menu

Sabtu, 26 September 2015

SURAT DI PENGHUJUNG FAJAR


 
“Ping!”

Ponsel lelaki berjanggut tipis itu berdenting. Membangunkan dari tidurnya. Ia terperanjat dan segera bergegas. ia membasuh muka dan berwudlu. 

Kemudian, ia beranjak menelusuri tangga. Anak tangganya tak sepenuhnya terlihat. Keburaman fajar – fajar yang menuju penghujung – menutupinya. Cahaya biru, tak seberapa lama, berpendar lembut. Disusul kemudian pendar cahaya yang lebih terang dari layar benda berwarna hitam itu.

Sebuah laptop menyala. Sinarnya menerangi ruang dan sepotong wajah lelaki berjanggut tipis itu. Sisa ruang dan bagian belakang tubuh lelaki berjanggut tipis itu masih dibalut oleh keburaman cahaya fajar – fajar yang menuju penghujung.

Tampaknya pesan di ponsel lelaki berjanggut tipis itu menyerunya untuk segera membuka laptop. Jari-jarinya terlihat lincah melompat-lompat di atas keyboard laptop itu. Beberapa saat kemudian tampak deretan kata dari layar yang terang itu. Sebuah surat.

Memang, saat ini, surat tak hanya berupa kertas berperangko pada sampulnya. Surat elektonik begitu orang menyebutnya. Cukup dengan akses internet, surat menyurat dapat berlangsung dalam hitungan detik. Tak peduli jarak sejauh apapun membentang.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu pun lansung dihujamkan ke surat itu. Sekejap saja keheningan dan kekhusuan menenggelamkannya. Andai ada microskop canggih yang mampu memindah kerja otak, mungkin akan terlihat pijar-pijar saraf di otak lelaki berjanggut tipis itu. Memercikkan kenangan dan letupan refleksi. 

***
Buku bersampul hijau bergambar sebuah daun berwarna coklat memercik terlebih dahulu dari pijar kenangan lelaki itu. Sebuah novel yang entah siapa nama asli penulisnya itu. Mengisahkan cinta gadis ingusan hingga beranjak dewasa. Lengkap dengan derita hidup dan kehampaan tanpa seorang ayah. Dibumbui dengan kedatangan seorang lelaki bak malaikat yang menjadi penolong. Lelaki yang seolah berperan sebagai ayah sekaligus kakak laki-laki dan seiring waktu menjelma menjadi orang terkasih.

“Aku tak berusaha membandingkan diriku dengan lelaki dalam novel itu.” Desis lelaki yang berjanggut tipis itu dalam kesunyian fajar, fajar yang menuju penghujung.

Selalu ada sebuah pesan yang tak tertulis diantara rimbun kata yang tertulis. Bahkan dalam rentetan kata yang membuku. Setebal apapun buku itu. Mendialogkan kata dengan aliran darah, kemudian membincangkannya dengan kesahduan jiwa adalah bagian dari upaya-upaya mengais pesan yang tak sempat terketik itu.

“Aku menangkap satu pesan dalam novel itu. Sebuah pesan bahwa apapun dalam hidup ini bisa terjadi. Terkadang pahit, sangat pahit atau bisa pula sebaliknya. Manis dan sangat manis. Dan fitrah kita dalam hidup hanyalah menerima serta berusaha untuk bisa menikmatinya.”

“Bukankah hidup itu soal keberanian menghadapi yang tanda tanya?” Lelaki itu menggumamkan penggalan puisi Soe Hok Gie yang masyhur itu, “Tanpa pernah kita mengerti, tanpa pernah memahami. Terimalah dan hadapilah.” Pungkasnya.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Bibirnya yang tak bergetar itu tampak mengeluarkan sesuatu. Mungkin desahan. Bisa pula rintihan.
Tidak. Lelaki berjanggut tipis itu menggumam lirih. Kesunyian fajar – fajar yang menuju penghujung – sekalipun, tak akan bisa mendengarnya. Begitu lirih.

“Kisah itu seperti musik klasik. Menyenandungkan kegetiran di satu waktu. Kadangkala kebahagiaan di waktu yang lain.”

“Tak peduli engkau menuturkannya dengan riuh, seriuh kicau burung di pagi hari. Aku tak pernah bosan mendengarnya. Dengan termangu aku menyimaknya.”

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Pelupuk mata lelaki itu seolah berbicara. Ingin menyampaikan satu potong kenangan yang tersirat dari penggal paragraf surat di waktu fajar – fajar yang menuju penghujung – itu.

“Puncak itu menjadi mercusuar penuntun diriku menuju pulau jiwamu.”

“sengalan-sengalan nafasmu yang mengais oksigen kala menuju puncak itu tak ubahnya pesan-pesan pendekku selama beberapa bulan ini. Sebuah pesan – yang tak salah kuingat – awal kali padamu adalah ungkapan terima kasihku atas kehadiranmu di acara itu. Acara yang pertama kali aku mengenalmu. Entah bagaimana ceritanya, acara itu pun dihelat di lereng puncak gunung yang menjadi mercusuar penuntunku melabuhi pulau jiwamu.” Buliran mata di mata lelaki berjanggut tipis itu melontarkan cerita.

“Seandainya di lereng itu, engkau tak bersikap acuh.” Mata itu terpejam. Buliran itu mengalir. Membasahi pipi.

Selang beberapa detak jarum merah di jam dinding, mata lelaki berjanggut tipis itu kembali terbuka.
Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

“Benar kiranya, jarak terjauh adalah lupa. Hanya dengan itu, jangankan hanya sekedar masalah letak, masalah waktu pun bisa terlipat. Membincang kenangan adalah membincang jarak dan waktu. Hanya lupa yang bisa menyingkirkannya.” Kerut-kerut dahi lelaki berjanggut tipis itu seolah berteori.

“Aku pun serupa. Jemari tanganmu yang lentik, pundakmu yang tak begitu kukuh, lingkar tubuhmu yang sepegelangan tanganku, dan juga ranum merah jambu bibirmu telah menjadi fosil dalam benakku. Kenangan yang menjadi prasasti. Yang membuncahkan kegundahan tiap kali mengingatnya.”

Kembali jatuh sepotong, semacam embun, terjatuh dari kelopak mata lelaki berjanggut tipis itu.

“Teringat memang berbeda dengan sengaja mengingat. Tapi bagiku itu sama. Ingatan yang datang silih berganti dalam sadar dan tak sadarku.”

 Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Lekat-lekat ia menyusuri paragraf demi paragraf. Giginya terdengar gemeretak. Mengeratkan suatu penyesalan akan satu keteledoran. Satu kesalahan yang berujung fatal.

“Aku kadang berfikir, mungkin ini cara Tuhan untuk menuntunku pada satu kepastian. Kepastian yang telah aku tetapkan sejak aku belum mengenalmu.” Bibir bergetar itu menggumam sahdu.

“Kepastian itu tak ubahnya sembilu di mata jelitamu. Menghujam jiwa dengan serentetan caci maki yang seharusnya itu terhujam didahiku. Letupan-letupan sumpah serapah yang seharusnya memborbardirku. Bukan kamu.”

Gigi lelaki itu gemeretak. Mengernyitkan suara yang pilu.

“Adakah sesuatu yang lebih hebat dari sepotong kata maaf?” Buliran itu kembali mengalir di ceruk hidung dan pipinya.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Dalam sergapan hawa dingin di waktu fajar – fajar yang menuju penghujung – lelaki itu terus menyelami suratnya. Surat yang mengaduk samudera jiwa. Menggelorakan gelombang tinggi di pulau hatinya. Meluapkan suatu kisah yang berujung nestapa. Tidak. Kisah itu masih belum berujung, meski telah menukik curam.

“Tahukah engkau dimana letak diri ini?”

“Ya, direlung hati. Disana ada satu tempat yang absurd. Tak seorang pun mampu mengunjunginya. Bahkan diri sendiri pun tak kuasa memasukinya walau sekedar untuk menata atau merapikan tempat itu. Ia hanya bisa dimasuki oleh sublimasi kenangan yang telah terekstrak oleh jiwa. Disanalah hembusan sesuatu yang lebih lembut dari angin ditiupkan. Menebarkan aroma senyum atau derai air mata. Ditempat itu, aku meletakkanmu.”

“Mungkin ditempat seperti itu pula engkau meletakkanku. Tanpa pernah bisa engkau mengubahnya. Bahkan dalam mimpi pun engkau tak kuasa menyentuh tempat itu.” 

Buliran serupa embun itu kembali terurai.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Tak lama kemudian, tubuh lelaki berjanggut tipis itu tertunduk. Menghela nafas panjang dan merebahkan dirinya. Matanya yang terus berlinang itu, menatap langit-langit atap. Keburaman fajar – fajar yang menuju penghujung – menyelimutinya.

“Jemari tanganmu tak sehangat biasanya malam itu. Sorot mata yang engkau alihkan lebih tajam menancap di ceruk sukmaku. Sepanjang waktu aku menahan getaran jiwa. Rasa yang begitu nyilu. Tak terperikan.”

“Mungkin nyilu ini tak sebanding dengan perih yang engkau rasakan. Aku terima. Bahkan jika ada siksa yang lebih perih dari itu, aku rela menerimanya.”

“Terang bulan itu, terasa gerhana.”

Lelaki berjanggut tipis itu mengeluhkan nafas panjang. Menyaingi nafas muadzin subuh yang lamat-lamat berkumandang. Menandakan fajar telah mencapai penghujung.

***
Tak begitu lama lelaki berjanggut tipis itu beranjak. Air bekas wudlu bercampur air mata itu masih membasahi janggutnya. Ia tunaikan panggilan Sang Kuasa di pangkal hari itu. Kemudian ia bersimpuh. Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya mengatup di depan wajahnya. Selayaknya orang berdoa. 

Tak ada yang tahu apa yang dirapal lelaki berjanggut tipis itu. Mungkin, malaikat pencatat doa pun tak mendengarnya. Atau jangan-jangan ia hanya terdiam. Membisikkan doa pada Tuhan tanpa kata. Tanpa getar hati. Hanya kepasrahan kemana Tuhan menghembuskan penghujung kisahnya di penghujung fajar itu.

“Bukankah kepasrahan adalah bentuk dari doa pula?” (*)


Banyuwangi, 27 September 2015
Pemilik Ruang Absurd

Tidak ada komentar: