“Ping!”
Ponsel lelaki berjanggut
tipis itu berdenting. Membangunkan dari tidurnya. Ia terperanjat dan segera
bergegas. ia membasuh muka dan berwudlu.
Kemudian, ia beranjak
menelusuri tangga. Anak tangganya tak sepenuhnya terlihat. Keburaman fajar –
fajar yang menuju penghujung – menutupinya. Cahaya biru, tak seberapa lama,
berpendar lembut. Disusul kemudian pendar cahaya yang lebih terang dari layar benda
berwarna hitam itu.
Sebuah laptop menyala. Sinarnya
menerangi ruang dan sepotong wajah lelaki berjanggut tipis itu. Sisa ruang dan
bagian belakang tubuh lelaki berjanggut tipis itu masih dibalut oleh keburaman
cahaya fajar – fajar yang menuju penghujung.
Tampaknya pesan di
ponsel lelaki berjanggut tipis itu menyerunya untuk segera membuka laptop. Jari-jarinya
terlihat lincah melompat-lompat di atas keyboard
laptop itu. Beberapa saat kemudian tampak deretan kata dari layar yang terang
itu. Sebuah surat.
Memang, saat ini, surat
tak hanya berupa kertas berperangko pada sampulnya. Surat elektonik begitu
orang menyebutnya. Cukup dengan akses internet, surat menyurat dapat berlangsung
dalam hitungan detik. Tak peduli jarak sejauh apapun membentang.
Sorot mata lelaki
berjanggut tipis itu pun lansung dihujamkan ke surat itu. Sekejap saja
keheningan dan kekhusuan menenggelamkannya. Andai ada microskop canggih yang
mampu memindah kerja otak, mungkin akan terlihat pijar-pijar saraf di otak
lelaki berjanggut tipis itu. Memercikkan kenangan dan letupan refleksi.
***
Buku bersampul hijau
bergambar sebuah daun berwarna coklat memercik terlebih dahulu dari pijar
kenangan lelaki itu. Sebuah novel yang entah siapa nama asli penulisnya itu. Mengisahkan
cinta gadis ingusan hingga beranjak dewasa. Lengkap dengan derita hidup dan kehampaan
tanpa seorang ayah. Dibumbui dengan kedatangan seorang lelaki bak malaikat yang
menjadi penolong. Lelaki yang seolah berperan sebagai ayah sekaligus kakak laki-laki
dan seiring waktu menjelma menjadi orang terkasih.
“Aku tak berusaha
membandingkan diriku dengan lelaki dalam novel itu.” Desis lelaki yang
berjanggut tipis itu dalam kesunyian fajar, fajar yang menuju penghujung.
Selalu ada sebuah pesan
yang tak tertulis diantara rimbun kata yang tertulis. Bahkan dalam rentetan
kata yang membuku. Setebal apapun buku itu. Mendialogkan kata dengan aliran
darah, kemudian membincangkannya dengan kesahduan jiwa adalah bagian dari
upaya-upaya mengais pesan yang tak sempat terketik itu.
“Aku menangkap satu
pesan dalam novel itu. Sebuah pesan bahwa apapun dalam hidup ini bisa terjadi. Terkadang
pahit, sangat pahit atau bisa pula sebaliknya. Manis dan sangat manis. Dan fitrah
kita dalam hidup hanyalah menerima serta berusaha untuk bisa menikmatinya.”
“Bukankah hidup itu
soal keberanian menghadapi yang tanda tanya?” Lelaki itu menggumamkan penggalan
puisi Soe Hok Gie yang masyhur itu, “Tanpa pernah kita mengerti, tanpa pernah
memahami. Terimalah dan hadapilah.” Pungkasnya.
Sorot mata lelaki
berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.
Bibirnya yang tak
bergetar itu tampak mengeluarkan sesuatu. Mungkin desahan. Bisa pula rintihan.
Tidak. Lelaki berjanggut
tipis itu menggumam lirih. Kesunyian fajar – fajar yang menuju penghujung – sekalipun,
tak akan bisa mendengarnya. Begitu lirih.
“Kisah itu seperti
musik klasik. Menyenandungkan kegetiran di satu waktu. Kadangkala kebahagiaan
di waktu yang lain.”
“Tak peduli engkau menuturkannya
dengan riuh, seriuh kicau burung di pagi hari. Aku tak pernah bosan
mendengarnya. Dengan termangu aku menyimaknya.”
Sorot mata lelaki
berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.
Pelupuk mata lelaki itu
seolah berbicara. Ingin menyampaikan satu potong kenangan yang tersirat dari
penggal paragraf surat di waktu fajar – fajar yang menuju penghujung – itu.
“Puncak itu menjadi
mercusuar penuntun diriku menuju pulau jiwamu.”
“sengalan-sengalan
nafasmu yang mengais oksigen kala menuju puncak itu tak ubahnya pesan-pesan
pendekku selama beberapa bulan ini. Sebuah pesan – yang tak salah kuingat –
awal kali padamu adalah ungkapan terima kasihku atas kehadiranmu di acara itu. Acara
yang pertama kali aku mengenalmu. Entah bagaimana ceritanya, acara itu pun
dihelat di lereng puncak gunung yang menjadi mercusuar penuntunku melabuhi
pulau jiwamu.” Buliran mata di mata lelaki berjanggut tipis itu melontarkan
cerita.
“Seandainya di lereng
itu, engkau tak bersikap acuh.” Mata itu terpejam. Buliran itu mengalir. Membasahi
pipi.
Selang beberapa detak
jarum merah di jam dinding, mata lelaki berjanggut tipis itu kembali terbuka.
Sorot mata lelaki
berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.
“Benar kiranya, jarak
terjauh adalah lupa. Hanya dengan itu, jangankan hanya sekedar masalah letak,
masalah waktu pun bisa terlipat. Membincang kenangan adalah membincang jarak
dan waktu. Hanya lupa yang bisa menyingkirkannya.” Kerut-kerut dahi lelaki
berjanggut tipis itu seolah berteori.
“Aku pun serupa. Jemari
tanganmu yang lentik, pundakmu yang tak begitu kukuh, lingkar tubuhmu yang
sepegelangan tanganku, dan juga ranum merah jambu bibirmu telah menjadi fosil
dalam benakku. Kenangan yang menjadi prasasti. Yang membuncahkan kegundahan
tiap kali mengingatnya.”
Kembali jatuh sepotong,
semacam embun, terjatuh dari kelopak mata lelaki berjanggut tipis itu.
“Teringat memang
berbeda dengan sengaja mengingat. Tapi bagiku itu sama. Ingatan yang datang
silih berganti dalam sadar dan tak sadarku.”
Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali
menghujam ke surat itu.
Lekat-lekat ia
menyusuri paragraf demi paragraf. Giginya terdengar gemeretak. Mengeratkan suatu
penyesalan akan satu keteledoran. Satu kesalahan yang berujung fatal.
“Aku kadang berfikir,
mungkin ini cara Tuhan untuk menuntunku pada satu kepastian. Kepastian yang
telah aku tetapkan sejak aku belum mengenalmu.” Bibir bergetar itu menggumam
sahdu.
“Kepastian itu tak
ubahnya sembilu di mata jelitamu. Menghujam jiwa dengan serentetan caci maki
yang seharusnya itu terhujam didahiku. Letupan-letupan sumpah serapah yang
seharusnya memborbardirku. Bukan kamu.”
Gigi lelaki itu
gemeretak. Mengernyitkan suara yang pilu.
“Adakah sesuatu yang
lebih hebat dari sepotong kata maaf?” Buliran itu kembali mengalir di ceruk
hidung dan pipinya.
Sorot mata lelaki
berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.
Dalam sergapan hawa
dingin di waktu fajar – fajar yang menuju penghujung – lelaki itu terus
menyelami suratnya. Surat yang mengaduk samudera jiwa. Menggelorakan gelombang
tinggi di pulau hatinya. Meluapkan suatu kisah yang berujung nestapa. Tidak. Kisah
itu masih belum berujung, meski telah menukik curam.
“Tahukah engkau dimana
letak diri ini?”
“Ya, direlung hati. Disana
ada satu tempat yang absurd. Tak seorang pun mampu mengunjunginya. Bahkan diri
sendiri pun tak kuasa memasukinya walau sekedar untuk menata atau merapikan
tempat itu. Ia hanya bisa dimasuki oleh sublimasi kenangan yang telah
terekstrak oleh jiwa. Disanalah hembusan sesuatu yang lebih lembut dari angin
ditiupkan. Menebarkan aroma senyum atau derai air mata. Ditempat itu, aku
meletakkanmu.”
“Mungkin ditempat
seperti itu pula engkau meletakkanku. Tanpa pernah bisa engkau mengubahnya. Bahkan
dalam mimpi pun engkau tak kuasa menyentuh tempat itu.”
Buliran serupa embun
itu kembali terurai.
Sorot mata lelaki
berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.
Tak lama kemudian,
tubuh lelaki berjanggut tipis itu tertunduk. Menghela nafas panjang dan
merebahkan dirinya. Matanya yang terus berlinang itu, menatap langit-langit
atap. Keburaman fajar – fajar yang menuju penghujung – menyelimutinya.
“Jemari tanganmu tak
sehangat biasanya malam itu. Sorot mata yang engkau alihkan lebih tajam
menancap di ceruk sukmaku. Sepanjang waktu aku menahan getaran jiwa. Rasa yang
begitu nyilu. Tak terperikan.”
“Mungkin nyilu ini tak
sebanding dengan perih yang engkau rasakan. Aku terima. Bahkan jika ada siksa
yang lebih perih dari itu, aku rela menerimanya.”
“Terang bulan itu,
terasa gerhana.”
Lelaki berjanggut tipis
itu mengeluhkan nafas panjang. Menyaingi nafas muadzin subuh yang lamat-lamat berkumandang. Menandakan fajar telah
mencapai penghujung.
***
Tak begitu lama lelaki
berjanggut tipis itu beranjak. Air bekas wudlu bercampur air mata itu masih
membasahi janggutnya. Ia tunaikan panggilan Sang Kuasa di pangkal hari itu. Kemudian
ia bersimpuh. Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya mengatup di depan
wajahnya. Selayaknya orang berdoa.
Tak ada yang tahu apa
yang dirapal lelaki berjanggut tipis itu. Mungkin, malaikat pencatat doa pun
tak mendengarnya. Atau jangan-jangan ia hanya terdiam. Membisikkan doa pada
Tuhan tanpa kata. Tanpa getar hati. Hanya kepasrahan kemana Tuhan menghembuskan
penghujung kisahnya di penghujung fajar itu.
“Bukankah kepasrahan
adalah bentuk dari doa pula?” (*)
Banyuwangi, 27
September 2015
Pemilik
Ruang Absurd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar