menu

Minggu, 06 September 2015

Kiai Bisri Bersama Buku-Bukunya



 
“Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampean, bahkan mungkin saya lebih alim,” Kelekar KH. Ali Maksum Krapyak kepada sahabatnya KH. Bisri Mustofa, “tapi mengapa sampean bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tidak bisa melanjutkan.”

Dengan gaya khasnya, KH. Bisri Mustofa menjawab:

Lha, soalnya sampean menulis lillahi ta’ala (karena Allah ta’ala), sih!”

Kiai Ali terkejut mendengar jawaban tersebut.

Lho, Kiai menulis kok tidak lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?”

“Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu. Kalau pun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling. Saya juga begitu. Kalau belum-belum sampean sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampean dan pekerjaan sampean tak akan selesai. Lha, nanti kalau tulisan sudah jadi dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi (untuk menyebarkan ilmu) atau apa. Setan perlu kita tipu.”

***
Penggalan kisah diatas merupakan sekelumit pergumulan KH. Bisri Mustofa dengan buku-buku. Selain dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Kiai Bisri juga dikenal sebagai seorang penulis produktif. Dari kisah yang dituturkan oleh KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus (panggilan populernya), diatas terlihat bahwa ayahandanya tersebut adalah seorang penulis yang tangguh. Sebagaimana diakui oleh Kiai Maksum (hal xxi – xxii).

Kiai Bisri yang terlahir dari pasangan H. Zainal Mustofa dan Chadijah tepat tahun 1915 M itu, mempunyai kisah-kisah menarik dengan buku atau kitabnya. Perjumpaannya dengan buku (kitab), berawal dari Pesantren Kasingan asuhan KH. Cholil yang kelak menjadi mertuanya. Awal mula masuk pesantren, Kiai Bisri kecil tidak kerasan dan kembali ke rumah. Namun, pada tahun 1930, Bisri muda kembali dimasukkan ke pesantren itu lagi.

Kali ini, Bisri muda tidak langsung belajar ke Kiai Cholil, tetapi kepada adik Kiai Cholil, Suja’i. Pada Kiai Suja’i ini, Bisri muda menekuni kitab Al-Fiyah Ibnu Malik. Kitab yang berisi seribu bait nadzam yang berisi tentang kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab tersebut dipelajari dan dihafalkan selama dua tahun (hal. 13-14).

Setelah berhasil mengusai kitab yang menjadi salah satu pusaka pendidikan pesantren tersebut, Bisri muda lebih percaya diri dalam belajar langsung ke Kiai Cholil. Mulai saat itulah, Bisri muda mempelajari kitab-kitab lain, seperti fiqih, tafsir dan hadist. Kitab fiqih semacam Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Iqna, bahkan yang terkategori ushul fiqih seperti kitab Jam’ul Jawami’ beliau pelajari (hal. 14).

Kisah perjumpaan Kiai Bisri dengan buku dan kitab tidak hanya sebatas pada membaca dan mempelajarinya. Tetapi beliau juga berusaha mendapatkan “penghidupan” dari buku-buku tersebut. Bisri muda pun berjualan buku untuk memenuhi kebutuhannya di pesantren.

Sepeninggal ayahandanya, Bisri muda berada dalam tanggungan kakak tirinya, H. Zuhdi. Untuk meringankan beban kakaknya, ia turut serta menjualkan kitab-kitab dagangan kakaknya tersebut. Hasil dari penjualan kitab-kitab tersebut dipergunakannya untuk membiayai kebutuhan di pesantren bersama adiknya, Misbach (hal. 14).

Bahkan, ketika Kiai Bisri hendak berangkat ke Mekkah guna menunaikan haji dan menuntut ilmu disana, beliau mengumpulkan sangu dari berjualan kitab. Yaitu kitab Bijurumil Iqna’ kepunyaan gurunya, KH. Cholil (hal.16). Namun yang miris adalah tatkala memasuki masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagaimana kaum santri lainnya, Kiai Bisri juga melibatkan dirinya dalam barisan Hizbullah guna melawan pasukan NICA yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia.

Dalam masa-masa sulit tersebut, Kiai Bisri menderita sakit mata yang mengharuskan mengganti kornea. Ia berupaya keras untuk menyembuhkannya. Beliau bersama keluarganya, bahkan merantau hingga ke Pare, Kediri guna berobat. Beliau disana tinggal enam bulan lebih. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Kiai Bisri menjual pakaiannya hingga tersisa satu lembar sarung, kaos oblong, celana pendek dan sebuah baju dril. Dalam keadaan yang terdesak itu pula, kitab kesayangannya, Jam’ul Jawami’ dan Mursid Uqudul Juman ikut terjual (hal.33).

***
Ketekunan Kiai Bisri dalam dunia kepenulisan berawal dari sebuah kisah yang amat mengharukan. Pada akhir 1949, Kiai Bisri yang kala itu menjabat kepala KUA Kabupaten Rembang tertimpa musibah berupa kesalahan administrasi keuangan. Atas kesalahan tersebut, Kiai Bisri dikenakan sanksi tahanan rumah dan membayar denda sebesar Rp. 6.000 dalam waktu sebulan. Dalam keterbatasan ruang gerak dan tuntutan untuk menafkahi keluarga serta membayar denda melecut semangat Kiai Bisri menulis (hal. 44).

Ada sebuah kisah menarik tatkala pertama kali beliau ingin menerbitkan karyanya. Ditengah desakan untuk membayar denda sebesar enam ribu rupiah itu, Kiai Bisri menuntaskan empat buah kitab terjemah. Yaitu terjemah kitab Jurumiyah, Imrithy, Qawaidul I’rab dan Alfiyah Ibnu Malik. Keempat kitab tersebut beliau jilid dan dibawa ke Surabaya menemuia Sa’ad bin Salim bin Nabhan, pemilik percetakan Salim bin Nabhan.

Kiai Bisri memperkenalkan diri dan menawarkan karyanya.

“Kenalkan saya bernama Muhammad Irfan utusan dari Syaichonna KH. Bisri Mustafa.” Kiai Bisri memperkenalkan diri dengan merendah.

“Keperluan apa?” Tanya Sa’ad bin Salim.

“Saya disuruh menjual naskah, inilah naskahnya.”

“KH. Bisri Mustofa itu siapa?”

“Beliau adalah yang sekarang memangku Pondok Pesantren Rembang gantinya Kiai Cholil Rembang.”

“Berapa semau ini akan dijual?”

Syaichonna KH. Bisri Mustofa  memberikan harga Rp. 20.000.”

“Ah, jangan terlalu mahal. Yang pasti saja berapa?”

“Saya tidak ada hak untuk mengurangi dari harga yang telah ditentukan. Sekarang tuan saja beraninya berapa, nanti saya sampaikan kepada kiai.” 

“Saya paling tinggi hanya berani Rp. 8.000.”

“Baiklah, kalau sudah tidak bisa naik lagi saya minta izin untuk kembali ke Rembang untuk meminta keputusan dari kiai. Tetapi, minta maaf, saya hanya diberi sangu untuk pergi saja. Sedangkan pulang ke Rembang saya tidak ada ongkos. Kalau boleh saya minta uang saku untuk pulang ke Rembang.”

Akhirnya Kiai Bisri yang mengaku sebagai Muhammad Irfan diberi uang saku Rp. 200. Akan tetapi beliau tidak langsung pulang ke Rembang, bahkan beliau pergi ke Kediri semalam dan ke Jombang semalam, kemudian kembali ke Surabaya untuk menemui Sa’ad bin Salim.

“Bagaimana?” Tanya Sa’ad.

“Pertama, saya menyampaikan salam dari Kiai Bisri, dan kedua, alhamdulillah kiai sudah rela dengan harga Rp. 8.000, tetapi nanti kalau sudah selesai dicetak, kiai minta dikirim lagi uang seikhlasnya.” (hal. 70-71).

Sejak itulah, Kiai Bisri semakin aktif menulis. Selama dalam tahanan rumah, Kiai Bisri berhasil menuliskan beberapa karya selain empat terjemah kitab tersebut. Karyanya meliputi beragam bidang keagamaan. Beliau menulisnya dengan menggunakan bahasa dan aksara yang variatif. Terkadang berbahasa Jawa, bahasa Indonesia dan adapula yang berbahasa Arab. Aksara yang digunakannya pun silih berganti, ada yang ditulis dengan huruf Latin, Arab, bahkan Arab Pegon. Kesemua karyanya kurang lebih berjumlah 176 judul (hal. 72).

Karya-karyanya yang berupa terjemah – selain empat kitab diatas – diantaranya adalah kitab Bulughul Maram, Arbai’in Nawawi, Faraidul Bahiyah, Al-Usyuthi, Austhul Masalik dan Sullamul Mua’wanah. Selain itu beliau juga menulis kitab Al-Iktsir, Al-Baiquniyah, Safinatus Sholat, Muniyatuz Zaman, Atoiful Irsyad, Al-Nabras, Kasykul, Ar-Risalatul Hasanat, Al-Washaya lil Aba’ wal Abna’, At-Ta’liqatul Mufidah lil Qasidah al-Munfarijah, Al-Mujahadah wal Riyadhah, Risalatul Ijtihad wat Taqlid, Al-Khabibah, Al-Qawaidul Fiqhiyah dan Aqidatul Awwam.

Adapula karya-karyanya yang lain seperti: Buku Islam dan Sholat, Buku Islam dan Tauhid, Manasik Haji, Islam dan Keluarga Berencana, Khotbah Jum’at, dan Syair-Syair Rajabiyah.

Dalam bahasa Jawa karya-karya beliau antara lain, Cara-Caranipun Ziyarah lan Sinten Kemawon Walisongo Puniko, Qohar lan Sholihah, Nabi Yusuf lan Siti Zulaikhah, dan Ngudi Susilo. 

Sedangkan karyanya yang berjudul Ahlussunnah wal Jama’ah harus direvisi sampai tiga kali. Menurut Kiai Cholil Bisri, putranya, hal ini sebagai bentuk keinginan Kiai Bisri mengkontekstualisasikan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja), dalam semua bidang kehidupan. Dimana dalam pemikirannya, Kiai Bisri cenderung berpikiran moderat dengan mengedepankan asas kemaslahatan bersama (hal. 62).

Karya monumental Kiai Bisri sendiri adalah Tafsir Al-Ibriz. Sebuah kitab tafsir pertama dalam menggunakan bahasa Jawa. Proses penulisan kitab ini menarik. Kiai Bisri yang mengaji tafsir ke santri-santrinya memerintahkan kepada tiga orang santrinya untuk merekam dengan tape recorder dan menulisnya ulang. Setelah selesai ditulis oleh tiga santri, yaitu Munshorif, Magfurn dan Ahmad Sofwan, kemudian di-tashih-kan kepada Kiai Bisri (hal.100).

Gus Mus menceritakan bahwa ketekunan bapaknya dalam menulis bisa dilakukan dimana saja. Tidak hanya di rumah, di perjalanan, di hotel, bahkan diatas mobil pun beliau menulis. Kejenuhan menulis pun, beliau tangkal dengan menulis pula. Artinya, ketika beliau merasa jenuh menulis karya yang bertema serius dan berat, beliau menulis karya-karya ringan seperti cerita maupun syair-syair (hal. Xxii).

Ketekunan Kiai Bisri dalam menulis pernah “diuji tanding” oleh Gus Mus sendiri. Kala itu Kiai Bisri sudah menginjak usia 70 tahun. Sekiranya jam delapan malam istiwa’ Kiai Bisri mulai menulis. Gus Mus pun ikut menulis di tempat yang tidak jauh dari sana. Tatkala jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam, Gus Mus mulai merasa kelelahan dan memutuskan untuk berhenti. Namun, Kiai Bisri yang sudah sepuh itu tetap sigap di posisinya sembari melanjutkan menulis. Betapa tekunnya beliau (hal. 72).

***
Menjelang waktu Ashar, bertepatan dengan hari Rabo, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), Kiai Bisri Mustofa dipanggil keharibaan Sang Khaliq, Allah SWT. Diusianya yang ke-62 itulah perjuangannya di muka bumi sudah rampung. Beliau telah mewariskan peninggalan yang berharga bagi generasi selanjutnya. Tidak hanya anak-anak yang sholih dan berguna bagi agama dan bangsa, semacam Gus Mus, tetapi peninggalannya berupa pesantren Roudlatut Thalibin dan karya-karyanya itulah yang akan abadi. Jerih payahnya beliau dalam berjuang dan berkarya, tak berlebihan kiranya jika dipersandingkan dengan maksud firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du: 17

“Fa ammaz zabadu fayadzhabu juf’aan, wa amma ma yanfa’un nasa fayamkutsu fil ardhi...”

Adapun buih itu, maka ia akan musnah tak berbekas. Tapi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, maka ia akan kekal di muka bumi.

Spesifikasi buku: Judul; Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, penulis; Achmad Zainal Huda, Yogyakarta: LkiS, Cet. 2005.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Tidak ada komentar: