Salah satu ulama
Nusantara yang karyanya memiliki reputasi internasional adalah Kiai Ihsan, atau
biasa dikenal dengan nama Kiai Ihsan Jampes. Jampes sendiri merupakan tempat
kelahirannya di daerah Kediri. Beliau dilahirkan pada tahun 1901 dengan nama
kecil Bakri.
Selayaknya keluarga
pesantren, Kiai Ihsan juga menempuh pendidikannya dari satu pesantren ke
pesantren yang lain. Ilmu-ilmu dasar keislamannya dipelajari langsung kepada
kedua orang tuanya, kemudian dilanjutkan ke beberapa pesantren lain. Mula-mula ia ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri
yang diasuh oleh pamannya sendiri, KH. Khazin. Dari sana, kemudian, Kiai Ihsan
melanjutkannya ke Pesantren Jamsaren, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudaian
dilanjutkan ke Pesantren KH. Shaleh Darat dan Pesantren Mangkang, Semarang,
Jawa Tengah. Lalu ke pesantren Pundun, Magelang, Jawa Tengah; Pesantren
Gondanglegi, Nganjuk, Jawa Timur dan Pesantren Kademangan, Bangkalan asuhan
Syaikhona Kholil.
Meski hanya belajar di
seputaran Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak mengurangi sedikitpun kealiman Kiai
Ihsan dibanding dengan yang belajar di Timur Tengah. Penguasaannya terhadap
khazanah keilmuwan Islam dan gramatikal Bahasa Arab tidak diragukan lagi. Hal ini
ditandai dengan karya-karyanya yang memiliki reputasi internasional.
Salah satu masterpiece Kiai Ihsan adalah Sirajut Thalibin. Buku ini merupakan syarah (penjelas) dari kitab al-Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Buku
ini membahas persoalan-persoalan tasawuf. Kitab ini membuat para pengkaji “etika
al-Ghazali” di Eropa terkesima. Doktrin-doktrin Al-Ghazali yang begitu rumit,
dapat diuraikan secara gamblang oleh Kiai Ihsan. Tak ayal lagi buku yang
ditulis sekitar tahun 1932-1933 itu menjadi rujukan diberbagai belahan dunia. Menurut
KH. Said Aqil Siradj, buku tersebut juga menjadi kajian dibeberapa majlis
taklim di Afrika maupun di Amerika. Bahkan buku tersebut menjadi buku wajib untuk kajian post-graduate di
Universitas Al-Azhar Mesir hingga kini. Tebal halamannya sekitar seribu halaman
yang terbagi dalam dua jillid.
Buku tersebut terus
dicetak ulang hingga kini. Pada tahun 2009 kemarin, kitab Sirajut Thalibin tersebut diketahui dibajak oleh penerbit Bairut,
Lebanon, Darul Kutub Ilmiah. Dimana nama
Kiai Ihsan Jampes di ganti menjadi Syekh Ahmad Zaini Dahlan al-Hasani
al-Hasyimi (w. 1886). Selain penggantian nama pengarang, kata pengantar (taqridha) yang ditulis oleh KH. Hasyim
Asyari Jombang, KH Abdurrahman bin KH. Abdul Karim Kediri, dan KH. Mahumammad
Yunus Abdullah Kediri juga dihapus. Diduga, pembajakan kitab tersebut telah
berlangsung sejak tahun 2006.
Karya lain Kiai Ihsan
Jampes yang terbilang cukup besar adalah Manahijul
Imdad. Kitab ini merupakan syarah
dari kitab Irsyadul Ibad karya
Zainuddin al-Malibari. Kitab ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2005,
kemudian pada tahun 2006 mengalami cetak ulang. Tebalnya mencapai 1050 halaman
dan terbagi menjadi dua jilid.
Kealiman Kiai Ihsan ini
menarik perhatian Raja Faruq dari Mesir. Raja tersebut mengirim utusan untuk
membujuk Kiai Ihsan agar mau mengajar di Universitas Al-Azhar. Namun, kiai yang
tawadlu’ tersebut menolak penawaran dari Raja Faruq dengan halus dan memilih
untuk tetap mengasuh pesantrennya di Kediri.
Berteman
Kopi
Kiai Ihsan semenjak
kecil sangat suka menonton pertujukan wayang yang semalam suntuk
mengakrabkannya dengan minuman kopi (juga rokok). Kebiasaanya meminum kopi
dilanjutkan hingga akhir hayatnya. Kopi selalu menjadi pendampingnya ketika
Kiai Ihsan membaca dan menuliskan karya-karyanya.
