Salah satu pertanda
suatu peradaban adalah aksara. Suatu perangkat rekayasa manusia untuk
mengabadikan suatu infomasi dalam simbol-simbol. Dengan aksara peradaban
digolongkan bersejarah. Dan disebut masa pra sejarah bagi suatu peradaban yang
tak mengenal sejarah.
Nusantara sendiri
memasuki masa sejarah diperkirakan pada abad keempat masehi. Hal ini berdasarkan
ditemukannya sebuah prasasti (yupa) Kutai, bekas peninggalan kerajaan Kutai
Kertanegara. Dalam prasasti tersebut, aksara yang dipergunakan adalah aksara
Pallawa dengan menggunakan bahasa Sansekerta.
Lambat laun sistem
aksara di Nusantara terus berkembang. Banyak bermunculan aksara-aksara lain
yang lebih bersifat lokal. Seperti halnya huruf Jawa, Bugis dan lain
sebagainya. Seiring masuknya Islam yang memperkenalkan sistem aksara Hijaiyah
(huruf Arab), menambah keanekaragaman sistem aksara yang khas Nusantara, yaitu
aksara Pegon.
Aksara Pegon adalah
bentuk modifikasi dari sistem aksara Hijaiyah. Huruf yang dipergunakan adalah
huruf Hijaiyah, namun terdapat beberapa perubahan guna mencukupi beberapa huruf
yang tak ada dalam penggunaan bahasa Arab. Misalnya, dalam bahasa Arab tidak
mengenal huruf C, J, G, Nya atau Nga. Huruf-huruf tersebut dalam aksara
Pegon menggunakan huruf Hijaiyah yang dimodifikasi dengan penggunaan titik tiga
dibawah atau diatasnya.
Perbedaan mendasar lagi
dari aksara Pegon dengan aksara Hijaiyah adalah penggunaan huruf vokal. Jika dalam
aksara Hijaiyah yang dipergunakan untuk menulis bahasa Arab, penggunaan huruf
vokalnya menggunakan harakat. Dimana tata aturan penggunaanya diatur sedemikian
rupa dalam ilmu Nahwu dan Shorof. Namun dalam aksara Pegon, sistem
vokalisasinya menggunakan huruf Hijaiyah juga. Misalnya, vokal U yang dalam aksara Hijaiyah
menggunakan dlommah, tapi dalam
aksara Pegon menggunakan huruf Wawu.
(Lihat gambar 1).
Gambar I |
Pegon sendiri berasal
dari bahasa Jawa; pego, artinya
adalah menyimpang. Sistem penulisannya yang tidak lazim sebagaimana penulisan
huruf Hijaiyah dalam menulis bahasa Arab, maka disebut dinamai Pegon.
Menyimpan.
Penggunaan aksara Pegon
tidak hanya berlaku di komunitas Jawa saja, tetapi menyebar ke seluruh
Nusantara, termasuk beberapa negara di Asia Tenggara. Yang mana pada abad
ke-19, semua umat muslim yang berasal dari Asia Tenggara yang berada di Timur
Tengah dikenal sebagai komunitas Jawiy.
Sehingga penggunaan aksara Pegon pun tersebar ke penjuru Asia Tenggara. Meski
dalam penggunaannya menggunakan bahasa yang berbeda.
Aksara Pegon sendiri
memiliki beberapa nama yang berbeda. Misalnya di Malaysia, aksara Pegon disebut
dengan aksara Jawi. Sedangkan dalam komunitas yang lebih luas di Asia Tenggara,
aksara tersebut disebut dengan aksara Arab-Melayu.
Aksara Pegon berkembang
pada tahun 1400-an. Konon yang pertama kali memperkenalkannya adalah Raden
Rahmat atau dikenal dengan Sunan Ampel. Tulisan tersebut dikembangkannya di
Pesantren Ampedenta, Surabaya. Adapula yang menyebut aksara Pegon diperkenalkan
pertama kali oleh Sunan Gunung Jati. Adapun pendapat yang terakhir menyebut
aksara Pegon dikembangkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani (1230-1316 H / 1813-1898
M). Seorang ulama asli Nusantara yang banyak menulis kitab di Mekkah pada abad
ke-19 (Amirul Ulum; Huruf Pegon,
Pemersatu Ulama Nusantara. NU.Online)
Namun ada beberapa
manuskrip yang menunjukkan penggunaan aksara Pegon terjadi jauh sebelum
islamisasi di Nusantara secara massif pada masa Walisongo. Sebuah manuskrip yang
ditemukan di Terengganu, Malaysia, bernama Batu
Bersurat yang dibuat pada tahun 1303 M telah menggunakan aksara Pegon
dengan bahasa Melayu. Selain itu juga ditemukan manuskrip berangka tahun 1310 M
yang berisi syair-syair keislaman yang ditemukan di Minya’ Tujoh, Aceh yang
juga menggunakan aksara Pegon dan bahasa Melayu (Mubarok Yasin. Ensiklopedia Penulis Pesantren. Hal.
11).
Terlepas dari awal mula
dan asal-usul penggunaannya, aksara Pegon menyebar keseluruh Nusantara dan
menjadi sistem penulisan resmi. Tidak hanya untuk penulisan literatur keagamaan
dan pendidikan, namun juga menjadi sistem penulisan beberapa kesultanan Islam
yang berada di Nusantara. Begitu pula dalam bidang perdagangan, aksara Pegon
dipergunakan pula untuk catatan perjanjian dagang dan lain sebagainya.
Aksara
Pegon di Pesantren
Seiring perkembangan
zaman, penggunaan aksara Pegon mulai tersingkirkan. Tak banyak lagi masyarakat
Nusantara yang menggunakan atau bahkan hanya sekedar mengetahui aksara Pegon. Dari
kesedikitan itu, pesantren salaf masih teguh mempertahankan tradisi penggunaan
aksara Pegon.
Penggunaan aksara Pegon
di pesantren dipergunakan, umumnya, untuk ngesahi
kitab kuning. Ngesahi adalah istilah
penulisan makna dalam kitab kuning. Dimana aksara Pegon ditulis secara mendatar
atau miring diantara baris-baris teks berbahasa Arab pada kitab kuning.
Sistem penulisan aksara
Pegon dalam ngesahi kitab kuning
memiliki aturan dan simbol-simbol tambahan tersendiri. Sistem gramatikal bahasa
Arab yang begitu kental dalam penulisan kitab kuning mempengaruhi penulisan
aksara Pegon dalam pemberian maknanya. Pengaruh tersebut memunculkan
simbol-simbol tertentu untuk melambangkan susunan gramatikal teks Arab
tersebut. Hal ini dipergunakan untuk memberikan pemaknaan yang komprehensif
terhadap teks berbahasa Arab tersebut dan juga untuk membantu pembaca mengenali
kedudukan gramatikal suatu teks (Lihat Gambar 2).
Gambar 2 |
Misalnya, dalam
memaknai kalimat Alhamdulillahirabbil
alamin. Maka dalam pemaknaa ala pesantren akan menggunakan beberapa simbol
yang menunjukkan kedudukan irob atau
posisi gramatikal kata tersebut dalam bahasa Arab (ilmu nahwu).
Kata alhamdu yang berkedudukan sebagai mubtada itu akan ditandai dengan simbol
berupa huruf mim yang dicoretkan
tepat dikata alhamdu itu sendiri.
Dimana simbol mim itu sendiri dibaca utawi (adapun). Lalu lafad lillahi yang berkedudukan sebagai khobar dalam gramatikal bahasa Arab
ditandai huruf kha yang diletakkan
diatas lafad tersebut. Simbol kha
tersebut dibaca iku (itu). Sedangkan
lafad robbil alamin yang berkedudukan
sebagai naat ditandai dengan simbol shod yang dibaca kang (yang). (Lihat Gambar 3).
Adapun aksara Pegon
yang berisi makna lafad-lafad tersebut ditulis dibawah lafadnya tepat. Misalnya
lafad alhamdu setelah dikasih simbol mim sebagai penanda kedudukan
gramatikalnya, dibawahnya ditulisi terjemahnya dengan aksara Pegon, baik
menggunakan bahasa Jawa atau bahasa lainnya.
Sistem simbolisasi
penulisan tersebut tidak ada aturan baku yang mengikat. Ada berbagai
simbolisasi yang berlaku diberbagai pesantren yang tersebar di Indonesia. Tetapi
sebagian besar hampir sama.
****
Aksara, sebagai buah
cipta pemikiran manusia, tentu berlaku hukum selayaknya karya-karya manusia
yang lain, tiada yang kekal. Aksara Pallawa yang pertama kali dikenal di Nusantara,
kemudian tergantikan aksara Jawa Honocoroko. Begitupula aksara Jawa juga
tersaingi dengan aksara Pegon. Dan seiring perubahan zaman, aksara Pegon pun
tergerus oleh aksara Latin yang mendunia. Kemusnahan adalah keniscayaan dalam
tiap karya manusia, namun tidakkah bangga kita jika karya para leluhur kita itu
tetap lestari hingga kelak?
Mari lestarikan aksara
Nusantara!
Nb: Tulisan ini dibuat
dalam rangka Hari Aksara Internasional
Banyuwangi, 8 September
2015
Ayung
Notonegoro, Penggiat Literasi
Banyuwangi
3 komentar:
Assalamualaikum
Bisaka membantu saya dalam hal membaca huruf yang seperti tulisan pegon
Assalamualaikum
Bisaka membantu saya dalam hal membaca huruf yang seperti tulisan pegon
Assalamualaikum
Bisaka membantu saya dalam hal membaca huruf yang seperti tulisan pegon
Posting Komentar