Salah satu karya
literasi masyarakat Jawa yang paling populer adalah primbon. Primbon menjadi
pegangan dan panduan masyarakat Jawa dalam melaksanakan laku hidup. Mulai dari
hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari, sampai yang urgen berurusan dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Selain Serat
Chentini, ada Primbon Adammakna
yang menjadi babon dari beberapa primbon yang tersebar di masyarakat Jawa.
Dalam Primbon Adammakna
sendiri terdapat beberapa bagian primbon yang terbagi dalam beberapa judul.
Dimana dalam tulisan ini, akan membahas tentang Primbon Lukmanakim Adammakna.
Primbon ini adalah satu dari sekitar sepuluhan seri Primbon Adammakna.
Konon, Primbon Adammakna sendiri merupakan
pengetahuan yang dimiliki oleh Kanjeng Sultan Hamengku Buwono ing Ngayugyakarta
yang kelima. Kemudian disalin menjadi karya tulis oleh Kanjeng Pangeran Harya
Tjakraningrat. Berkat jasa Ir. Wibatsu Harianto Soembogo (RW Radya Soembogo),
buku-buku primbon tulisan Harya Tjakraningrat tersebut diterbitkan untuk
khalayak luas pada tahun 1990. Hal ini setelah mendapat persetujuan ahli waris
buku-buku primbon tersebut, yaitu Ibu Siti Woerjan Soemidjah Noeradyo.
Primbon Lukmanulhakim
Adammakna ini terbagi menjadi lima bahasan. Pertama adalah Primbon Yuswa Widodo.
Yuswa Widodo ini mengajarkan bagaimana laku hidup agar berumur panjang. Hal ini
merupakan ajaran yang disampaikan oleh Dalem Kanjeng Raden Hadipati Harya Danureja
VI.
Pada bagian kedua, Primbon
Shastra Gendhig Pesatohan Adammakna, menjelaskan tentang seluk beluk
perjodohan dan pernikahan. Setelah menjelaskan tentang dasar-dasar perhitungan
Jawa yang didasarkan pada perhitungan garis edar bumi yang disesuaikan dengan
basis filosofis masyarakat Jawa, kemudian menjelaskan tentang praktek-praktek
perhitungan.
Perhitungan pertama
adalah tentang pesatohan salaki rabi (penyatuan
sebelum menikah) dan pitungan salaki rabi
(perhitungan sebelum pernikahan).
Pada perhitungan ini mendasarkan akan hari kelahiran dan neptu-nya calon mempelai
laki-laki dan perempuan yang dijumlahkan. Hasil pejumlahan tersebut kemudian
dicocokkan dengan beberapa variabel jawaban yang telah tersusun berdasarkan
angka-angka.
Adapula perhitungan
berdasarkan nama calon mempelai. Dengan menggunakan rumus dan tabel tertentu
untuk menentukan karakter dan nasib mempelai kelak. Ada sekitar sebelas macam
jenis perhitungan yang dijelaskan dalam primbon ini. Salah
satu dari bab pitungan salaki rabi ini,
saya ambil satu jenis perhitungan. Nasib sepasang pengantin bisa diprediksi
dengan mengkalkulasi nama awal dan akhir keduanya. Kemudian setelah dijumlahkan
lalu dibagi 5. Sisa dari pembagian itulah yang diperhitungkan.
Sisa 1 berarti tergolong variabel tunggak tan semi artinya akan banyak anak yang mati. Sisa 2 disebut
pisang punggel akan terjadi
perceraiaan. Sisa 3 adalah lumbung
gumuling alias boros. Sisa 4 yaitu sanggar
waringin alias akan menjadi keluarga pengauban
(?). Sisa 5 adalah pedaringan kebak
akan kaya raya. Sisa 6 itu satriya lelaku
cocoknya jadi pedagang. Sisa 7 dikategorikan pandhito mukti artinya keluarga yang harmonis dan sejahtera.
Ini
rumusan huruf dan angkanya:
Ha (6), na (3), ca (3), ra (3), ka (3)
Da (5), ta (3), sa (3), wa (6), la (5)
Pa (1), dha (4), ja (3), ya (8), nya (3)
Ma (5), ga (1), ba (2), tha (4), nga (2)
Contoh:
Rafi Ahmad dan Nagita Slavina.
Rafi Ahmad
= Ra (3) + da (5) = 8
Nagita Slavina = Na (3) + na (3) = 6
Nagita Slavina = Na (3) + na (3) = 6
8 + 6 =
14. Kemudian 14 ÷ 5 sisa 4.
Artinya: sanggar waringin alias akan menjadi keluarga yang melindungi / menghidupi banyak orang.
Pada bagian ini, juga menyajikan tabel yang menjelaskan
tentang konsekuensi pernikahan antara lelaki dan perempuan berdasarkan hari
kelahiran dan pasarannya masing-masing mempelai. Lalu kemudian disesuaikan hari
untuk melaksanakan ijab qobulnya. Dari tabel ini akan terlihat bagaimana watak
dari pasangan tersebut serta bagaimana sikap orang tua mereka.
Ambil contoh bagi memelai laki-laki yang lahir pada hari
Jum’at Pon kemudian menikahi perempuan yang lahir pada Sabtu Wage, maka harus
melaksankan ijab qabul pernikahan anatara Senin Kliwon atau Jum’at Kliwon. Jika
demikian, maka pernikahan tersebut akan menghasilkan watak penganten yang luwih becik (lebih baik), dan sikap
orang tua (mertua) yang jangkep
(sempurna).
Adapula perhitungan berdasarkan keblat papat kelima pancer, dimana basis perhitungannya menggunakan arah
keberadaan calon mempelai yang dikombinasikan dengan hari pasaran pelaksanaan
akad nikah.
Selain menjelaskan tentang waktu yang tepat untuk
melaksanakan akad nikah, disini juga dibahas tentang hari, tanggal atawa bulan
yang tak diajurkan untuk melaksanakan akad nikah. Salah satunya adalah hari-hari dalam
bulan-bulan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk melaksanakan akad nikah
karena dipercaya akan menimbulkan nasib buruk bagi mempelai.
Pada bulan Jumadilakir
(Jumadil Akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (Sya’ban) hari buruknya adalah hari
Jum’at. Sedangkan pada bulan Pasa (Ramadhan),
Sawal (Syawal), Dulkangidah (Dzulqaidah), hari buruknya untuk akad nikah pada Sabtu
dan Ahad. Kemudian, pada bulan Besar
(Dzulhijah), Sura (Muharram), dan Sapar (Safar), hari-hari buruknya adalah
Senin dan Selasa. Lalu pada bulan Mulud
(Rabiul Awal), Rabingul akir (Robiul
Akhir), dan Jumadilawal (Jumadil
Awal), hari buruknya adalah Rabu dan Kamis.
Setelah menjelaskan tentang perhitungan mempelai dan
kapan pelaksanaan akad nikah yang tepat, dalam pembahasan ini juga dikemukakan
tentang aturan-aturan pernikahan sampai tatacara senggama dengan begitu detail
dalam hal pelaksanaannya. Pembahsan ini masuk pada bagian ketiga, yaitu Primbon
Asmaragama atau Kamawadha. Persiapan pelaksanan
prosesi pernikahan di-jlentreh-kan
mulai dari perihal tarub, sarat lan sajen mantu, slametan penganten,
srah-srahan lamaran, siraman penganten, midadareni, sanggan penganten, ijabe
penganten lanang, paes penganten lanang
lan wadon, sampai slametan
pasaran.
Yang menarik adalah keterangan tentang saresmi (senggama). Selain mengemukakan
tentang waktu yang tepat dan tidak boleh, juga dijelaskan tentang titik
rangsang pasangan berdasarkan warna kulit dan tanggal waktu senggama. Ada tujuh
jenis macam warna kulit, (1) Berkulit putih: titik rangsangnya berada di dua
belah pipi dan waktu yang tepat pada waktu-waktu tertentu berdasarkan tanggal
pelaksanaan. (2) Berkulit kuning: titik rangsangnya berada di kedua alisnya.
Waktu yang tepat adalah saat anak-anak telah terlelap (3) Berkulit kuning
langsat: titiknya berada di paha kanan. Waktu yang tepat sekitar jam tiga dini
hari (4) berkulit kuning kehijauan: titiknya terletak pada kedua pundak.
Waktunya ketika anak-anak telah tertidur (5) Berkulit putih kemerahan: terletak
pada kedua mata dan payudaranya. Waktunya tepat pada lingsir wengi / tengah malam (6) Berkulit hitam: berada pada paha
kirinya. Waktunya sekitar jam delapan malam. Dan (7) Berkulit hitam manis titik
ransangnya terletak pada kedua telinganya. Waktunya kala anak-anak telah
tertidur.
Tata cara senggama dalam primbon tersebut juga terbagi
berdasarkan tanggal senggama. Misalnya bersenggama pada tanggal satu. Maka,
diawali dengan memegang jempol kaki kanan dan semua jari-jarinya. Disanalah
titik ransang bermula pada tanggal satu tersebut. Kemudian jika si wanita
berkulit putih maka dilanjutkan dengan mencium kedua pipinya. Demikian
seterusnya sebagaimana pada penjelasan diatas yang didasarkan pada warna kulit
tersebut. Ada tiga puluh keterangan yang disesuaikan dengan kalender perbulan.
Pada bagian keempat menjelaskan tentang Primbon
Usada. Hal ini merupakan perpaduan antara empat primbon: Primbon Jalu Usada, Wanita Usada, Rarya
Usada, dan Tri Guna Usada. Bab
ini menjelaskan tentang pengobatan. Begitu pula pada bab lima juga berisi
pengobatan tetapi dengan aji-aji, rajah ataupun jimat.
Pada bab lima ini juga terdapat beberapa rajah dan
aji-aji guna memperkuat stamina di ranjang serta memperbesar ukuran kelamin.
***
Dalam paradigma saat ini, isi primbon demikian terkesan
sebagai tahayul belaka. Namun, tak ada salahnya jika kita mempelajari suatu
karya literasi nenek moyang bangsa Jawa sebagai bentuk pelestarian kebudayaan.
Bagi penulis sendiri, primbon-primbon tersebut tak sepenuhnya salah karena
hanya tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Karena, menurut penulis, ada kearifan
dan “standard ilmiah” sendiri yang menjadi basis metodologis primbon-primbon
tersebut yang berbeda dengan epistimologis keilmuwan modern yang pada dasarnya
berkiblat ke kebudayaan barat. Wallahu’alam.
Nb: Tulisan ini merupakan tulisan rintisan yang
berkemungkinan terdapat kesalahan dalam pembacaan Primbon Lukmanakim Adammakna dikarenakan keterbatasan penulis
dalam penggunaan bahasa Jawa dan peristilahan-peristilahan tertentu.
Ayung
Notonegoro
Penggiat Literasi
Banyuwangi
1 komentar:
Nyuwon pendalaman klo saya gmn ki
Subagiyono dan fera irmayanti
itu ketemu berapa,mohon petunjuk
Posting Komentar