“Kalau soal kealiman,
barangkali saya tidak kalah dari sampean,
bahkan mungkin saya lebih alim,” Kelekar KH. Ali Maksum Krapyak kepada
sahabatnya KH. Bisri Mustofa, “tapi mengapa sampean
bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru
separo atau sepertiga, sudah macet tidak bisa melanjutkan.”
Dengan gaya khasnya,
KH. Bisri Mustofa menjawab:
“Lha, soalnya sampean
menulis lillahi ta’ala (karena Allah
ta’ala), sih!”
Kiai Ali terkejut
mendengar jawaban tersebut.
“Lho, Kiai menulis kok tidak lillahi
ta’ala; lalu dengan niat apa?”
“Kalau saya, menulis dengan
niat nyambut gawe. Etos saya dalam
menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu. Kalau pun ada tamu,
penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus
bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling. Saya juga begitu. Kalau belum-belum
sampean sudah niat yang mulia-mulia,
setan akan mengganggu sampean dan
pekerjaan sampean tak akan selesai. Lha, nanti kalau tulisan sudah jadi dan
akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi (untuk menyebarkan ilmu)
atau apa. Setan perlu kita tipu.”
***
Penggalan kisah diatas
merupakan sekelumit pergumulan KH. Bisri Mustofa dengan buku-buku. Selain
dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Kiai
Bisri juga dikenal sebagai seorang penulis produktif. Dari kisah yang
dituturkan oleh KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus (panggilan populernya), diatas
terlihat bahwa ayahandanya tersebut adalah seorang penulis yang tangguh. Sebagaimana
diakui oleh Kiai Maksum (hal xxi – xxii).
Kiai Bisri yang
terlahir dari pasangan H. Zainal Mustofa dan Chadijah tepat tahun 1915 M itu,
mempunyai kisah-kisah menarik dengan buku atau kitabnya. Perjumpaannya dengan
buku (kitab), berawal dari Pesantren Kasingan asuhan KH. Cholil yang kelak
menjadi mertuanya. Awal mula masuk pesantren, Kiai Bisri kecil tidak kerasan
dan kembali ke rumah. Namun, pada tahun 1930, Bisri muda kembali dimasukkan ke
pesantren itu lagi.
Kali ini, Bisri muda
tidak langsung belajar ke Kiai Cholil, tetapi kepada adik Kiai Cholil, Suja’i.
Pada Kiai Suja’i ini, Bisri muda menekuni kitab Al-Fiyah Ibnu Malik. Kitab yang berisi seribu bait nadzam yang
berisi tentang kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab tersebut dipelajari dan
dihafalkan selama dua tahun (hal. 13-14).
Setelah berhasil
mengusai kitab yang menjadi salah satu pusaka pendidikan pesantren tersebut, Bisri
muda lebih percaya diri dalam belajar langsung ke Kiai Cholil. Mulai saat
itulah, Bisri muda mempelajari kitab-kitab lain, seperti fiqih, tafsir dan
hadist. Kitab fiqih semacam Fathul Mu’in,
Fathul Wahab, Iqna, bahkan yang terkategori ushul fiqih seperti kitab Jam’ul Jawami’ beliau pelajari (hal.
14).
Kisah perjumpaan Kiai
Bisri dengan buku dan kitab tidak hanya sebatas pada membaca dan
mempelajarinya. Tetapi beliau juga berusaha mendapatkan “penghidupan” dari
buku-buku tersebut. Bisri muda pun berjualan buku untuk memenuhi kebutuhannya
di pesantren.
Sepeninggal
ayahandanya, Bisri muda berada dalam tanggungan kakak tirinya, H. Zuhdi. Untuk meringankan
beban kakaknya, ia turut serta menjualkan kitab-kitab dagangan kakaknya
tersebut. Hasil dari penjualan kitab-kitab tersebut dipergunakannya untuk
membiayai kebutuhan di pesantren bersama adiknya, Misbach (hal. 14).
Bahkan, ketika Kiai
Bisri hendak berangkat ke Mekkah guna menunaikan haji dan menuntut ilmu disana,
beliau mengumpulkan sangu dari
berjualan kitab. Yaitu kitab Bijurumil
Iqna’ kepunyaan gurunya, KH. Cholil (hal.16). Namun yang miris adalah
tatkala memasuki masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagaimana kaum santri
lainnya, Kiai Bisri juga melibatkan dirinya dalam barisan Hizbullah guna melawan pasukan NICA yang akan merebut kembali
kemerdekaan Indonesia.
Dalam masa-masa sulit
tersebut, Kiai Bisri menderita sakit mata yang mengharuskan mengganti kornea. Ia
berupaya keras untuk menyembuhkannya. Beliau bersama keluarganya, bahkan
merantau hingga ke Pare, Kediri guna berobat. Beliau disana tinggal enam bulan
lebih. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Kiai Bisri menjual
pakaiannya hingga tersisa satu lembar sarung, kaos oblong, celana pendek dan
sebuah baju dril. Dalam keadaan yang terdesak itu pula, kitab kesayangannya, Jam’ul Jawami’ dan Mursid Uqudul Juman ikut terjual (hal.33).
***
Ketekunan Kiai Bisri
dalam dunia kepenulisan berawal dari sebuah kisah yang amat mengharukan. Pada akhir
1949, Kiai Bisri yang kala itu menjabat kepala KUA Kabupaten Rembang tertimpa
musibah berupa kesalahan administrasi keuangan. Atas kesalahan tersebut, Kiai
Bisri dikenakan sanksi tahanan rumah dan membayar denda sebesar Rp. 6.000 dalam
waktu sebulan. Dalam keterbatasan ruang gerak dan tuntutan untuk menafkahi
keluarga serta membayar denda melecut semangat Kiai Bisri menulis (hal. 44).
Ada sebuah kisah
menarik tatkala pertama kali beliau ingin menerbitkan karyanya. Ditengah desakan
untuk membayar denda sebesar enam ribu rupiah itu, Kiai Bisri menuntaskan empat
buah kitab terjemah. Yaitu terjemah kitab Jurumiyah,
Imrithy, Qawaidul I’rab dan Alfiyah Ibnu
Malik. Keempat kitab tersebut beliau jilid dan dibawa ke Surabaya menemuia
Sa’ad bin Salim bin Nabhan, pemilik percetakan Salim bin Nabhan.
Kiai Bisri
memperkenalkan diri dan menawarkan karyanya.
“Kenalkan saya bernama Muhammad
Irfan utusan dari Syaichonna KH.
Bisri Mustafa.” Kiai Bisri memperkenalkan diri dengan merendah.
“Keperluan apa?” Tanya
Sa’ad bin Salim.
“Saya disuruh menjual
naskah, inilah naskahnya.”
“KH. Bisri Mustofa itu
siapa?”
“Beliau adalah yang
sekarang memangku Pondok Pesantren Rembang gantinya Kiai Cholil Rembang.”
“Berapa semau ini akan
dijual?”
“Syaichonna KH. Bisri Mustofa
memberikan harga Rp. 20.000.”
“Ah, jangan terlalu
mahal. Yang pasti saja berapa?”
“Saya tidak ada hak
untuk mengurangi dari harga yang telah ditentukan. Sekarang tuan saja beraninya
berapa, nanti saya sampaikan kepada kiai.”
“Saya paling tinggi
hanya berani Rp. 8.000.”
“Baiklah, kalau sudah
tidak bisa naik lagi saya minta izin untuk kembali ke Rembang untuk meminta
keputusan dari kiai. Tetapi, minta maaf, saya hanya diberi sangu untuk pergi
saja. Sedangkan pulang ke Rembang saya tidak ada ongkos. Kalau boleh saya minta
uang saku untuk pulang ke Rembang.”
Akhirnya Kiai Bisri
yang mengaku sebagai Muhammad Irfan diberi uang saku Rp. 200. Akan tetapi
beliau tidak langsung pulang ke Rembang, bahkan beliau pergi ke Kediri semalam
dan ke Jombang semalam, kemudian kembali ke Surabaya untuk menemui Sa’ad bin
Salim.
“Bagaimana?” Tanya Sa’ad.
“Pertama, saya
menyampaikan salam dari Kiai Bisri, dan kedua, alhamdulillah kiai sudah rela dengan harga Rp. 8.000, tetapi nanti
kalau sudah selesai dicetak, kiai minta dikirim lagi uang seikhlasnya.” (hal.
70-71).
Sejak itulah, Kiai
Bisri semakin aktif menulis. Selama dalam tahanan rumah, Kiai Bisri berhasil
menuliskan beberapa karya selain empat terjemah kitab tersebut. Karyanya meliputi
beragam bidang keagamaan. Beliau menulisnya dengan menggunakan bahasa dan
aksara yang variatif. Terkadang berbahasa Jawa, bahasa Indonesia dan adapula
yang berbahasa Arab. Aksara yang digunakannya pun silih berganti, ada yang
ditulis dengan huruf Latin, Arab, bahkan Arab Pegon. Kesemua karyanya kurang
lebih berjumlah 176 judul (hal. 72).
Karya-karyanya yang
berupa terjemah – selain empat kitab diatas – diantaranya adalah kitab Bulughul Maram, Arbai’in Nawawi, Faraidul
Bahiyah, Al-Usyuthi, Austhul Masalik dan Sullamul Mua’wanah. Selain itu beliau juga menulis kitab Al-Iktsir, Al-Baiquniyah, Safinatus Sholat,
Muniyatuz Zaman, Atoiful Irsyad, Al-Nabras, Kasykul, Ar-Risalatul Hasanat,
Al-Washaya lil Aba’ wal Abna’, At-Ta’liqatul Mufidah lil Qasidah al-Munfarijah,
Al-Mujahadah wal Riyadhah, Risalatul Ijtihad wat Taqlid, Al-Khabibah,
Al-Qawaidul Fiqhiyah dan Aqidatul
Awwam.
Adapula karya-karyanya
yang lain seperti: Buku Islam dan Sholat, Buku Islam dan Tauhid, Manasik Haji,
Islam dan Keluarga Berencana, Khotbah Jum’at, dan Syair-Syair Rajabiyah.
Dalam bahasa Jawa
karya-karya beliau antara lain, Cara-Caranipun
Ziyarah lan Sinten Kemawon Walisongo Puniko, Qohar lan Sholihah, Nabi Yusuf lan
Siti Zulaikhah, dan Ngudi Susilo.
Sedangkan karyanya yang
berjudul Ahlussunnah wal Jama’ah
harus direvisi sampai tiga kali. Menurut Kiai Cholil Bisri, putranya, hal ini
sebagai bentuk keinginan Kiai Bisri mengkontekstualisasikan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja), dalam
semua bidang kehidupan. Dimana dalam pemikirannya, Kiai Bisri cenderung
berpikiran moderat dengan mengedepankan asas kemaslahatan bersama (hal. 62).
Karya monumental Kiai
Bisri sendiri adalah Tafsir Al-Ibriz.
Sebuah kitab tafsir pertama dalam menggunakan bahasa Jawa. Proses penulisan
kitab ini menarik. Kiai Bisri yang mengaji tafsir ke santri-santrinya
memerintahkan kepada tiga orang santrinya untuk merekam dengan tape recorder dan menulisnya ulang.
Setelah selesai ditulis oleh tiga santri, yaitu Munshorif, Magfurn dan Ahmad
Sofwan, kemudian di-tashih-kan kepada
Kiai Bisri (hal.100).
Gus Mus menceritakan bahwa
ketekunan bapaknya dalam menulis bisa dilakukan dimana saja. Tidak hanya di
rumah, di perjalanan, di hotel, bahkan diatas mobil pun beliau menulis. Kejenuhan
menulis pun, beliau tangkal dengan menulis pula. Artinya, ketika beliau merasa
jenuh menulis karya yang bertema serius dan berat, beliau menulis karya-karya
ringan seperti cerita maupun syair-syair (hal. Xxii).
Ketekunan Kiai Bisri
dalam menulis pernah “diuji tanding” oleh Gus Mus sendiri. Kala itu Kiai Bisri
sudah menginjak usia 70 tahun. Sekiranya jam delapan malam istiwa’ Kiai Bisri mulai menulis. Gus Mus pun ikut menulis di
tempat yang tidak jauh dari sana. Tatkala jarum jam menunjukkan pukul dua belas
malam, Gus Mus mulai merasa kelelahan dan memutuskan untuk berhenti. Namun,
Kiai Bisri yang sudah sepuh itu tetap sigap di posisinya sembari melanjutkan
menulis. Betapa tekunnya beliau (hal. 72).
***
Menjelang waktu Ashar,
bertepatan dengan hari Rabo, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), Kiai Bisri
Mustofa dipanggil keharibaan Sang Khaliq, Allah SWT. Diusianya yang ke-62
itulah perjuangannya di muka bumi sudah rampung. Beliau telah mewariskan
peninggalan yang berharga bagi generasi selanjutnya. Tidak hanya anak-anak yang
sholih dan berguna bagi agama dan bangsa, semacam Gus Mus, tetapi
peninggalannya berupa pesantren Roudlatut Thalibin dan karya-karyanya itulah
yang akan abadi. Jerih payahnya beliau dalam berjuang dan berkarya, tak
berlebihan kiranya jika dipersandingkan dengan maksud firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du:
17
“Fa
ammaz zabadu fayadzhabu juf’aan, wa amma ma yanfa’un nasa fayamkutsu fil
ardhi...”
Adapun buih itu, maka
ia akan musnah tak berbekas. Tapi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, maka ia
akan kekal di muka bumi.
Spesifikasi buku: Judul; Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri
Mustofa, penulis; Achmad Zainal Huda, Yogyakarta: LkiS, Cet. 2005.
Ayung Notonegoro,
Penggiat Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar