Dalam dunia literasi, saya kira,
tak ada yang melebihi Nabi Muhammad dalam memberikan inspirasi bagi para
penulis. Beribu buku yang menceritakan tentang sejarah hidup orang paling mulya
bagi umat Islam tersebut ditulis. Konon, setiap bulan lebih dari satu buku yang
terbit di dunia ini tentang dirinya. Baik tentang biografi maupun tentang
ajarannya.
Salah satu yang paling
sering dan penting untuk ditulis dan dikaji dari kehidupan Nabi Muhammad adalah
tentang hadist. Menurut para ahli hadits (muhaditsin)
sendiri, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir),
maupun sifat beliau. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Mahfudz bin
Abdillah al-Tarmisyi dalam Manhaj Dzawin
Nadhar.
Ruang lingkup hadits
yang luas serta peranannya yang amat penting dalam agama Islam, satu tingkat
dibawah al-Qur’an, menjadikan hadits begitu menarik untuk ditulis. Namun, meski
hadits tersebut hanya berupa kumpulan-kumpulan perkataan dan segala sesuatu
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, ada beragam jenis penulisannya.
Kitab-kitab hadits tak berhenti hanya sebagai sekedar kumpulan kata-kata. Ada
kreativitas penulisannya.
Ada beragam pendapat
mengenai klasifikasi ragam metode penulisan kitab-kitab hadits tersebut.
Al-Mabarakfury, misalnya, dalam kitabnya Muqaddimat
Tuhfatil Ahwadzy Syarhil Jami’il Tirmididzy membagi macam penulisan kitab
hadits menjadi sembilan: al-jawami’,
al-masanid, al-ma’ajim, al-ajza, arbaun haditsan, al-mustakhrajat, al-mustadrakat,
al-ilal dan al-athraf.
Berbeda pula dengan
klasifikasi yang dibuat oleh Jamila Shaukat. Ia membagi kitab-kitab hadits
menjadi sebelas jenis: shahifah,
risalah/kitab, juz, arba’in, mu’jam, amaliy, athraf, jami’, sunan, mushannaf dan
musnad.
Terlepas dari perbedaan
klasifikasi tersebut, penulis coba sampaikan beberapa jenis yang sekiranya
mencakup semua kategori. Bentuk awal pembukuan hadits nabi berupa shahifah. Pada dasarnya shahifah berupa literatur hadits yang
masih sederhana. Hanya berupa catatan-catatan hadits yang ditulis begitu saat
mengetahui adanya hadits. Bentuk penulisan yang demikian telah ada semenjak era
Nabi Muhammad.
Salah satu shahifah yang ditulis dihadapan Nabi
Muhammad langsung adalah Ash-Shahifah
al-Shadiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr (w. 63 H). Abdullah bin Amr merupakan salah satu sahabat
yang mendapat kepercayaan Nabi untuk menuliskan hadits karena kemampuannya
dalam baca tulis dan menguasai bahasa Arab dan Suryani dengan baik.
Menurut Ibnu Atsir diperkirakan
ada sekitar seribu hadits yang terdapat dalam shahifah tersebut. Saat ini, shahifah
tersebut sudah tidak dapat ditemukan. Namun, masih terdapat beberapa hadits
yang kembali diriwayatkan. Ada sekitar tujuh hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim. Secara terpisah, Bukhari meriwayatkan delapan hadits dan
Muslim meriwatkan 20 hadits. Adapun yang paling banyak meriwayatkan hadits
Abdullah bin Amr adalah Ibnu Hambal dalam musnad-nya.
Selain Ash-Shahifah ash-Shadiqah, beberapa sahabat lain juga ada yang
menulis hadits dengan metode shahifah tersebut.
Diantaranya adalah Shahifat Ali bin
Abi Thalib (w. 40 H), Shahifat Jabir
bin Abdillah (w. 78 H), dan Al-Shahifat
Ash-Shahihah karya Hammam bin Munabih (w.131 H).
Metode lain yang
digunakan adalah kitab atau risalah. Dalam metode ini, hadist
dikumpulkan dengan tema-tema tertentu. Para ahli hadits membaginya dalam
delapan kelompok. Mulai dari hadits tentang aqidah sampai hadits yang
menjelaskan sifat baik ataupun buruk.
Kitab
hadits
yang khusus menuliskan tentang hadits aqidah atau dikenal pula dengan ilmu tauhid antara lain karya Ibnu
Khuzaimah, Kitab Tauhid dan
Al-Baihaqy dengan judul Al-Asma wal
Shifat. Dalam bidang kesalehan (asketisme / zuhud), hadits yang ditulis
dengan metode kitab adalah Kitabul Zuhud karya Ibnu Hanbal dan Ibnu Al-Mubarak.
Adapula dalam bidang
adab (ilmul adab), seperti halnya
karya Bukhari, Adabul Mufrad.
Sedangkan yang memuat hadits-hadits tentang tafsir diantaranya adalah Tafsir Ibnu Mardawaih, Tafsir Ad-Dailami, Jamiul Bayan karya Ath-Thabari. Hadits tentang biografi Nabi
Muhammad ada Sirah Ibnu Ishaq atau
Ibnu Hisyam dan Sirah Mula Umar.
Sedangkan hadits yang membicarakan tentang peperangan dan kekacauan (ilmul fitan), diantaranya adalah karya
Nu’aim bin Hammad berjudul Kitab Fitan.
Adapun yang membahas tentang sifat baik dan buruk (ilmul manaqib), adalah karya Al-Muhib al-Thabary dengan judul Ar-Riyadl an-Nadlarat fi Manajibil Asyrah.
Metode penulisan hadits
secara tematis demikian paling banyak menarik perhatian adalah tentang fiqih.
Bahkan melahirkan beberapa metodologi turunan. Biasanya adalah yang berbentuk sunan. Selain itu, penulisan kitab
hadits dalam bidang fiqih juga dikenal
dengan metode mushannaaf dan muwaththa’.
Secara metodologis
keempat jenis tersebut tidak berbeda dalam sistematika penyusunan haditsnya.
Hadits tersusun disesuaikan dengan urutan bab sebagaimana dalam kitab fiqih
pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada kriteria hadits yang dimuat.
Dalam sunan kebanyakan hadits yang dimuat
hanya yang berkwalitas marfu’ (disandarkan
kepada Nabi SAW). Sedangkan mushannaf dan
muwaththa’ juga mencantumkan hadits
dengan kwalitas mauquf (disandarkan
pada sahabat) dan maqthu’
(disandarkan pada tabi’in). Perbedaan antara mushannaf dan muwaththa’
hanyalah pada motivasi penulisnya. Muwaaththa’
adalah bertujuan untuk memudahkan para pembacanya.
Contoh hadits dengan
penyusunan metode sunan antara lain Sunan Ibnu Dawud (w. 275 H), Sunan An-Nasa’i (w. 303 H), Sunan Ibnu Majah (w. 275 H) dan Sunan Ad-Darimy (w. 255 H). Sedangkan
dalam bentuk mushannaf adalah Mushannaf Hammad ibnu Salamah al-Bashry,
Mushannaf Waki’ Ibnu Jarrah al-Kufi, Mushannaf Abdul Razaq dan Mushannaf Abi Bakr Abdillah ibn Muhammad ibn Abi Syaibah
al-Kufi. Adapun yang muwaththa’ antara
lain Muwaththa’ Malik bin Anas, Muwaththa’ Ibnu Abi Dzi’b al-Madany dan Muwaththa’ Abi Muhammad
Abdillah al-Maruziy.
Selain
dengan gaya penulisan hadits secara tematik, ada pula beberapa kitab hadits
yang mencakup keseluruhan. Yaitu model penulisan jami’. Model ini mencakup delapan pembahasan sebagaimana dijelaskan
diawal. Yang membedakannya dengan pola penulisan shahifah, metode jami’ ini
telah tersistematika. Contoh kitab hadits dengan gaya penulisan demikian adalah
Jami’ush Shahih karya Imam Bukhari
(w. 256 H), Al-Jamiush Shahih karya
Imam Muslim (w. 261 H), Al-Jami’ karya Al-Tirmidziy (w. 279 H) dan Al-Jami’ karya Abdul Razzaq (w. 211 H).
Yang
hampir menyerupai metode jami’ adalah
model majma’. Majma’ adalah model penghimpunan hadits yang berasal dari
kitab-kitab hadits yang telah disusun sebelumnya. Ada dua cara penyusunannya
kitab ini: (1) disusun berdasarkan topik tertentu. Misalnya Al-Jam’u baynal Shahihain karya Muhammad
bin Abi Nashir Al-Humaidi (w. 488 H) dan Al-Jam’u
Baynal Ushulish Shittah karya Ibnu Al-Atsir (w. 606 H); (2) disusun
berdasarkan awal kata dari matan hadits. Misalnya Jam’ul Jawami’ dan Al-Jami’ush Shaghir li Ahaditsil Basyiril
Nadzir karya Imam Suyuthi.
Tak
hanya berpaku pada pemilahan hadits belaka, metode penyusunan kitab hadits juga
ada yang mengacu pada jalur sanadnya. Metode musnad adalah salah satunya. Musnad
adalah kitab hadits yang penyusunannya berdasarkan urutan nama sahabat yang
meriwayatkan hadits. Diantara jenis musnad
adalah Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Al-Humaidi, Musnad Abu Dawud At-Talayisi dan Musnad Asad bin Musa al-Umawy.
Adapula
metode mu’jam. Secara bahasa, istilah
mu’jam berarti kamus, namun dalam
ilmu hadits, mu’jam adalah kitab hadits yang penyusunannya
berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadits, nama-nama negeri, atau lainnya
secara berurutan. Secara umum penyusunannya diurutkan secara alfabetis. Diantara
kitab mu’jam yang tersohor adalah
trilogi mu’jam yang ditulis oleh
Al-Thabrany: Mu’jamul Kabir, Mu’jamul
Ausath, dan Mu’jamush Shagir.
Metode
lainnya yang seringkali digunakan para ahli hadits dalam menyusun
kitab-kitabnya adalah mustakhraj dan mustadrak. Mustakhraj adalah penulisan kitab berdasarkan penulisan kembali
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis mencantumkan
sanad sendiri, bukan jalur sanad yang dimiliki penulis pertama. Misalnya adalah
Al-Mustakhraj alal Shahihain karya Nu’aim
al-Asbahany, Al-Mustakhraj ala Shahih
Bukhari karya al-Ismaili, dan Mustkhraj
ala Shahih Muslim karya Abu Uwanah.
Sedangkan
model mustadrak adalah penyusunan
kitab hadits dengan cara menyusulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam
kitab lain, tetapi penulisannya menggunakan syarat-syarat yang dipakai oleh
penyusun kitab itu. Contohnya adalah Al-Mustadrak
ala Shahihain karya Al-Hakim (w. 405 H).
Keragaman
penulisan ini semata untuk mempermudah dalam mempelajari hadits yang berjumlah
ribuan itu. Dengan demikian, hadits dapat ditelusuri secara lebih efisien baik
merujuk pada tema, kata, sanad, atau bahkan kwalitasnya.
Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar