menu

Selasa, 15 September 2015

Bukan Tan Malaka, Tapi Ulama Aceh Penggagas Awal Republik Indonesia?





Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Tan Malaka adalah pencetus awal istilah Republik Indonesia. Hal ini didasarkan atas tulisan panjangnya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Tokoh pergerakan kelahiran 1897 itu menulis bukunya pada usia 28 tahun. Tepatnya tahun 1925. 
 
Buku itu ditulis oleh Tan Malaka ketika berada dalam masa pembuangan oleh pemerintah kolonial ke negara Belanda. Upayanya untuk kembali ke Indonesia ditolak oleh Gubenur Jendral Belanda di Indonesia Dirk Fock. Sebagai upaya untuk terus berkontribusi terhadap perjuangan di tanah air, Tan Malaka menulis sebuah risalah yang cukup panjang guna menjadi bekal bagi kalangan terpelajar di tanah air. Bekal untuk terus berjuang menyiapkan negara Indonesia yang merdeka.

Buku tersebut pertama kali diterbitkan di Kanton pada tahun 1925. Tak jelas berapa ekslempar buku tersebut dicetak. Namun buku tersebut masif masuk ke Indonesia kala dicetak untuk kedua kalinya ada tahun yang sama di Filipina. Melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia buku tersebut menyebar luas di Indonesia. Buku itu ditulis ulang dengan mesin ketik manual oleh para pemuda kala itu.

Begitu fenomenalnya buku tersebut, sampai-sampai – menurut pengakuan Sayuti Melik – Bung Karno tak pernah meninggalkan buku tersebut dalam tiap memimpin klub debat kala belajar di Bandung. Begitu pula Muhammad Yamin. Dia tak hanya menyukai buku itu, tapi juga begitu mengidolakan Tan Malaka.

Namun, benarkah gagasan Republik Indonesia pertama kali Tan Malaka yang melontarkan? Tak adakah penulis dan pemikir Indonesia sebelumnya yang mempunyai gagasan tentang Republik Indonesia?

Ternyata dalam beberapa naskah yang bertarih lebih dahulu ketimbang buku Naar de Republiek Indonesia-nya Tan Malaka telah ada yang mengungkapkan gagasan tentang Republik Indonesia. Ahmad Baso dalam bukunya Islam Nusantara mengungkapkan sebuah gagasan tentang Republik Indonesia yang dikemukakan oleh beberapa ulama asal Aceh. Dimana gagasan tentang Republik Indonesia itu dituliskannya dalam beberapa naskah.

Dalam sebuah naskah yang berbentuk surat di Kesultanan Aceh istilah Republik Indonesia muncul. Kutipan teks tersebut sebagai berikut:

Surat nasehat istimewa kepada utusan kerajaan Aceh melawan Holanda [Kompeni Belanda]:
Bismillahirrahmanirrahim. Wal’aqibatu lil-muttaqin, washshalatu wassalamu ala sayyidina Muhammadin wa ala alihi washahbihi ajma’in. Fa’lam ya ikhwanalmuslimin al-asyi khushushiyatan [propinsi], ya ikhwanal muslimin wa ikhwanana Bawah Angin [nusantara] umumiyatan [nasional] Jumhuriyah al-Indonesiyah [Republik Indonesia].

Syahdan sebermula maka ketahuilah olehmu hai sekalian ikhwan bahwa pada tahun hijrah seribu dua ratus sembilahpuluh (sanah [tahun] 1290 H), yaitu pada satu hari bulan Muharram hari Sabtu, bertempat dalam Mesjid Baiturrahim, dalam Daru-d-dunya, yaitu di Istana Kerajaan Tuan Kita Paduka Sri Sultan Alauddin Mahmud Syah....”

Naskah yang tersimpan di Perpustakaan A. Hasyimi tersebut menunjukkan tanggal 1 Muharram 1290 H. Dimana dalam tabel Wolseley Haig, tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1873.

Istilah Jumhuriyah Indonesia juga muncul dalam naskah yang berangka tahun lebih awal lagi. Dalam sebuah tulisan Tengku di Mulik Sayyid Abdullah Jamalullail (w. 1299 H), pada tahun 1288 H atau bertepatan dengan tahun 1871 M, juga menulis istilah tersebut. Lebih hebatnya lagi, tulisan yang berisi tentang ramalan Syekh Ibrahim bin Husain Buengcala (Kuto Baro, Aceh), tersebut juga memuat kapan Jumhuriyah Indonesia akan merdeka.

Kutipan naskah yang telah disahkan dan distempel oleh Kesultanan Aceh itu berbunyi:

“Negeri bawah Angin [Nusantara] istimewanya akan lepas daripada tangan Holanda [Belanda], sesudah Cina bangsa lukid [mata sipit, maksudnya bangsa Jepang] masuk. Maka insya Allah ta’ala pada tahun Hijrah 1365 [yakni tahun 1945 Masehi] lahir satu kerajaan yang adil-bijaksana dinamakan al-Jumhuriyah al-Indonesiyah yang sah.....”

Dari dua naskah tersebut, setidaknya, dapat membantah bahwasannya penggagas Republik Indonesia pertama kali adalah Tan Malaka. Gagasan Republik Indonesia yang menggunakan istilah al-Jumhuriyah al-Indonesiyah itu adalah para ulama Aceh. Namun, apakah istilah al-Jumhuriyah al-Indonesiyah tersebut memang merujuk pada istilah Republik Indonesia sebagaimana difahami dewasa ini?

Ahmad Baso dalam bukunya Islam Nusantara menjelaskan bahwasannya gagasan al-Jumhuriyah al-Indonesiyah tersebut tak lain adalah gagasan yang sama dengan Republik Indonesia yang dikenal dewasa ini. Sebagaimana jamak diketahui, nama “Indonesia” pertama kali dicetuskan oleh penulis berkebangsaan Inggris, Goerge Samuel Windsor Earl. Ia menulis pada tahun 1850 di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia terbitan Singapura. Dalam tulisan tersebut, ia menawarkan dua nama untuk mengganti sebutan Hindia (Indie/India), yaitu Melayunesia dan Indunesia. Tetapi ia lebih suka menggunakan sebutan Melayunesia karena menimbang bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Melayu.

Kemudian, dalam jurnal yang sama, Richardson Logan dalam artikelnya berjudul The Etnology of the Indian Archipelago meminjam sebutan yang dicetuskan oleh Earl sebelumnya. Namun, Logan mengganti huruf “U” menjadi “O” – demi untuk memudahkan pelafalan – sehingga menjadi “Indonesia”. Kemudian sebutan Indonesia semakin dikukuhkan oleh sarjana dari Uneversitas Berlin, Jerman, bernama Adolf Bastian yang menulis buku berjudul Indonesien: Oder, die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia: atau, Pulau-Pulau di Kepulauan Melayu). Buku yang terdiri dari lima volume tersebut ditulis pada tahun 1884.

Dari uraian tentang asal mula sebutan Indonesia tersebut menunjukkan gagasan yang dikemukan oleh ulama Aceh tersebut, merupakan sebutan yang sedang berkembang kala itu. Yaitu sebutan yang dikembangkan para ilmuwan yang merujuk secara geografis pada daerah yang juga dikenal dengan sebutan “bawah angin” atau “nusantara.”

Lantas, bagaimana dengan istilah al-Jumhuriyah sendiri? Benarkah gagasan tersebut merujuk pada makna republik?

Sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Abed al-Jabiri dalam al_Khithab al-Arabi al-Mu’ashir, membahas tentang munculnya istilah al-Jumhuriyah tersebut. Sebutan itu telah muncul di wilayah kekuasaan Turki Usmani dipertengahan abad 19 dengan mengacu pada arti kemerdekaan dari kekuasaan Turki. Dimana tuntutan merdeka tersebut adalah dengan menjadi negara sendiri yang berbentuk republik sebagaimana ide republik dari sejarah Revolusi Perancis. Gagasan republik dalam Revolusi Perancis yang kemudian dikenal dengan sebutan al-jumhuriyah dalam dunia politik Arab tersebut lambat laun difahami sebagai kedaulatan rakyat.

Perjumpaan pemikiran tentang al-jumhuriyah (republik) di dunia Arab tersebut sangat memungkinkan bagi para ulama nusantara. Mengingat perjumpaan intelektual antara ulama-ulama nusantara dengan para pemikir di dunia Arab, baik di Hijaz maupun di Kairo telah berlansung berabad sebelumya. Aceh yang berjuluk “Serambi Mekkah” karena menjadi pintu gerbang untuk para ulama nusantara yang akan pergi ke dunia Arab, amat memungkinkan menerima pemikiran-pemikiran tentang republik tersebut pertama kali. 

Dengan demikian, tak diragukan lagi, bahwa gagasan tentang Republik Indonesia pertama kali bukan dicetuskan oleh Tan Malaka. Namun, gagasan Republik Indonesia itu diprakarsai oleh para ulama asal Aceh. Lantas, bagaimana konsep al-Jumhuriyah al-Indonesia itu sendiri? Tunggu tulisan selanjutnya.

Nb: tulisan ini diolah dari tulisan Ahmad Baso dalam bukunya, Islam Nusantara:Ijtihad Jenius dan Ijma Ulama Indonesia (Jilid I) pada Pembahasan Kesepuluh (Bab II): Ilmu Politik Islam Nusantara dan Racikan “al-Jumhuriyah al-Indonesiyah”: Kontribusi Ulama Aswaja Aceh. (Jakarta: Pustaka Afid. Cetakan Pertama, 2015).

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi

1 komentar:

@guslege mengatakan...

Kelanjutan tulisan ini ditunggu