Dalam beberapa
literatur disebutkan bahwa Tan Malaka adalah pencetus awal istilah Republik
Indonesia. Hal ini didasarkan atas tulisan panjangnya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia). Tokoh pergerakan kelahiran 1897 itu menulis bukunya pada
usia 28 tahun. Tepatnya tahun 1925.
Buku itu ditulis oleh
Tan Malaka ketika berada dalam masa pembuangan oleh pemerintah kolonial ke
negara Belanda. Upayanya untuk kembali ke Indonesia ditolak oleh Gubenur
Jendral Belanda di Indonesia Dirk Fock. Sebagai upaya untuk terus berkontribusi
terhadap perjuangan di tanah air, Tan Malaka menulis sebuah risalah yang cukup
panjang guna menjadi bekal bagi kalangan terpelajar di tanah air. Bekal untuk
terus berjuang menyiapkan negara Indonesia yang merdeka.
Buku tersebut pertama
kali diterbitkan di Kanton pada tahun 1925. Tak jelas berapa ekslempar buku
tersebut dicetak. Namun buku tersebut masif masuk ke Indonesia kala dicetak
untuk kedua kalinya ada tahun yang sama di Filipina. Melalui jaringan
Perhimpunan Pelajar Indonesia buku tersebut menyebar luas di Indonesia. Buku itu
ditulis ulang dengan mesin ketik manual oleh para pemuda kala itu.
Begitu fenomenalnya
buku tersebut, sampai-sampai – menurut pengakuan Sayuti Melik – Bung Karno tak
pernah meninggalkan buku tersebut dalam tiap memimpin klub debat kala belajar
di Bandung. Begitu pula Muhammad Yamin. Dia tak hanya menyukai buku itu, tapi
juga begitu mengidolakan Tan Malaka.
Namun, benarkah gagasan
Republik Indonesia pertama kali Tan Malaka yang melontarkan? Tak adakah penulis
dan pemikir Indonesia sebelumnya yang mempunyai gagasan tentang Republik
Indonesia?
Ternyata dalam beberapa
naskah yang bertarih lebih dahulu ketimbang buku Naar de Republiek Indonesia-nya Tan Malaka telah ada yang
mengungkapkan gagasan tentang Republik Indonesia. Ahmad Baso dalam bukunya Islam Nusantara mengungkapkan sebuah
gagasan tentang Republik Indonesia yang dikemukakan oleh beberapa ulama asal
Aceh. Dimana gagasan tentang Republik Indonesia itu dituliskannya dalam
beberapa naskah.
Dalam sebuah naskah yang
berbentuk surat di Kesultanan Aceh istilah Republik Indonesia muncul. Kutipan teks
tersebut sebagai berikut:
Surat
nasehat istimewa kepada utusan kerajaan Aceh melawan Holanda [Kompeni Belanda]:
Bismillahirrahmanirrahim. Wal’aqibatu
lil-muttaqin, washshalatu wassalamu ala sayyidina Muhammadin wa ala alihi
washahbihi ajma’in. Fa’lam ya ikhwanalmuslimin al-asyi khushushiyatan [propinsi], ya ikhwanal muslimin wa ikhwanana Bawah
Angin [nusantara] umumiyatan [nasional]
Jumhuriyah
al-Indonesiyah [Republik Indonesia].
Syahdan
sebermula maka ketahuilah olehmu hai sekalian ikhwan bahwa pada tahun hijrah
seribu dua ratus sembilahpuluh (sanah [tahun]
1290 H), yaitu pada satu hari bulan Muharram hari Sabtu, bertempat dalam Mesjid
Baiturrahim, dalam Daru-d-dunya, yaitu di Istana Kerajaan Tuan Kita Paduka Sri
Sultan Alauddin Mahmud Syah....”
Naskah yang tersimpan
di Perpustakaan A. Hasyimi tersebut menunjukkan tanggal 1 Muharram 1290 H. Dimana
dalam tabel Wolseley Haig, tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal 1 Maret
1873.
Istilah Jumhuriyah Indonesia juga muncul dalam
naskah yang berangka tahun lebih awal lagi. Dalam sebuah tulisan Tengku di
Mulik Sayyid Abdullah Jamalullail (w. 1299 H), pada tahun 1288 H atau
bertepatan dengan tahun 1871 M, juga menulis istilah tersebut. Lebih hebatnya
lagi, tulisan yang berisi tentang ramalan Syekh Ibrahim bin Husain Buengcala
(Kuto Baro, Aceh), tersebut juga memuat kapan Jumhuriyah Indonesia akan merdeka.
Kutipan naskah yang
telah disahkan dan distempel oleh Kesultanan Aceh itu berbunyi:
“Negeri
bawah Angin [Nusantara] istimewanya akan lepas daripada tangan Holanda
[Belanda], sesudah Cina bangsa lukid [mata sipit, maksudnya bangsa Jepang]
masuk. Maka insya Allah ta’ala pada tahun Hijrah 1365 [yakni tahun 1945 Masehi]
lahir satu kerajaan yang adil-bijaksana dinamakan al-Jumhuriyah al-Indonesiyah
yang sah.....”
Dari dua naskah
tersebut, setidaknya, dapat membantah bahwasannya penggagas Republik Indonesia
pertama kali adalah Tan Malaka. Gagasan Republik Indonesia yang menggunakan
istilah al-Jumhuriyah al-Indonesiyah
itu adalah para ulama Aceh. Namun, apakah istilah al-Jumhuriyah al-Indonesiyah tersebut memang merujuk pada istilah
Republik Indonesia sebagaimana difahami dewasa ini?
Ahmad Baso dalam
bukunya Islam Nusantara menjelaskan
bahwasannya gagasan al-Jumhuriyah
al-Indonesiyah tersebut tak lain adalah gagasan yang sama dengan Republik
Indonesia yang dikenal dewasa ini. Sebagaimana jamak diketahui, nama “Indonesia”
pertama kali dicetuskan oleh penulis berkebangsaan Inggris, Goerge Samuel
Windsor Earl. Ia menulis pada tahun 1850 di Journal
of the Indian Archipelago and Eastern Asia terbitan Singapura. Dalam tulisan
tersebut, ia menawarkan dua nama untuk mengganti sebutan Hindia (Indie/India),
yaitu Melayunesia dan Indunesia. Tetapi ia lebih suka
menggunakan sebutan Melayunesia karena menimbang bahasa yang umum digunakan
adalah bahasa Melayu.
Kemudian, dalam jurnal
yang sama, Richardson Logan dalam artikelnya berjudul The Etnology of the Indian Archipelago meminjam sebutan yang
dicetuskan oleh Earl sebelumnya. Namun, Logan mengganti huruf “U” menjadi “O” –
demi untuk memudahkan pelafalan – sehingga menjadi “Indonesia”. Kemudian sebutan
Indonesia semakin dikukuhkan oleh sarjana dari Uneversitas Berlin, Jerman, bernama
Adolf Bastian yang menulis buku berjudul Indonesien:
Oder, die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia: atau, Pulau-Pulau di
Kepulauan Melayu). Buku yang terdiri dari lima volume tersebut ditulis pada
tahun 1884.
Dari uraian tentang
asal mula sebutan Indonesia tersebut menunjukkan gagasan yang dikemukan oleh
ulama Aceh tersebut, merupakan sebutan yang sedang berkembang kala itu. Yaitu sebutan
yang dikembangkan para ilmuwan yang merujuk secara geografis pada daerah yang
juga dikenal dengan sebutan “bawah angin” atau “nusantara.”
Lantas, bagaimana
dengan istilah al-Jumhuriyah sendiri?
Benarkah gagasan tersebut merujuk pada makna republik?
Sebagaimana yang
ditulis oleh Muhammad Abed al-Jabiri dalam al_Khithab
al-Arabi al-Mu’ashir, membahas tentang munculnya istilah al-Jumhuriyah tersebut. Sebutan itu
telah muncul di wilayah kekuasaan Turki Usmani dipertengahan abad 19 dengan mengacu
pada arti kemerdekaan dari kekuasaan Turki. Dimana tuntutan merdeka tersebut
adalah dengan menjadi negara sendiri yang berbentuk republik sebagaimana ide
republik dari sejarah Revolusi Perancis. Gagasan republik dalam Revolusi
Perancis yang kemudian dikenal dengan sebutan al-jumhuriyah dalam dunia politik Arab tersebut lambat laun
difahami sebagai kedaulatan rakyat.
Perjumpaan pemikiran
tentang al-jumhuriyah (republik) di
dunia Arab tersebut sangat memungkinkan bagi para ulama nusantara. Mengingat perjumpaan
intelektual antara ulama-ulama nusantara dengan para pemikir di dunia Arab,
baik di Hijaz maupun di Kairo telah berlansung berabad sebelumya. Aceh yang
berjuluk “Serambi Mekkah” karena menjadi pintu gerbang untuk para ulama
nusantara yang akan pergi ke dunia Arab, amat memungkinkan menerima
pemikiran-pemikiran tentang republik tersebut pertama kali.
Dengan demikian, tak
diragukan lagi, bahwa gagasan tentang Republik Indonesia pertama kali bukan
dicetuskan oleh Tan Malaka. Namun, gagasan Republik Indonesia itu diprakarsai
oleh para ulama asal Aceh. Lantas, bagaimana konsep al-Jumhuriyah al-Indonesia itu sendiri? Tunggu tulisan selanjutnya.
Nb: tulisan ini diolah
dari tulisan Ahmad Baso dalam bukunya, Islam
Nusantara:Ijtihad Jenius dan Ijma Ulama Indonesia (Jilid I) pada Pembahasan
Kesepuluh (Bab II): Ilmu Politik Islam Nusantara dan Racikan “al-Jumhuriyah al-Indonesiyah”:
Kontribusi Ulama Aswaja Aceh. (Jakarta: Pustaka Afid. Cetakan Pertama, 2015).
Ayung
Notonegoro, Penggiat Literasi
1 komentar:
Kelanjutan tulisan ini ditunggu
Posting Komentar