Kegemarannya pada kopi
dan rokok sampai-sampai menginspirasi Kiai Ihsan untuk menuliskan kitab tentang
keduanya. Kitab tersebut berjudul Irsyadul
Ikhwan fi Bayanil Qahwati wa al-Dukhan (Petunjuk bagi Saudara-Saudara Tentang
Keterangan Kopi dan Rokok). Kitab yang setebal 53 halaman tersebut berupa nadzom (syair) berbahasa Arab yang
memuat tentang manfaat, bahaya, serta hukum kopi dan rokok yang ditinjau dari
berbagai aspek. Baik dari tinjauan hukum Islam maupun kesehatan.
Sejak abad ke sepuluh,
kopi dan rokok telah melahirkan pertentangan tentang hukumnya. Banyak ulama
yang mengharamkan kopi pada saat itu. Namun argumentasi yang mendasarinya
tidaklah jelas dan kuat. Kiai Ihsan Jampes mengutip dari karya Abu Bakar bin
Abdullah as-Syadili, mengatakan bahwa ulama yang pertama kali mengkonsumsi kopi
adalah Al-Najam Al-Ghazi.
Menurut Kiai Ihsan
Jampes sendiri, sebagaimana tercantum dalam kitabnya tersebut mengatakan:
Wabihi qod jazama ibnu hajari #
wa-r-romli ma’ naqlihimal muharrari
An shohibil Ubabi qola innahaa # la
tujilul aqla wa kun muntabihaa
Watuhshilul nasyatha thiybal
khathari # ma’ adamil insya’i lidzoruri
Bal rubbama kana mau’natan alaa
# jiyadatil amali khud muhashshola
Fattajih inna lidzallika hukmahu # fain wujida tha’atan amaluhu
Dalam syair tersebut,
Kiai Ihsan berpatokan kepada pendapatnya Ibnu Hajar al-Haitami dalam Syarah Al-Ubab dan Imam Romli dalam Fatawa-nya, dimana kedua pendapat
tersebut dinukil dari kitab Al-Ubab yang ditulis oleh Al-Alamah Syekh Al-Qadhi
Ahmad bin Umar al-Mujzad. Dimana, kopi sesungguhnya tidak menghilangkan akal, menumbuhkan
semangat, menenangkan hati, dan serta tanpa adanya keraguan akan bahayanya. Kopi
terkadang juga membantu untuk menambah amal perbuatan. Oleh karena itu, dalam menyikapi
hukum minum kopi ambillah pendapat yang unggul, yaitu yang mengatakan hukum
minum kopi itu tergantung pada tujuan minumnya. Jika minum kopi tersebut
bertujuan untuk menambah keta’atan maka minum kopi tersebut dapat menghasilkan
hikmah.
Pada dasarnya suatu
perbuatan itu tergantung dengan tujuannya, termasuk dalam hal minum kopi. Kopi bisa
berhukum mubah (boleh), apabila dilakukan untuk tujuan-tujuan yang mubah. Misalnya
untuk hidangan. Bisa pula bernilai sunnah (mendapatkan pahala), jika ditujukkan
untuk perbuatan-perbuatan sunnah, misalnya untuk menemani dalam belajar agar
tidak mengantuk. Minum kopi pun bisa menjadi haram tatkala meminumnya untuk
tujuan haram, seperti mengkonsumsi obat-obatan terlarang dengan dicampurkan
pada kopi.
Menurut para ahli medis
meminum kopi dapat mendatangkan beberapa penyakit. Namun menurut Kiai Ihsan
penyakit tersebut tidak ditimbulkan serta merta dari kopi itu sendiri. Kopi bisa
berbahaya bagi orang yang memiliki penyakit lain, seperti halnya penyakit
pencernaan.
Diakhir pembahasannya
tentang kopi (bab pertama), dalam kitabnya tersebut, Kiai Ihsan Jampes mengutip
sebuah syair yang diucapkan oleh Ibnu Abdillah al-Samarani:
Alayka
bi aklil bunni fi kulli saa’atin # fafil bunni lil akli khamsu fawaaidi
Nasyathun
wa tahdliimun wa tahlilu bulgami # tathoyyibu anfasin wa awnun liqosidi
Tetaapkanlah
minum kopi setiap saat
Maka
didalam meminum kopi terdapat lima manfaat:
Menumbuhkan
semangat, melancarkan pencernaan, dan membersihkan riak
Juga
membaguskan nafas serta membantu dalam meraih tujuan.
Ayung
Notonegoro
Penggiat
Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar