menu

Selasa, 13 Oktober 2015

Lukmanakim Adammakna, Primbon Panduan Menikah



Salah satu karya literasi masyarakat Jawa yang paling populer adalah primbon. Primbon menjadi pegangan dan panduan masyarakat Jawa dalam melaksanakan laku hidup. Mulai dari hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari, sampai yang urgen berurusan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selain Serat Chentini, ada Primbon Adammakna yang menjadi babon dari beberapa primbon yang tersebar di masyarakat Jawa.
 
Dalam Primbon Adammakna sendiri terdapat beberapa bagian primbon yang terbagi dalam beberapa judul. Dimana dalam tulisan ini, akan membahas tentang Primbon Lukmanakim Adammakna. Primbon ini adalah satu dari sekitar sepuluhan seri Primbon Adammakna.

Konon, Primbon Adammakna sendiri merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh Kanjeng Sultan Hamengku Buwono ing Ngayugyakarta yang kelima. Kemudian disalin menjadi karya tulis oleh Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat. Berkat jasa Ir. Wibatsu Harianto Soembogo (RW Radya Soembogo), buku-buku primbon tulisan Harya Tjakraningrat tersebut diterbitkan untuk khalayak luas pada tahun 1990. Hal ini setelah mendapat persetujuan ahli waris buku-buku primbon tersebut, yaitu Ibu Siti Woerjan Soemidjah Noeradyo.

Primbon Lukmanulhakim Adammakna ini terbagi menjadi lima bahasan. Pertama adalah Primbon Yuswa Widodo. Yuswa Widodo ini mengajarkan bagaimana laku hidup agar berumur panjang. Hal ini merupakan ajaran yang disampaikan oleh Dalem Kanjeng Raden Hadipati Harya Danureja VI.

Pada bagian kedua, Primbon Shastra Gendhig Pesatohan Adammakna, menjelaskan tentang seluk beluk perjodohan dan pernikahan. Setelah menjelaskan tentang dasar-dasar perhitungan Jawa yang didasarkan pada perhitungan garis edar bumi yang disesuaikan dengan basis filosofis masyarakat Jawa, kemudian menjelaskan tentang praktek-praktek perhitungan.

Perhitungan pertama adalah tentang pesatohan salaki rabi (penyatuan sebelum menikah) dan pitungan salaki rabi  (perhitungan sebelum pernikahan). Pada perhitungan ini mendasarkan akan hari kelahiran dan neptu-nya calon mempelai laki-laki dan perempuan yang dijumlahkan. Hasil pejumlahan tersebut kemudian dicocokkan dengan beberapa variabel jawaban yang telah tersusun berdasarkan angka-angka. 

Adapula perhitungan berdasarkan nama calon mempelai. Dengan menggunakan rumus dan tabel tertentu untuk menentukan karakter dan nasib mempelai kelak. Ada sekitar sebelas macam jenis perhitungan yang dijelaskan dalam primbon ini. Salah satu dari bab pitungan salaki rabi ini, saya ambil satu jenis perhitungan. Nasib sepasang pengantin bisa diprediksi dengan mengkalkulasi nama awal dan akhir keduanya. Kemudian setelah dijumlahkan lalu dibagi 5. Sisa dari pembagian itulah yang diperhitungkan.

Sisa 1 berarti tergolong variabel tunggak tan semi artinya akan banyak anak yang mati. Sisa 2 disebut pisang punggel akan terjadi perceraiaan. Sisa 3 adalah lumbung gumuling alias boros. Sisa 4 yaitu sanggar waringin alias akan menjadi keluarga pengauban (?). Sisa 5 adalah pedaringan kebak akan kaya raya. Sisa 6 itu satriya lelaku cocoknya jadi pedagang. Sisa 7 dikategorikan pandhito mukti artinya keluarga yang harmonis dan sejahtera.
Ini rumusan huruf dan angkanya:

Ha (6), na (3), ca (3), ra (3), ka (3)
Da (5), ta (3), sa (3), wa (6), la (5)
Pa (1), dha (4), ja (3), ya (8), nya (3)
Ma (5), ga (1), ba (2), tha (4), nga (2)
Contoh:

Rafi Ahmad dan Nagita Slavina.
Rafi Ahmad = Ra (3) + da (5) = 8
Nagita Slavina = Na (3) + na (3) = 6
8 + 6 = 14. Kemudian 14 ÷ 5 sisa 4.

Artinya: sanggar waringin alias akan menjadi keluarga yang melindungi / menghidupi banyak orang.

Pada bagian ini, juga menyajikan tabel yang menjelaskan tentang konsekuensi pernikahan antara lelaki dan perempuan berdasarkan hari kelahiran dan pasarannya masing-masing mempelai. Lalu kemudian disesuaikan hari untuk melaksanakan ijab qobulnya. Dari tabel ini akan terlihat bagaimana watak dari pasangan tersebut serta bagaimana sikap orang tua mereka.

Ambil contoh bagi memelai laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Pon kemudian menikahi perempuan yang lahir pada Sabtu Wage, maka harus melaksankan ijab qabul pernikahan anatara Senin Kliwon atau Jum’at Kliwon. Jika demikian, maka pernikahan tersebut akan menghasilkan watak penganten yang luwih becik (lebih baik), dan sikap orang tua (mertua) yang jangkep (sempurna).

Adapula perhitungan berdasarkan keblat papat kelima pancer,  dimana basis perhitungannya menggunakan arah keberadaan calon mempelai yang dikombinasikan dengan hari pasaran pelaksanaan akad nikah.
Selain menjelaskan tentang waktu yang tepat untuk melaksanakan akad nikah, disini juga dibahas tentang hari, tanggal atawa bulan yang tak diajurkan untuk melaksanakan akad nikah.  Salah satunya adalah hari-hari dalam bulan-bulan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk melaksanakan akad nikah karena dipercaya akan menimbulkan nasib buruk bagi mempelai.
Pada bulan Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (Sya’ban) hari buruknya adalah hari Jum’at. Sedangkan pada bulan Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Dulkangidah (Dzulqaidah), hari buruknya untuk akad nikah pada Sabtu dan Ahad. Kemudian, pada bulan Besar (Dzulhijah), Sura (Muharram), dan Sapar (Safar), hari-hari buruknya adalah Senin dan Selasa. Lalu pada bulan Mulud (Rabiul Awal), Rabingul akir (Robiul Akhir), dan Jumadilawal (Jumadil Awal), hari buruknya adalah Rabu dan Kamis.
Setelah menjelaskan tentang perhitungan mempelai dan kapan pelaksanaan akad nikah yang tepat, dalam pembahasan ini juga dikemukakan tentang aturan-aturan pernikahan sampai tatacara senggama dengan begitu detail dalam hal pelaksanaannya. Pembahsan ini masuk pada bagian ketiga, yaitu Primbon Asmaragama atau Kamawadha. Persiapan pelaksanan prosesi pernikahan di-jlentreh-kan mulai dari perihal tarub, sarat lan sajen mantu, slametan penganten, srah-srahan lamaran, siraman penganten, midadareni, sanggan penganten, ijabe penganten lanang, paes penganten lanang  lan wadon, sampai slametan pasaran.
Yang menarik adalah keterangan tentang saresmi (senggama). Selain mengemukakan tentang waktu yang tepat dan tidak boleh, juga dijelaskan tentang titik rangsang pasangan berdasarkan warna kulit dan tanggal waktu senggama. Ada tujuh jenis macam warna kulit, (1) Berkulit putih: titik rangsangnya berada di dua belah pipi dan waktu yang tepat pada waktu-waktu tertentu berdasarkan tanggal pelaksanaan. (2) Berkulit kuning: titik rangsangnya berada di kedua alisnya. Waktu yang tepat adalah saat anak-anak telah terlelap (3) Berkulit kuning langsat: titiknya berada di paha kanan. Waktu yang tepat sekitar jam tiga dini hari (4) berkulit kuning kehijauan: titiknya terletak pada kedua pundak. Waktunya ketika anak-anak telah tertidur (5) Berkulit putih kemerahan: terletak pada kedua mata dan payudaranya. Waktunya tepat pada lingsir wengi / tengah malam (6) Berkulit hitam: berada pada paha kirinya. Waktunya sekitar jam delapan malam. Dan (7) Berkulit hitam manis titik ransangnya terletak pada kedua telinganya. Waktunya kala anak-anak telah tertidur.
Tata cara senggama dalam primbon tersebut juga terbagi berdasarkan tanggal senggama. Misalnya bersenggama pada tanggal satu. Maka, diawali dengan memegang jempol kaki kanan dan semua jari-jarinya. Disanalah titik ransang bermula pada tanggal satu tersebut. Kemudian jika si wanita berkulit putih maka dilanjutkan dengan mencium kedua pipinya. Demikian seterusnya sebagaimana pada penjelasan diatas yang didasarkan pada warna kulit tersebut. Ada tiga puluh keterangan yang disesuaikan dengan kalender perbulan.
Pada bagian keempat menjelaskan tentang Primbon Usada. Hal ini merupakan perpaduan antara empat primbon: Primbon Jalu Usada, Wanita Usada, Rarya Usada, dan Tri Guna Usada. Bab ini menjelaskan tentang pengobatan. Begitu pula pada bab lima juga berisi pengobatan tetapi dengan aji-aji, rajah ataupun jimat.
Pada bab lima ini juga terdapat beberapa rajah dan aji-aji guna memperkuat stamina di ranjang serta memperbesar ukuran kelamin.
***
Dalam paradigma saat ini, isi primbon demikian terkesan sebagai tahayul belaka. Namun, tak ada salahnya jika kita mempelajari suatu karya literasi nenek moyang bangsa Jawa sebagai bentuk pelestarian kebudayaan. Bagi penulis sendiri, primbon-primbon tersebut tak sepenuhnya salah karena hanya tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Karena, menurut penulis, ada kearifan dan “standard ilmiah” sendiri yang menjadi basis metodologis primbon-primbon tersebut yang berbeda dengan epistimologis keilmuwan modern yang pada dasarnya berkiblat ke kebudayaan barat. Wallahu’alam.

Nb: Tulisan ini merupakan tulisan rintisan yang berkemungkinan terdapat kesalahan dalam pembacaan Primbon Lukmanakim Adammakna dikarenakan keterbatasan penulis dalam penggunaan bahasa Jawa dan peristilahan-peristilahan tertentu.

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Nyuwon pendalaman klo saya gmn ki
Subagiyono dan fera irmayanti
itu ketemu berapa,mohon petunjuk