menu

Minggu, 21 April 2013

MEMAKNAI ULANG KELULUSAN



MEMAKNAI  ULANG KELULUSAN


Yaumul hisab, hari perhitungan, bagi para pelajar telah datang. Hari yang menjadi penentu kelulusan masa pendidikan di sekolah akan segera dihelat. Hari yang bertajuk Ujian Akhir Nasional atau biasa disingkat UAN, UNAS, atau UN ini telah sejak lama dinanti dan diharapkan, namun juga ditakuti oleh segenap pelaku pendidikan. Mulai Menteri Pendidikan, Gubenur, Wali Kota/ Bupati, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru dan terutama Murid dan Wali Murid. Tak ayal lagi persiapan untuk menyambut UN telah dimulai jauh-jauh hari. Mulai dari penambahan jam pelajaran, baik masuk lebih pagi atau pulang lebih sore, les dan melakukan bimbingan belajar diluar jam sekolah pun diakoni oeh para pelajar. Tak cukup itu, simulasi ujian (try out) dan latihan penyelesaian soal menjadi menu sehari-hari. Praktis selama semester dua hanya latihan-latihan soal yang didapat disekolah.


Tak hanya persiapan yang bersifat teknis, persiapan mental dan spiritual pun tak kalah pentingnya mereka persiapkan untuk menghadapi UN. Doa bersama digelar dimana-mana, bahkan ada salah satu sekolah yang menjadikannya menjadi rutinitas mingguan.

Sakralitas dan mandragunanya UN sebagai faktor (ter)utama kelulusan pelajar juga didukung oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, dana sebesar 600 milyar rupiah digelontorkan pemerintah pusat untuk menyukseskan perhelatan akbar ini. Jangan bayangkan betapa banyaknya uang enamratus milyar tersebut. Jika ditukar dengan uang seribu lembaran mampu menutupi beribu-ribu kali luas kabupaten Banyuwangi. Atau pun jika uang ribuan tersebut disusun berjajar maka akan mampu mengelilingi bumi lebih dari 663 kali atau setara dengan jarak bolak-balik antara bumi dan bulan. Atau jika ingin lebih humanis, uang ribuan tersebut dibagikan kepada fakir miskin, katakanlah membagi satu lembar uang seribu membutuhkan waktu sepuluh detik, sedangkan kita bekerja sehari selama delapan jam dan lima ari dalam sepekan, maka waktu yang diperlukan untuk menghabiskannya selama 868 tahun 17 hari lebih 160 menit. Mungkin orang Osing hanya bia bilang, “Byeeeek...” sambil salto-salto tujuh kali ke belakang.

Terlepas dari beragam polemik dan kontroversi tentang penyelenggaran ujian nasional, tentunya terdapat niatan mulia untuk menaikkan standard pendidikan di Indonesia. Namun niatan mulia tersebut banyak tak sampai ke relung nurani para kompenen yang terlibat penyelenggaraan UN. Pandangan-pandangan pragmatis untuk meraih kelulusan mengantarkan terhadap tindak kecurangan yang terkesan sistemik. Mulai kebocoran soal, contek masal, joki, pembelian kunci jawaban, sampai-sampai kongkalikong antar pihak pengawas dan pihak sekolah demi “amannya” proses ujian.

Tentunya hal tersebut mencederai tujuan dasar diselenggarakannya ujian. Ujian yang tujuan dasarnya menguji kemampuan peserta didik dalam menyerap materi yang diujikan untuk menilai layak ataukah tidak untuk dinyatakan lulus akhirnya berubah hanya menjadi ajang “sandiwara” formaliltas bahwa sekolah itu harus diakhiri dengan ujian. Ujian nasional 2013 yang menggunakan dua puluh variasi soal menjadi indikator betapa parahnya praktek kecurangan pada pelaksanaan UN.

Bukannya tanpa alasan adanya oknum-oknum yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya adalah pengkultusan terhadap kelulusan yang ditandai dengan mendapatkan ijazah. Bagaimana tidak, ijazah telah menjadi keris empu gandring yang ampuh untuk menaklukan kerasnya zaman yang disebut-sebut sebagai zaman globalisasi ini. Hampir semua bidang pekerjaan mulai yang remeh temeh sampai yang berbobot membutuhkan kartu truf bernama ijazah. Jadi tidak heran jika banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan selembar ijazah dengan menggunakan berbagai cara, baik yang halal maupun yang haram, demi “menjamin” masa depannya.

Paradigma seperti diatas tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena sistem yang berlaku saat ini ebih senang terhadap hal yang sah secara formal ketimbang bukti nyata. Namun perlu diingat ijazah kelulusan bukanlah modal utama kesuksesan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Banyak orang yang berijazah (maaf) yang nganggur, dan tak sedikit orang yang tak berijazah yang meraih sukses dan kaya raya. Kelulusan pun bukan menjadi penanda seseorang itu pandai dan yang tidak lulus itu tidak pintar. Banyak siswa yang berprestasi di sekolahnya justru ketika UN divonis tidak lulus, sedangkan yang biasa-biasa saja justru mendapatkan kelulusan dengan nilai yang baik. 

Banyak contoh orang sukses tanpa ijazah.  Subhash Chandra merupakan salah satu konglomerat India, pendiri Essel Propack Limited mampu menjadikannya menjadi orang kaya.  Majalah Forbes edisi Maret 2009 menempatkan Chandra di urutan 647 orang terkaya dunia dengan kekayaan mencapai 1,1 miliar dollar AS. Bahkan Alan Gerry yang juga tidak menamatkan pendidikan SMA, mampu menjadi biliuner dengan menjadi pengusaha TV kabel yang sukses.

Di Indonesia juga terdapat  orang sukses tanpa ijazah. Sebut saja seorang motivator dan pengusaha sukses bernama Andrie Wongso yang bergelar SDTT alias akronim dari Sekolah Dasar Tidak Tamat. Begitu pula dalam sejarah negara Indonesia yang pernah memiliki Wakil Presiden yang tak berijazah yaitu Adam Malik. Namun wapres ketiga Republik Indonesia ini jangan diragukan agi dalam kemampuan politik dan diplomasinya.

Yang menjadi titik tekan bukan pada penting atau tidaknya nilai kelulusan ataupun ijazah, tapi bagaimana memandang kelulusan maupun ijazah sebagai suatu yang porposional. Pengkultusan terhadap kelulusan dan ijazah yang membabi buta dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli baik buruk itulah yang menjadi fokus kajian ini. Selamanya ijazah dan kelulusan itu penting dan sangat berguna dalam kehidupan yang menuntut formalitas pendidikan ini.

Kisah Ajib Rosidi, seorang sastrawan kawak Indonesia, bisa menjadi renungan bersama. Beliau memutuskan tidak mengikuti ujian akhir semasa SMA dikarenakan tersebar isu bahwa telah terjadi kecurangan dengan membocorkan soal-soal ujian. Agar tidak terkena imbas dari kecurangan tersebut dan menjaga “ke-syubhat-an” kelulusannya, beliau mogok ujian. Lalu beliau banyak belajar dan membaca sebagai upaya tandingan bahwa tanpa ijazah dan kelulusan mampu menjadi orang sukses. Akhirnya, beliau menjadi dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di negara Jepang dengan mengajar bahasa Indonesia. Beliau juga mengarang tidak kurang dari lima puluh buku.

 Dari kisah ini semakin jelas bahwa kemampuan lah yang menjadi faktor utama kesuksesan. Jadi  tak perlu menghalalkan cara-cara curang untuk meraih kelulusan. Banyak cara untuk meraih kesuksesan. Caranya tergantung seberapa besar kemauan kita untuk belajar dan berjuang. Nabi Muhammad bersabda pada Siti Aisyah: “Ajruki alaa qodri nasbik- ganjaran untukmu tergantung seberapa usahamu.”
Jika kita belajar dan berjuang secara sungguh-sungguh kita akan eraih kelulusan dan kesuksesan.
Selamat belajar dan berjuang, selamat berujian tanpa kecurangan.

Ayung Nitinegara, Aktivis IPNU Banyuwangi.