menu

Rabu, 30 Desember 2015

PARA MUALLIF JOMBLO



Salah satu hal yang paling urgen dalam peradaban manusia, mungkin, adalah pernikahan. Dalam pernikahan, perkembangbiakan manusia diatur. Tak hanya berupa aturan adat, pernikahan pun memunculkan aturan hukum agama, hukum positif dan beragam konsekuensi aturan lainnya. Begitu pentingnya pernikahan dalam kehidupan manusia, sehingga bagi orang-orang yang memilih untuk tidak menikah dalam hidupnya mendapat ‘perhatian yang lebih’ (baca: sorotan), ditengah masyarakat.
Sebenarnya, ada banyak orang yang tetap memilih membujang, atau dalam bahasa kekinian acap disebut “jomblo”. Mulai dari orang biasa sampai orang penting, dari orang papa sampai kaya raya, laki-laki atau wanita yang memilih menjomblo. Tak menikah hingga akhir usia. Tentu dengan beragam alasan dan penyebabnya masing-masing.

Namun, dalam tulisan kali ini, saya akan menuliskan para muallif, penulis kitab, yang tetap menjomblo hingga akhir hayatnya. Saya sarikan tulisan singkat ini dari buku KH. Husain Muhammad yang berjudul Memilih Jomblo: Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya Sampai Akhir Hayatnya. Dalam buku terbitan Zora Book tersebut, Husain Muhammad menuliskan sekitar dua puluh satu (21) kisah para intelektual muslim dari berbagai bidang yang memilih untuk tidak menikah. Dari sekian intelektual jomblo tersebut, ada yang produktif menulis dan ada pula yang tidak produktif. Maka, saya memilahnya lagi menjadi beberapa jomblo yang aktif menulis dan memproduksi karya tulis.

Ada kalanya para muallif tersebut menuturkan alasan-alasannya kenapa memilih untuk menjomblo. Namun, tak sedikit yang hanya melahirkan terka kenapa ia tak menikah. Berikut kisahnya:

Ibnu Jarir Ath-Thabari

Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (224-310 H / 839-923 M). Lahir di Tabaristan, sebuah kota di Turkmenistan, selatan Laut Kaspia. Sejak belia telah dikenal sebagai orang yang memiliki kecerdasan luar biasa. Diusianya yang ke tujuh, ia telah hafal Al-Qur’an dan pada usia sembilan tahun telah mulai menulis hadis.

Hari-harinya dihabiskan dengan menuntut ilmu dan menulis kitab. Banyak karya monumental yang telah ditulisnya. Ada puluhan buku dalam berbagai kajian ilmu keislaman yang dianggitnya. Antara lain: Jami’ul Bayan At tanwil Ayil Qur’an dalam bidang tafsir Qur’an yang terdiri dari 30 jilid, dan Tarikh al-Rosul, wal Anbiya wal Muluk wal Umam dalam bidang sejarah yang terdiri dari 8 jilid yang masing-masing berjumlah 700 halaman. Ada pula Tahdzibul Atsar, Ikhtilaful Ulama al-Amshar, Adabul Qadhi, dan lain-lain.

Menurut al-Simsimi, salah seorang muridnya, Ibnu Jarir menulis buku selama 40 tahun. Dimana tiap hari ia menulis sekitar 40 halaman. Dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa dari keseluruhan karya Ibnu Jarir jika dibandingkan dengan panjang usianya yang mencapai 80 tahun, ia rata-rata menulis 14 lembar sehari.

Tak ada riwayat yang menjelaskan alasan Ibnu Jarir untuk memilih jomblo dalam hidupnya. Namun, jika dilihat dari kecintaannya pada ilmu dan gairahnya yang begitu luar biasa dalam menulis, bisa diduga alasannya, sebagaimana orang Arab katakan:

“Wa inna ladzdzatal ma’rifah agnathaa an ladzdzatiz zawaaja wal irtibath”

Menggumuli ilmu pengetahuan jauh lebih nikmat daripada kenikmatan menikah dan terikat.


Abul A’la Al-Ma’arri

Ia terlahir dalam kondisi normal, namun pada usia tiga tahun Al-Ma’ari mengalami panas yang berakibat cacar dan mengganggu penglihatannya. Tiga tahun kemudian, ia mengalami kebutaan permanen. Namun, kebutaan pada matanya tak menyurutkannya untuk belajar pria kelahiran tahun 363 H / 937 M di Ma’arri al-Nu’man, di Syiria Utara. Ia kelak dikenal sebagai seorang cendikiawan, filsuf dan penyair yang banyak menulis karya.

Karya-karya Al-Ma’ari kebanyakan berupa antologi puisi. Antara lain yang terkenal adalah Siqthul Zindi (Percikan Api) yang terdiri dari 3000 bait puisi, Luzum Ma Laa Yalzam (Keharusan yang Tidak Harus), Istaghfir wa Istaghfiri terdiri dari 10.000 bait. Selain itu, karya monumentalnya yang paling berpengaruh adalah Risalatul Ghufran (Surat Pengampunan).

Risalatul Ghufran berupa sastra falsafi yang berisi tentang kehidupan manusia di neraka dan surga yang terbungkus dalam dialog imajinatif yang indah nan satiris. Buku ini kelak banyak mempengaruhi sastrawan-sastrawan besar dunia. Sebut saja Dante Alighieri (1265 M), seorang penulis Italia yang begitu legendaris dengan karyanya Divine Comedy (Komedi Ilahiyah).

Sepanjang hayatnya, Al-Ma’ari memilih untuk tidak menikah. Menikah baginya adalah momok yang amat menakutkan. Dalam salah satu riwayat ia mengatakan, “Tinggalkan berketurunan. Berketurunan akan menimbulkan kematian.”

Dalam riwayat yang lain, ia berwasiat, “Aku wasiat kepadamu, jangan menikah. Bila kau takut dosa, nikahlah tetapi jangan berketurunan. Kuatkanlah.”

Ketakutannya pada keturunan yang menyebabkannya memilih tidak menikah didasarkan dari pandangan subyektifnya akan penderitaan seorang anak. Ia amat  takut menjadi penyebab penderitaan bagi anak-anak yang dilahirkannya. Bahkan dalam wasiatnya yang lain, Al-Ma’ari berpesan untuk menuliskan di batu nisannya sebuah pernyataan:

Hadzaa janaahu abiy alayya wa maa janaytu alaa ahadin

Ini adalah kesalahan ayahku atasku, dan aku tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.
 
      Imam Zamakhsyari

Seorang teolog bermadzhab Mu’tazilah ini lahir di Provinsi Khawarizm, di Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Al-Imam Abu Qosim Mahmud bin Umar al-Zamkhsyari al-Khawarizmi. Sejak kecil Zamakhsyari telah haus akan ilmu. Ia rela menempuh perjalanan ribuan mil dari tanah kelahirannya menuju Mekkah guna menuntut ilmu. Kelak ia dikenal sebagai seorang cendikia dibidang bahasa dan terkenal pula sebagai mufassir. Kitab tafsirnya yang terkenal berjudul  Al-Kasysyaf an Haqaiq Ghawamidh At-Tanzil wa ‘Uyunil Aqawil fi Wujudit Ta’wil.

Selain kitab tafsir, intelektual ‘rasional’ tersebut juga menulis 50 buku penting dalam beragam kajian. Antara lain: Al-Faiq fi Gharibil Hadits, Nukatul A’rab fi Gharibil I’rab, Mutasyabih Asmauil Ruwat, Asasul Balaghah, Syaqaiqul Nu’mal fi Haqaiqil Nu’man, dan beberapa judul lainnya.

Ia pun sama dengan beberapa cendikiawan lainnya. Zamakhsyari memutuskan untuk menjadi “uzzab” – memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hayat. Dalam satu bait puisinya, Zamakhsyari mengungkapkan alasannya untuk menjomblo:

“Aku telah mengamati nasib anak-anak
Aku hampir tak menemukan, anak-anak yang tidak menyakiti ibu dan ayahnya
Aku melihat seorang ayah yang menderita karena mendidik anak-anaknya
Dan ia ingin sekali anaknya menjadi orang yang pintar dan cerdas
Ia ingin mendidik generasi yang cemerlang
Tetapi apa daya , apakah ia menjadi baik atau menjadi nakal
Saudaraku menderita, karena menjadi beban anaknya
Anak itu begitu nakal
Karena itulah, aku tinggalkan menikah
Dan memilih cara hidup sebagai biarawan
Ini bagiku jalan hidup terbaik             

Said Nursi

Ia terlahir dari pasangan Mirza bin Ali dan Nuriah binti Mala Thahir di desa Nurs, bagian timur Anatolia, Turki pada tahun 1877 M. Said Nursi memiliki kecerdasan begitu menonjol sejak belia. Konon, kala usianya baru 15 tahun, ia mampu menghafal 80 kitab-kitab standard utama, baik yang tebal maupun yang tipis. Diantaranya adalah kitab Jam’ul JawamiI karya Taqiyuddin As-Subki yang dihafalkan hanya dalam waktu satu minggu. Begitu pula kamus Al-Muhith (Fairuz Abadi), Ushulul Fiqh Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (Ibnu Hajib), Al-Tuhfatul Muhtaj bi Syarah al-Minhaj (Ibnu Hajar Al-Haitsami) dan beberapa kitab lainnya juga dihafalnya.

Tak hanya ilmu-ilmu keagamaan yang dikuasainya, pada tahun 1897 ia juga mempelajari ilmu-ilmu sekuler seperti halnya matematika, astronomi, kimia, fisika, geografi, filsafat, sejarah dan lain sebagainya. Kecerdasannya yan begitu luar biasa itu menasbihkan dirinya dengan julukan “Badi’uz Zaman” (Kecemerlangan suatu zaman).

Di tengah aktivitasnya politiknya yang penuh dengan polemik dan tekanan dari rezim Attartuk, Said Nursi tetap menjadi penulis produktif. Salah satu karyanya yang paling menonjol adalah Rasailun Nur. Kitab ini merupakan tafsir Al-Qur’an dalam perspektif sufistik. Karya ini mendapat respon yang begitu luar biasa dengan diterjemahkan ke dalam 40 bahasa di dunia. Karya lainnya antara lain: Al-Matsnawi al-Arabi al-Nuri, Al-Kalimat, Al-Lama’at, Al-Syua’at, Al-Muhkamat, Al-Rumuz, Al-Ayatul QubraI  dan lain sebagainya.

Gairahnya dalam menuntut ilmu dan aktivitas politiknya yang begitu luar biasa mengantarkan Said Nursi menjadi jomblo progresif sepanjang masa. Dalam salah satu tulisan ia mengatakan alasannya “menjomblo”

”Aku sungguh tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban untuk istriku dalam kondisi hidupku seperti ini; menghadapi situasi sosial, politik yang penuh gejolak dan instabilitas.”

[Bersambung]

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi