaban manusia, mungkin, adalah pernikahan. Dalam pernikahan, perkembangbiakan manusia diatur. Tak hanya berupa aturan adat, pernikahan pun memunculkan aturan hukum agama, hukum positif dan beragam konsekuensi aturan lainnya. Begitu pentingnya pernikahan dalam kehidupan manusia, sehingga bagi orang-orang yang memilih untuk tidak menikah dalam hidupnya mendapat ‘perhatian yang lebih’ (baca: sorotan), ditengah masyarakat.
Sebenarnya, ada banyak orang yang tetap memilih membujang, atau dalam bahasa kekinian acap disebut “jomblo”. Mulai dari orang biasa sampai orang penting, dari orang papa sampai kaya raya, laki-laki atau wanita yang memilih menjomblo. Tak menikah hingga akhir usia. Tentu dengan beragam alasan dan penyebabnya masing-masing.

Namun, dalam tulisan kali ini, saya akan menuliskan para muallif, penulis kitab, yang tetap menjomblo hingga akhir hayatnya. Saya sarikan tulisan singkat ini dari buku KH. Husain Muhammad yang berjudul Memilih Jomblo: Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya Sampai Akhir Hayatnya. Dalam buku terbitan Zora Book tersebut, Husain Muhammad menuliskan sekitar dua puluh satu (21) kisah para intelektual muslim dari berbagai bidang yang memilih untuk tidak menikah. Dari sekian intelektual jomblo tersebut, ada yang produktif menulis dan ada pula yang tidak produktif. Maka, saya memilahnya lagi menjadi beberapa jomblo yang aktif menulis dan memproduksi karya tulis.

Ada kalanya para muallif tersebut menuturkan alasan-alasannya kenapa memilih untuk menjomblo. Namun, tak sedikit yang hanya melahirkan terka kenapa ia tak menikah. Berikut kisahnya:

Ibnu Jarir Ath-Thabari

Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (224-310 H / 839-923 M). Lahir di Tabaristan, sebuah kota di Turkmenistan, selatan Laut Kaspia. Sejak belia telah dikenal sebagai orang yang memiliki kecerdasan luar biasa. Diusianya yang ke tujuh, ia telah hafal Al-Qur’an dan pada usia sembilan tahun telah mulai menulis hadis.

Hari-harinya dihabiskan dengan menuntut ilmu dan menulis kitab. Banyak karya monumental yang telah ditulisnya. Ada puluhan buku dalam berbagai kajian ilmu keislaman yang dianggitnya. Antara lain: Jami’ul Bayan At tanwil Ayil Qur’an dalam bidang tafsir Qur’an yang terdiri dari 30 jilid, dan Tarikh al-Rosul, wal Anbiya wal Muluk wal Umam dalam bidang sejarah yang terdiri dari 8 jilid yang masing-masing berjumlah 700 halaman. Ada pula Tahdzibul Atsar, Ikhtilaful Ulama al-Amshar, Adabul Qadhi, dan lain-lain.

Menurut al-Simsimi, salah seorang muridnya, Ibnu Jarir menulis buku selama 40 tahun. Dimana tiap hari ia menulis sekitar 40 halaman. Dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa dari keseluruhan karya Ibnu Jarir jika dibandingkan dengan panjang usianya yang mencapai 80 tahun, ia rata-rata menulis 14 lembar sehari.

Tak ada riwayat yang menjelaskan alasan Ibnu Jarir untuk memilih jomblo dalam hidupnya. Namun, jika dilihat dari kecintaannya pada ilmu dan gairahnya yang begitu luar biasa dalam menulis, bisa diduga alasannya, sebagaimana orang Arab katakan:

“Wa inna ladzdzatal ma’rifah agnathaa an ladzdzatiz zawaaja wal irtibath”

Menggumuli ilmu pengetahuan jauh lebih nikmat daripada kenikmatan menikah dan terikat.


Abul A’la Al-Ma’arri

Ia terlahir dalam kondisi normal, namun pada usia tiga tahun Al-Ma’ari mengalami panas yang berakibat cacar dan mengganggu penglihatannya. Tiga tahun kemudian, ia mengalami kebutaan permanen. Namun, kebutaan pada matanya tak menyurutkannya untuk belajar pria kelahiran tahun 363 H / 937 M di Ma’arri al-Nu’man, di Syiria Utara. Ia kelak dikenal sebagai seorang cendikiawan, filsuf dan penyair yang banyak menulis karya.

Karya-karya Al-Ma’ari kebanyakan berupa antologi puisi. Antara lain yang terkenal adalah Siqthul Zindi (Percikan Api) yang terdiri dari 3000 bait puisi, Luzum Ma Laa Yalzam (Keharusan yang Tidak Harus), Istaghfir wa Istaghfiri terdiri dari 10.000 bait. Selain itu, karya monumentalnya yang paling berpengaruh adalah Risalatul Ghufran (Surat Pengampunan).

Risalatul Ghufran berupa sastra falsafi yang berisi tentang kehidupan manusia di neraka dan surga yang terbungkus dalam dialog imajinatif yang indah nan satiris. Buku ini kelak banyak mempengaruhi sastrawan-sastrawan besar dunia. Sebut saja Dante Alighieri (1265 M), seorang penulis Italia yang begitu legendaris dengan karyanya Divine Comedy (Komedi Ilahiyah).

Sepanjang hayatnya, Al-Ma’ari memilih untuk tidak menikah. Menikah baginya adalah momok yang amat menakutkan. Dalam salah satu riwayat ia mengatakan, “Tinggalkan berketurunan. Berketurunan akan menimbulkan kematian.”

Dalam riwayat yang lain, ia berwasiat, “Aku wasiat kepadamu, jangan menikah. Bila kau takut dosa, nikahlah tetapi jangan berketurunan. Kuatkanlah.”

Ketakutannya pada keturunan yang menyebabkannya memilih tidak menikah didasarkan dari pandangan subyektifnya akan penderitaan seorang anak. Ia amat  takut menjadi penyebab penderitaan bagi anak-anak yang dilahirkannya. Bahkan dalam wasiatnya yang lain, Al-Ma’ari berpesan untuk menuliskan di batu nisannya sebuah pernyataan:

Hadzaa janaahu abiy alayya wa maa janaytu alaa ahadin

Ini adalah kesalahan ayahku atasku, dan aku tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
 
      Imam Zamakhsyari

Seorang teolog bermadzhab Mu’tazilah ini lahir di Provinsi Khawarizm, di Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Al-Imam Abu Qosim Mahmud bin Umar al-Zamkhsyari al-Khawarizmi. Sejak kecil Zamakhsyari telah haus akan ilmu. Ia rela menempuh perjalanan ribuan mil dari tanah kelahirannya menuju Mekkah guna menuntut ilmu. Kelak ia dikenal sebagai seorang cendikia dibidang bahasa dan terkenal pula sebagai mufassir. Kitab tafsirnya yang terkenal berjudul  Al-Kasysyaf an Haqaiq Ghawamidh At-Tanzil wa ‘Uyunil Aqawil fi Wujudit Ta’wil.

Selain kitab tafsir, intelektual ‘rasional’ tersebut juga menulis 50 buku penting dalam beragam kajian. Antara lain: Al-Faiq fi Gharibil Hadits, Nukatul A’rab fi Gharibil I’rab, Mutasyabih Asmauil Ruwat, Asasul Balaghah, Syaqaiqul Nu’mal fi Haqaiqil Nu’man, dan beberapa judul lainnya.

Ia pun sama dengan beberapa cendikiawan lainnya. Zamakhsyari memutuskan untuk menjadi “uzzab” – memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hayat. Dalam satu bait puisinya, Zamakhsyari mengungkapkan alasannya untuk menjomblo:

“Aku telah mengamati nasib anak-anak
Aku hampir tak menemukan, anak-anak yang tidak menyakiti ibu dan ayahnya
Aku melihat seorang ayah yang menderita karena mendidik anak-anaknya
Dan ia ingin sekali anaknya menjadi orang yang pintar dan cerdas
Ia ingin mendidik generasi yang cemerlang
Tetapi apa daya , apakah ia menjadi baik atau menjadi nakal
Saudaraku menderita, karena menjadi beban anaknya
Anak itu begitu nakal
Karena itulah, aku tinggalkan menikah
Dan memilih cara hidup sebagai biarawan
Ini bagiku jalan hidup terbaik             

Said Nursi

Ia terlahir dari pasangan Mirza bin Ali dan Nuriah binti Mala Thahir di desa Nurs, bagian timur Anatolia, Turki pada tahun 1877 M. Said Nursi memiliki kecerdasan begitu menonjol sejak belia. Konon, kala usianya baru 15 tahun, ia mampu menghafal 80 kitab-kitab standard utama, baik yang tebal maupun yang tipis. Diantaranya adalah kitab Jam’ul JawamiI karya Taqiyuddin As-Subki yang dihafalkan hanya dalam waktu satu minggu. Begitu pula kamus Al-Muhith (Fairuz Abadi), Ushulul Fiqh Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (Ibnu Hajib), Al-Tuhfatul Muhtaj bi Syarah al-Minhaj (Ibnu Hajar Al-Haitsami) dan beberapa kitab lainnya juga dihafalnya.

Tak hanya ilmu-ilmu keagamaan yang dikuasainya, pada tahun 1897 ia juga mempelajari ilmu-ilmu sekuler seperti halnya matematika, astronomi, kimia, fisika, geografi, filsafat, sejarah dan lain sebagainya. Kecerdasannya yan begitu luar biasa itu menasbihkan dirinya dengan julukan “Badi’uz Zaman” (Kecemerlangan suatu zaman).

Di tengah aktivitasnya politiknya yang penuh dengan polemik dan tekanan dari rezim Attartuk, Said Nursi tetap menjadi penulis produktif. Salah satu karyanya yang paling menonjol adalah Rasailun Nur. Kitab ini merupakan tafsir Al-Qur’an dalam perspektif sufistik. Karya ini mendapat respon yang begitu luar biasa dengan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia. Karya lainnya antara lain: Al-Matsnawi al-Arabi al-Nuri, Al-Kalimat, Al-Lama’at, Al-Syua’at, Al-Muhkamat, Al-Rumuz, Al-Ayatul QubraI  dan lain sebagainya.

Gairahnya dalam menuntut ilmu dan aktivitas politiknya yang begitu luar biasa mengantarkan Said Nursi menjadi jomblo progresif sepanjang masa. Dalam salah satu tulisan ia mengatakan alasannya “menjomblo”

”Aku sungguh tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban untuk istriku dalam kondisi hidupku seperti ini; menghadapi situasi sosial, politik yang penuh gejolak dan instabilitas.”

[Bersambung]

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi

Minggu, 01 November 2015

Keanekaragaman Penyusunan Kitab Hadits






Dalam dunia literasi, saya kira, tak ada yang melebihi Nabi Muhammad dalam memberikan inspirasi bagi para penulis. Beribu buku yang menceritakan tentang sejarah hidup orang paling mulya bagi umat Islam tersebut ditulis. Konon, setiap bulan lebih dari satu buku yang terbit di dunia ini tentang dirinya. Baik tentang biografi maupun tentang ajarannya.

Salah satu yang paling sering dan penting untuk ditulis dan dikaji dari kehidupan Nabi Muhammad adalah tentang hadist. Menurut para ahli hadits (muhaditsin) sendiri, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), maupun sifat beliau. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Mahfudz bin Abdillah al-Tarmisyi dalam Manhaj Dzawin Nadhar.

Ruang lingkup hadits yang luas serta peranannya yang amat penting dalam agama Islam, satu tingkat dibawah al-Qur’an, menjadikan hadits begitu menarik untuk ditulis. Namun, meski hadits tersebut hanya berupa kumpulan-kumpulan perkataan dan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, ada beragam jenis penulisannya. Kitab-kitab hadits tak berhenti hanya sebagai sekedar kumpulan kata-kata. Ada kreativitas penulisannya.

Ada beragam pendapat mengenai klasifikasi ragam metode penulisan kitab-kitab hadits tersebut. Al-Mabarakfury, misalnya, dalam kitabnya Muqaddimat Tuhfatil Ahwadzy Syarhil Jami’il Tirmididzy membagi macam penulisan kitab hadits menjadi sembilan: al-jawami’, al-masanid, al-ma’ajim, al-ajza, arbaun haditsan, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-ilal dan al-athraf.

Berbeda pula dengan klasifikasi yang dibuat oleh Jamila Shaukat. Ia membagi kitab-kitab hadits menjadi sebelas jenis: shahifah, risalah/kitab, juz, arba’in, mu’jam, amaliy, athraf, jami’, sunan, mushannaf dan musnad.
 
Terlepas dari perbedaan klasifikasi tersebut, penulis coba sampaikan beberapa jenis yang sekiranya mencakup semua kategori. Bentuk awal pembukuan hadits nabi berupa shahifah. Pada dasarnya shahifah berupa literatur hadits yang masih sederhana. Hanya berupa catatan-catatan hadits yang ditulis begitu saat mengetahui adanya hadits. Bentuk penulisan yang demikian telah ada semenjak era Nabi Muhammad.

Salah satu shahifah yang ditulis dihadapan Nabi Muhammad langsung adalah Ash-Shahifah al-Shadiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr (w. 63 H).  Abdullah bin Amr merupakan salah satu sahabat yang mendapat kepercayaan Nabi untuk menuliskan hadits karena kemampuannya dalam baca tulis dan menguasai bahasa Arab dan Suryani dengan baik.

Menurut Ibnu Atsir diperkirakan ada sekitar seribu hadits yang terdapat dalam shahifah tersebut. Saat ini, shahifah tersebut sudah tidak dapat ditemukan. Namun, masih terdapat beberapa hadits yang kembali diriwayatkan. Ada sekitar tujuh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Secara terpisah, Bukhari meriwayatkan delapan hadits dan Muslim meriwatkan 20 hadits. Adapun yang paling banyak meriwayatkan hadits Abdullah bin Amr adalah Ibnu Hambal dalam musnad-nya.

Selain Ash-Shahifah ash-Shadiqah, beberapa sahabat lain juga ada yang menulis hadits dengan metode shahifah tersebut. Diantaranya adalah Shahifat Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Shahifat Jabir bin Abdillah (w. 78 H), dan Al-Shahifat Ash-Shahihah karya Hammam bin Munabih (w.131 H).

Metode lain yang digunakan adalah kitab atau risalah. Dalam metode ini, hadist dikumpulkan dengan tema-tema tertentu. Para ahli hadits membaginya dalam delapan kelompok. Mulai dari hadits tentang aqidah sampai hadits yang menjelaskan sifat baik ataupun buruk.

Kitab hadits yang khusus menuliskan tentang hadits aqidah atau dikenal pula dengan ilmu tauhid antara lain karya Ibnu Khuzaimah, Kitab Tauhid dan Al-Baihaqy dengan judul Al-Asma wal Shifat. Dalam bidang kesalehan (asketisme / zuhud), hadits yang ditulis dengan metode kitab adalah Kitabul Zuhud  karya Ibnu Hanbal dan Ibnu Al-Mubarak.

Adapula dalam bidang adab (ilmul adab), seperti halnya karya Bukhari, Adabul Mufrad. Sedangkan yang memuat hadits-hadits tentang tafsir diantaranya adalah Tafsir Ibnu Mardawaih, Tafsir Ad-Dailami, Jamiul Bayan karya Ath-Thabari. Hadits tentang biografi Nabi Muhammad ada Sirah Ibnu Ishaq atau Ibnu Hisyam dan Sirah Mula Umar. Sedangkan hadits yang membicarakan tentang peperangan dan kekacauan (ilmul fitan), diantaranya adalah karya Nu’aim bin Hammad berjudul Kitab Fitan. Adapun yang membahas tentang sifat baik dan buruk (ilmul manaqib), adalah karya Al-Muhib al-Thabary dengan judul Ar-Riyadl an-Nadlarat fi Manajibil Asyrah.

Metode penulisan hadits secara tematis demikian paling banyak menarik perhatian adalah tentang fiqih. Bahkan melahirkan beberapa metodologi turunan. Biasanya adalah yang berbentuk sunan. Selain itu, penulisan kitab hadits dalam bidang fiqih juga  dikenal dengan metode mushannaaf dan muwaththa’.

Secara metodologis keempat jenis tersebut tidak berbeda dalam sistematika penyusunan haditsnya. Hadits tersusun disesuaikan dengan urutan bab sebagaimana dalam kitab fiqih pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada kriteria hadits yang dimuat.

Dalam sunan kebanyakan hadits yang dimuat hanya yang berkwalitas marfu’ (disandarkan kepada Nabi SAW). Sedangkan mushannaf dan muwaththa’ juga mencantumkan hadits dengan kwalitas mauquf (disandarkan pada sahabat) dan maqthu’ (disandarkan pada tabi’in). Perbedaan antara mushannaf dan muwaththa’ hanyalah pada motivasi penulisnya. Muwaaththa’ adalah bertujuan untuk memudahkan para pembacanya.

Contoh hadits dengan penyusunan metode sunan antara lain Sunan Ibnu Dawud (w. 275 H), Sunan An-Nasa’i (w. 303 H), Sunan Ibnu Majah (w. 275 H) dan Sunan Ad-Darimy (w. 255 H). Sedangkan dalam bentuk mushannaf adalah Mushannaf Hammad ibnu Salamah al-Bashry, Mushannaf Waki’ Ibnu Jarrah al-Kufi, Mushannaf Abdul Razaq dan Mushannaf  Abi Bakr Abdillah ibn Muhammad ibn Abi Syaibah al-Kufi. Adapun yang muwaththa’ antara lain Muwaththa’  Malik bin Anas, Muwaththa’ Ibnu Abi Dzi’b al-Madany dan Muwaththa’  Abi Muhammad Abdillah al-Maruziy.

Selain dengan gaya penulisan hadits secara tematik, ada pula beberapa kitab hadits yang mencakup keseluruhan. Yaitu model penulisan jami’. Model ini mencakup delapan pembahasan sebagaimana dijelaskan diawal. Yang membedakannya dengan pola penulisan shahifah, metode jami’ ini telah tersistematika. Contoh kitab hadits dengan gaya penulisan demikian adalah Jami’ush Shahih karya Imam Bukhari (w. 256 H), Al-Jamiush Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H), Al-Jami’  karya Al-Tirmidziy (w. 279 H) dan Al-Jami’ karya Abdul Razzaq (w. 211 H).

Yang hampir menyerupai metode jami’ adalah model majma’. Majma’ adalah model penghimpunan hadits yang berasal dari kitab-kitab hadits yang telah disusun sebelumnya. Ada dua cara penyusunannya kitab ini: (1) disusun berdasarkan topik tertentu. Misalnya Al-Jam’u baynal Shahihain karya Muhammad bin Abi Nashir Al-Humaidi (w. 488 H) dan Al-Jam’u Baynal Ushulish Shittah karya Ibnu Al-Atsir (w. 606 H); (2) disusun berdasarkan awal kata dari matan hadits. Misalnya Jam’ul Jawami’  dan Al-Jami’ush Shaghir li Ahaditsil Basyiril Nadzir karya Imam Suyuthi.
Tak hanya berpaku pada pemilahan hadits belaka, metode penyusunan kitab hadits juga ada yang mengacu pada jalur sanadnya. Metode musnad adalah salah satunya. Musnad adalah kitab hadits yang penyusunannya berdasarkan urutan nama sahabat yang meriwayatkan hadits. Diantara jenis musnad adalah Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Al-Humaidi, Musnad Abu Dawud At-Talayisi dan Musnad Asad bin Musa al-Umawy.

Adapula metode mu’jam. Secara bahasa, istilah mu’jam berarti kamus, namun dalam ilmu hadits, mu’jam  adalah kitab hadits yang penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadits, nama-nama negeri, atau lainnya secara berurutan. Secara umum penyusunannya diurutkan secara alfabetis. Diantara kitab mu’jam yang tersohor adalah trilogi mu’jam yang ditulis oleh Al-Thabrany: Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jamush Shagir.

Metode lainnya yang seringkali digunakan para ahli hadits dalam menyusun kitab-kitabnya adalah mustakhraj dan mustadrak. Mustakhraj adalah penulisan kitab berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis mencantumkan sanad sendiri, bukan jalur sanad yang dimiliki penulis pertama. Misalnya adalah Al-Mustakhraj alal Shahihain karya Nu’aim al-Asbahany, Al-Mustakhraj ala Shahih Bukhari karya al-Ismaili, dan Mustkhraj ala Shahih Muslim karya Abu Uwanah.

Sedangkan model mustadrak adalah penyusunan kitab hadits dengan cara menyusulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab lain, tetapi penulisannya menggunakan syarat-syarat yang dipakai oleh penyusun kitab itu. Contohnya adalah Al-Mustadrak ala Shahihain karya Al-Hakim (w. 405 H).
Keragaman penulisan ini semata untuk mempermudah dalam mempelajari hadits yang berjumlah ribuan itu. Dengan demikian, hadits dapat ditelusuri secara lebih efisien baik merujuk pada tema, kata, sanad, atau bahkan kwalitasnya.

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi

Minggu, 18 Oktober 2015

Bugyatul Mustarsyidin, Kitab Pijakan Awal Resolusi Jihad


Salah satu cetakan Kitab Bugyatul Mustarsyidin


(a). Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikapdan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.
(b) Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia dan Agama Islam.

Demikianlah keputusan yang kelak menggerakkan rakyat Indonesia, khususnya Jawa, bertempur dengan sengit melawan NICA di pertempuran Surabaya pada 10 Nopember 1945. Keputusan yang dikenal dengan Resolusi Jihad tersebut dikeluarkan oleh Hoobestur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini mengadakan pertemuan dengan semua konsul NU se-Jawa Madura di Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945.

Hadratusysyekh KH. Hasyim Asyari, Rois Akbar NU, tentu tidak sembarangan dalam mengeluarkan keputusan tersebut. Sebagai seorang yang begitu menguasai ilmu fiqih, tentu setiap keputusannya didasarkan pada keilmuwan sekaligus keyakinan beragamanya tersebut. Apalagi keputusan dalam bidang keagamaan, sebagaimana seruan untuk jihad fi sabilillah.

Dalam perspektif fiqih, jihad fi sabilillah dalam rangka membela negara (wilayah / balad ) diperbolehkan hanya untuk mempertahankan Darul Islam (Negara Islam). Lantas, apakah Indonesia merupakan darul islam  yang diperkenankan untuk jihad fi sabilillah dalam mempertahankannya?

Pertanyaan tentang status Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda), telah mengemuka dan diputuskan oleh Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 M. Dalam muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) adalah sebagai darul islam. Hal ini didasarkan pada kitab Bugyatul Mustarsyidin:

مسألة : كل محل قدر مسلم ساكن به في زمن من الأزمان يصير دار إسلام تجري عليه أحكامه في ذالك الزمان ومابعده وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لاحكما فعلم أن أرض بتاوي وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها قبل الكفار

“Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang'”hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Jawah (Nusantara) adalah “Daerah Islam” (darul Islam) karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.”

Menarik kiranya menelusuri kitab Bugyatul Mustarsyidin tersebut dalam kaitannya tentang penyebutan Batawi (Batavia / Jakarta), begitupula Jawah (Nusantara / Indonesia), sebagai darul islam.

Kitab Bugyatul Mustarsyidin dikarang oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar atau dikenal dengan julukan Al-Ba’alawi. Beliau dilahirkan di Tarim pada 29 Sya’ban 1250 H. Beliau seorang mufti di Hadramaut yang sehari-harinya beruzlah di Masjid Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sahran sekaligus menjadi imam besar disana. Konon, di masjid itulah kitab Bugyatul Mustarsyidin ditulis.
 
Suasana Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin
Kitab tersebut merupakan kumpulan fatwa ulama muta’akhirin dan beberapa fatwa yang sebelumnya telah ditulis dalam enam kitab fatawa. Diantaranya adalah Fatawa As-Sayyid Abdullah Husain Bafaqih, Fatawa Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Fatawa Sayyid Alawi  bin Saqaf al-Jufri, Fatawa Abu Bakar al-Asykhari, dan Fatawa Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi.

Kembali ke pertanyaan diatas, darimanakah Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwa bahwa Batawi dan Jawah pada umumnya adalah darul Islam?

Ada beberapa kemungkinan yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan diatas. Pertama, Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwanya sendiri. Kemungkinan fatwa tersebut dikeluarkan ketika ada muridnya yang berasal dari Indonesia yang menanyakan pertanyaan yang serupa.

Hal tersebut bukan tidak mungkin. Mengingat hubungan nusantara dan dan Hadramaut telah terjalin sejak lama. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwasannya Wali Songo, penyebar Islam awal di Indonesia, berasal dari salah satu kota di Yaman tersebut. Hubungan tersebut terutama dilakukan oleh kalangan habaib yang banyak tinggal di Indonesia. Ada keterbatasan referensi bagi penulis untuk meneliti kemungkinan ini lebih jauh. Insyaallah pada tulisan lain akan dibahas.

Kemungkinan kedua, Habib Abdurrahman Ba’alawi mengutip tentang status Betawi ataupun Jawah itu berasal dari kitab Fatawa Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Pendapat ini, penulis kira, masih prematur. Namun, setidaknya tulisan ini, bisa menjadi rintisan untuk menjawab pertanyaan diatas.

Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M), memiliki hubungan yang cukup harmonis dengan murid-muridnya yang berasal dari Jawah. Hubungan harmonis tersebut ditandai dengan perhatiannya terhadap mas’alatul jawiyah  (Masalah-masalah dari Jawah). perhatian tersebut tampak dari karyanya yang berjudul Al-Durrat al-Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil Jawiyyah. Dalam penelitian Azyumadri Azra kitab tersebut tak diketahui membahas tentang permasalahan apa. Namun, tidak mungkin permasalahan tentang Jawah yang diajukan ke Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi juga menanyakan tentang status Jawah itu sendiri dalam hukum Islam. 

Salah satu murid dari Sulaiman Al-Kurdi yang berasal dari Indonesia adalah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812 M). Menurut Steenbrink (1984) Al-Banjari seringkali meminta fatwa tentang permasalahan yang terjadi di tanah airnya. Salah satu permasalahan yang pernah ditanyakan adalah tentang kebijakan Sultan Banjar  untuk mendenda rakyatnya yang tidak melaksanakan sholat Jum’at.

Hubungan Al-Banjari dengan Sulaiman Al-Kurdi ini menarik untuk diamati, mengingat kisah kepulangannya ke tanah air. Al-Banjari bersama dua kawannya, Syekh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi pada tahun 1186 H / 1773 M. Kepulangan Al-Banjari tersebut tidak langsung menuju Banjarmasin, daerah asalnya, namun menetap dulu di Betawi dalam beberapa bulan.

Saat tinggal di Betawi, Al-Banjari banyak melakukan aktivitas dakwah yang berpengaruh besar. Salah satu diantaranya adalah melakukan pembetulan arah kiblat di masjid-masjid yang berada di Betawi. Tidak menutup kemungkinan keberadaan Al-Banjari di Betawi berkirim surat ke Sulaiman Al-Kurdi untuk mempertanyakan status mempertahankan Betawi dan Jawah (nusantara) pada umumnya. Karena, pada masa-masa kedatangan Al-Banjari, Betawi dan sebagian besar pulau Jawa terlibat dalam perlawanan menghadapi Belanda. 

Sebagaimana dikemukakan diawal, tulisan ini merupakan rintisan yang masih bersifat prematur, tentu masih banyak hal yang perlu dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut. Namun terlepas dari asal muasal pendapat tersebut, tulisan Habib Abdurrahman Ba’alawi di kitab Bugyatul Mustarsyidin tak dapat dipungkiri telah menjadi pijakan ulama Nusantara untuk berjihad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Jumat, 16 Oktober 2015

Naskah Militer Orang-Orang Pesantren


Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Salah satu perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terjadi pada periode 1825-1830. Perlawanan yang dikenal dengan nama Perang Jawa ini berlangsung sengit dibawah kepemimpinan seorang santri cum bangsawan, Pangeran Diponegoro (1785-1855). Peperangan yang juga dikenal dengan sebutan Perang Diponegoro ini, menurut MC. Ricklef , menewaskan penjajah sebanyak 8.000 pasukan berkebangsaan Eropa dan 7.000 berkebangsaan Indonesia. Sedangkan orang Jawa sedikitnya 200.000 orang yang tewas dalam pertempuran selama lima tahun tersebut.

Perang Diponegoro yang berlangsung sengit ini tidak terlepas dari peranan pesantren. Pangeran Diponegoro sendiri tumbuh dilingkungan pesantren di daerah Tegalrejo, Yogyakarta. Begitu pula para bawahan dan pasukannya kebanyakan adalah orang-orang pesantren. Sebut saja Kyai Mojo, ulama asal Surakarta, Sentot Ali Basya, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam Demak, Jombang, Kyai Hasan Besari, Tegalsari Ponorogo dan sebagainya.

Kontribusi kalangan pesantren pada Perang Jawa tersebut tidak hanya sebatas pada sumber daya manusianya saja. Namun, pada segi persenjataan dan kemampuan militer juga disokong oleh orang-orang pesantren. Peter Carey dalam bukunya The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Older in Java, 1785-1855 menulis demikian:

Although captured Dutch suplies were extensively used, Dipanegara also obtained propellants from local villages in the districts to the south and west of Yogya. These included Samen in the Pandhak sub-district near Bantul to the south of the sultan’s capital, Into-into on the Praga River, and the villages of Geger (Samigaluh) and Deksa in Kulon Praga, an area where tin cannonballs were also cast for the prince’s artillery. Experiments were even made in the Menoreh district with the manufacture of bullets made out of tightly packed rush matting, the materials presumably being obtained from the neighbouring pradikan (tex-free) villages of Pesantren and Bendha in southern Kedhu which specialised in mat weaving. The former in particular was mentioned on the Dutch reports as a staunch centre of support for te prince during the war. [hal 609-10]

Meski perlengkapan persenjataan Belanda banyak yang dirampas dan dimanfaatkan untuk keperluan perang, Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari desa-desa di berbagai kabupaten bagian selatan dan barat Yogyakarta. Termasuk diantaranya adalah dari Samen dan Kawedanan Pandak dekat Bantul arah selatan Yogyakarta, Into-into di Kali Progo, dan desa-desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulon Progo. Daerah-daerah ini juga menghasilkan peluru meriam dari timah untuk keperluan artileri  Diponegoro. Bahkan beberapa percobaan dilakukan di Menoreh untuk membuat peluru dengan gelagah anyaman yang sangat rapat; dan bahan-bahan itu kemungkinan diperoleh dari desa-desa perdikan (bebas pajak) Pesantren dan Bendo di Kedu selatan yang khusus menghasilkan anyaman tikar. Desa-desa pesantren inilah yang secara spesifik disebut-sebut dalam sumber-sumber Belanda sebagai salah satu basis dukungan kuat terhadap Dipanegara.

Dari uraian diatas, menunjukkan kemapuan orang-orang pesantren dalam penguasaan senjata api. Tidak hanya sebatas bambu runcing sebagaimana seringkali dicitrakan. Lantas yang menjadi pertanyaannya, darimanakah mereka menguasai teknik-teknik kemiliteran dan persenjataan tersebut?
Pater Carey mengungkapkan bahwa kemampuan militer dan teknologi persenjataan tersebut diadaptasi dari Turki Usmaniyah. Hal ini tampak dari adanya utusan khusus. Haji Badarudin, salah seorang penasehat khusus strategi perang Pangeran Diponegoro, disebut-sebut menimba ilmu militernya pada Kesultanan Turki Usmaniyah. Tak dapat dipungkiri, kontak antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah adalah hubungan yang diawali dari kalangan pesantren yang menuntut ilmu di Timur Tengah yang telah terjalin sejak abad ke-15.

Ahamd Baso dalam Pesantren Studies 2a menyebutkan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah dalam bidang militer bahkan terjadi jauh sebelum Perang Diponegoro berkobar. Hal ini dengan adanya teks-teks yang berisikan tentang ilmu kemiliteran yang berasal dari Kesultanan Turki Usmaniyah pada abad ke-18 dan 19. Salah satunya adalah karya Haji Bankatasi, seorang komandan militer Usmani asal Anatolia, yang berisi tentang berbagai soal imu perang dan teknik persenjataan.

Nama Haji Bankatasi sendiri merupakan penyebutan dengan ejaan Bugis-Makasar. Nama aslinya adalah Haji Bektash yang juga pendiri tarekat Bektashi yang merupakan guru spritual pasukan Janissaries Turki Usmani. Naskah karya Haji Bankatasi yang dikaji oleh orang-orang Bugis-Makasar tersebut kemudian dipelajari pula oleh orang-orang Aceh.

Keterkaitan Pangeran Diponegoro dengan Kesultanan Turki Usmaniyah juga tampak pada penamaan pasukannya. Penamaan Prajurit Bulkiyah, suatu pasukan berani mati dibawah pimpinan Haji Usman Alibasya dan Haji Abdulkadir, menyerupai penamaan pada pasukan Turki Usmani.

Naskah-naskah kemiliteran yang tersebar di pesantren Nusantara juga ditemukan pada abad ke-17. Naskah tersebut disimpan di London, Inggris, yang berupa risalah dalam bahasa Bugis dan Makasar tentang teknik persenjataan. Menurut Ahmad Baso, penyalin teks tersebut dilakukan oleh kalangan pesantren di Bontoala, Makasar. 

Naskah tersebut diadaptasi oleh para santri Bontoala dari naskah berbahasa Spanyol yang ditulis oleh komandan artileri Raja Kasatela (Spanyol), Andarae Ri Monyona (ejaan Bugis-Makasar). Terjemahan bahasa Bugis dari bahasa Makasar dibuat pada tahun 1635 dan pada 1652.

Selain itu adapula naskah tentang ilmu militer yang berasal dari kalangan pesantren. Salah satunya adalah naskah pendek dengan kode Lor 5738 bis yang tersimpan di Perpustakaan Lieden, Belanda. Naskah dalam bahasa Melayu tersebut berjudul Membedil  (menembak). Tentu isinya adalah tentang tata cara penggunaan senjata yang telah berkembang kala itu. Naskah tersebut disita oleh pasukan Belanda dari seorang ulama Banten yang tak disebutkan namanya yang dituduh telah melakukan agitasi melawan Belanda. Naskah-naskah tersebut ditemukan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1890 di Serang. Kemudian, ia kirimkan ke Belanda pada 28 Juli 1906.

Naskah-naskah tersebut menandakan bahwa pesantren kala itu tidak hanya sebagai pusat pendidikan keagamaan belaka. Namun pesantren menjadi universitas bagi bangsa Indonesia untuk menggerakkan keilmuwan dan peradaban bangsa dalam berbagai bidang, duniawi maupun ukhrawi.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi