menu

Minggu, 01 November 2015

Keanekaragaman Penyusunan Kitab Hadits






Dalam dunia literasi, saya kira, tak ada yang melebihi Nabi Muhammad dalam memberikan inspirasi bagi para penulis. Beribu buku yang menceritakan tentang sejarah hidup orang paling mulya bagi umat Islam tersebut ditulis. Konon, setiap bulan lebih dari satu buku yang terbit di dunia ini tentang dirinya. Baik tentang biografi maupun tentang ajarannya.

Salah satu yang paling sering dan penting untuk ditulis dan dikaji dari kehidupan Nabi Muhammad adalah tentang hadist. Menurut para ahli hadits (muhaditsin) sendiri, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), maupun sifat beliau. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Mahfudz bin Abdillah al-Tarmisyi dalam Manhaj Dzawin Nadhar.

Ruang lingkup hadits yang luas serta peranannya yang amat penting dalam agama Islam, satu tingkat dibawah al-Qur’an, menjadikan hadits begitu menarik untuk ditulis. Namun, meski hadits tersebut hanya berupa kumpulan-kumpulan perkataan dan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, ada beragam jenis penulisannya. Kitab-kitab hadits tak berhenti hanya sebagai sekedar kumpulan kata-kata. Ada kreativitas penulisannya.

Ada beragam pendapat mengenai klasifikasi ragam metode penulisan kitab-kitab hadits tersebut. Al-Mabarakfury, misalnya, dalam kitabnya Muqaddimat Tuhfatil Ahwadzy Syarhil Jami’il Tirmididzy membagi macam penulisan kitab hadits menjadi sembilan: al-jawami’, al-masanid, al-ma’ajim, al-ajza, arbaun haditsan, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-ilal dan al-athraf.

Berbeda pula dengan klasifikasi yang dibuat oleh Jamila Shaukat. Ia membagi kitab-kitab hadits menjadi sebelas jenis: shahifah, risalah/kitab, juz, arba’in, mu’jam, amaliy, athraf, jami’, sunan, mushannaf dan musnad.
 
Terlepas dari perbedaan klasifikasi tersebut, penulis coba sampaikan beberapa jenis yang sekiranya mencakup semua kategori. Bentuk awal pembukuan hadits nabi berupa shahifah. Pada dasarnya shahifah berupa literatur hadits yang masih sederhana. Hanya berupa catatan-catatan hadits yang ditulis begitu saat mengetahui adanya hadits. Bentuk penulisan yang demikian telah ada semenjak era Nabi Muhammad.

Salah satu shahifah yang ditulis dihadapan Nabi Muhammad langsung adalah Ash-Shahifah al-Shadiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr (w. 63 H).  Abdullah bin Amr merupakan salah satu sahabat yang mendapat kepercayaan Nabi untuk menuliskan hadits karena kemampuannya dalam baca tulis dan menguasai bahasa Arab dan Suryani dengan baik.

Menurut Ibnu Atsir diperkirakan ada sekitar seribu hadits yang terdapat dalam shahifah tersebut. Saat ini, shahifah tersebut sudah tidak dapat ditemukan. Namun, masih terdapat beberapa hadits yang kembali diriwayatkan. Ada sekitar tujuh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Secara terpisah, Bukhari meriwayatkan delapan hadits dan Muslim meriwatkan 20 hadits. Adapun yang paling banyak meriwayatkan hadits Abdullah bin Amr adalah Ibnu Hambal dalam musnad-nya.

Selain Ash-Shahifah ash-Shadiqah, beberapa sahabat lain juga ada yang menulis hadits dengan metode shahifah tersebut. Diantaranya adalah Shahifat Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Shahifat Jabir bin Abdillah (w. 78 H), dan Al-Shahifat Ash-Shahihah karya Hammam bin Munabih (w.131 H).

Metode lain yang digunakan adalah kitab atau risalah. Dalam metode ini, hadist dikumpulkan dengan tema-tema tertentu. Para ahli hadits membaginya dalam delapan kelompok. Mulai dari hadits tentang aqidah sampai hadits yang menjelaskan sifat baik ataupun buruk.

Kitab hadits yang khusus menuliskan tentang hadits aqidah atau dikenal pula dengan ilmu tauhid antara lain karya Ibnu Khuzaimah, Kitab Tauhid dan Al-Baihaqy dengan judul Al-Asma wal Shifat. Dalam bidang kesalehan (asketisme / zuhud), hadits yang ditulis dengan metode kitab adalah Kitabul Zuhud  karya Ibnu Hanbal dan Ibnu Al-Mubarak.

Adapula dalam bidang adab (ilmul adab), seperti halnya karya Bukhari, Adabul Mufrad. Sedangkan yang memuat hadits-hadits tentang tafsir diantaranya adalah Tafsir Ibnu Mardawaih, Tafsir Ad-Dailami, Jamiul Bayan karya Ath-Thabari. Hadits tentang biografi Nabi Muhammad ada Sirah Ibnu Ishaq atau Ibnu Hisyam dan Sirah Mula Umar. Sedangkan hadits yang membicarakan tentang peperangan dan kekacauan (ilmul fitan), diantaranya adalah karya Nu’aim bin Hammad berjudul Kitab Fitan. Adapun yang membahas tentang sifat baik dan buruk (ilmul manaqib), adalah karya Al-Muhib al-Thabary dengan judul Ar-Riyadl an-Nadlarat fi Manajibil Asyrah.

Metode penulisan hadits secara tematis demikian paling banyak menarik perhatian adalah tentang fiqih. Bahkan melahirkan beberapa metodologi turunan. Biasanya adalah yang berbentuk sunan. Selain itu, penulisan kitab hadits dalam bidang fiqih juga  dikenal dengan metode mushannaaf dan muwaththa’.

Secara metodologis keempat jenis tersebut tidak berbeda dalam sistematika penyusunan haditsnya. Hadits tersusun disesuaikan dengan urutan bab sebagaimana dalam kitab fiqih pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada kriteria hadits yang dimuat.

Dalam sunan kebanyakan hadits yang dimuat hanya yang berkwalitas marfu’ (disandarkan kepada Nabi SAW). Sedangkan mushannaf dan muwaththa’ juga mencantumkan hadits dengan kwalitas mauquf (disandarkan pada sahabat) dan maqthu’ (disandarkan pada tabi’in). Perbedaan antara mushannaf dan muwaththa’ hanyalah pada motivasi penulisnya. Muwaaththa’ adalah bertujuan untuk memudahkan para pembacanya.

Contoh hadits dengan penyusunan metode sunan antara lain Sunan Ibnu Dawud (w. 275 H), Sunan An-Nasa’i (w. 303 H), Sunan Ibnu Majah (w. 275 H) dan Sunan Ad-Darimy (w. 255 H). Sedangkan dalam bentuk mushannaf adalah Mushannaf Hammad ibnu Salamah al-Bashry, Mushannaf Waki’ Ibnu Jarrah al-Kufi, Mushannaf Abdul Razaq dan Mushannaf  Abi Bakr Abdillah ibn Muhammad ibn Abi Syaibah al-Kufi. Adapun yang muwaththa’ antara lain Muwaththa’  Malik bin Anas, Muwaththa’ Ibnu Abi Dzi’b al-Madany dan Muwaththa’  Abi Muhammad Abdillah al-Maruziy.

Selain dengan gaya penulisan hadits secara tematik, ada pula beberapa kitab hadits yang mencakup keseluruhan. Yaitu model penulisan jami’. Model ini mencakup delapan pembahasan sebagaimana dijelaskan diawal. Yang membedakannya dengan pola penulisan shahifah, metode jami’ ini telah tersistematika. Contoh kitab hadits dengan gaya penulisan demikian adalah Jami’ush Shahih karya Imam Bukhari (w. 256 H), Al-Jamiush Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H), Al-Jami’  karya Al-Tirmidziy (w. 279 H) dan Al-Jami’ karya Abdul Razzaq (w. 211 H).

Yang hampir menyerupai metode jami’ adalah model majma’. Majma’ adalah model penghimpunan hadits yang berasal dari kitab-kitab hadits yang telah disusun sebelumnya. Ada dua cara penyusunannya kitab ini: (1) disusun berdasarkan topik tertentu. Misalnya Al-Jam’u baynal Shahihain karya Muhammad bin Abi Nashir Al-Humaidi (w. 488 H) dan Al-Jam’u Baynal Ushulish Shittah karya Ibnu Al-Atsir (w. 606 H); (2) disusun berdasarkan awal kata dari matan hadits. Misalnya Jam’ul Jawami’  dan Al-Jami’ush Shaghir li Ahaditsil Basyiril Nadzir karya Imam Suyuthi.
Tak hanya berpaku pada pemilahan hadits belaka, metode penyusunan kitab hadits juga ada yang mengacu pada jalur sanadnya. Metode musnad adalah salah satunya. Musnad adalah kitab hadits yang penyusunannya berdasarkan urutan nama sahabat yang meriwayatkan hadits. Diantara jenis musnad adalah Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Al-Humaidi, Musnad Abu Dawud At-Talayisi dan Musnad Asad bin Musa al-Umawy.

Adapula metode mu’jam. Secara bahasa, istilah mu’jam berarti kamus, namun dalam ilmu hadits, mu’jam  adalah kitab hadits yang penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru hadits, nama-nama negeri, atau lainnya secara berurutan. Secara umum penyusunannya diurutkan secara alfabetis. Diantara kitab mu’jam yang tersohor adalah trilogi mu’jam yang ditulis oleh Al-Thabrany: Mu’jamul Kabir, Mu’jamul Ausath, dan Mu’jamush Shagir.

Metode lainnya yang seringkali digunakan para ahli hadits dalam menyusun kitab-kitabnya adalah mustakhraj dan mustadrak. Mustakhraj adalah penulisan kitab berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis mencantumkan sanad sendiri, bukan jalur sanad yang dimiliki penulis pertama. Misalnya adalah Al-Mustakhraj alal Shahihain karya Nu’aim al-Asbahany, Al-Mustakhraj ala Shahih Bukhari karya al-Ismaili, dan Mustkhraj ala Shahih Muslim karya Abu Uwanah.

Sedangkan model mustadrak adalah penyusunan kitab hadits dengan cara menyusulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab lain, tetapi penulisannya menggunakan syarat-syarat yang dipakai oleh penyusun kitab itu. Contohnya adalah Al-Mustadrak ala Shahihain karya Al-Hakim (w. 405 H).
Keragaman penulisan ini semata untuk mempermudah dalam mempelajari hadits yang berjumlah ribuan itu. Dengan demikian, hadits dapat ditelusuri secara lebih efisien baik merujuk pada tema, kata, sanad, atau bahkan kwalitasnya.

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi