menu

Selasa, 08 September 2015

Pegon Sebagai Aksara Nusantara dan Pesantren



Salah satu pertanda suatu peradaban adalah aksara. Suatu perangkat rekayasa manusia untuk mengabadikan suatu infomasi dalam simbol-simbol. Dengan aksara peradaban digolongkan bersejarah. Dan disebut masa pra sejarah bagi suatu peradaban yang tak mengenal sejarah.

Nusantara sendiri memasuki masa sejarah diperkirakan pada abad keempat masehi. Hal ini berdasarkan ditemukannya sebuah prasasti (yupa) Kutai, bekas peninggalan kerajaan Kutai Kertanegara. Dalam prasasti tersebut, aksara yang dipergunakan adalah aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Sansekerta.

Lambat laun sistem aksara di Nusantara terus berkembang. Banyak bermunculan aksara-aksara lain yang lebih bersifat lokal. Seperti halnya huruf Jawa, Bugis dan lain sebagainya. Seiring masuknya Islam yang memperkenalkan sistem aksara Hijaiyah (huruf Arab), menambah keanekaragaman sistem aksara yang khas Nusantara, yaitu aksara Pegon.

Aksara Pegon adalah bentuk modifikasi dari sistem aksara Hijaiyah. Huruf yang dipergunakan adalah huruf Hijaiyah, namun terdapat beberapa perubahan guna mencukupi beberapa huruf yang tak ada dalam penggunaan bahasa Arab. Misalnya, dalam bahasa Arab tidak mengenal huruf C, J, G, Nya atau Nga. Huruf-huruf tersebut dalam aksara Pegon menggunakan huruf Hijaiyah yang dimodifikasi dengan penggunaan titik tiga dibawah atau diatasnya.

Perbedaan mendasar lagi dari aksara Pegon dengan aksara Hijaiyah adalah penggunaan huruf vokal. Jika dalam aksara Hijaiyah yang dipergunakan untuk menulis bahasa Arab, penggunaan huruf vokalnya menggunakan harakat. Dimana tata aturan penggunaanya diatur sedemikian rupa dalam ilmu Nahwu dan Shorof. Namun dalam aksara Pegon, sistem vokalisasinya menggunakan huruf Hijaiyah juga. Misalnya, vokal U yang dalam aksara Hijaiyah menggunakan dlommah, tapi dalam aksara Pegon menggunakan huruf Wawu. (Lihat gambar 1).
Gambar I


Pegon sendiri berasal dari bahasa Jawa; pego, artinya adalah menyimpang. Sistem penulisannya yang tidak lazim sebagaimana penulisan huruf Hijaiyah dalam menulis bahasa Arab, maka disebut dinamai Pegon. Menyimpan.

Penggunaan aksara Pegon tidak hanya berlaku di komunitas Jawa saja, tetapi menyebar ke seluruh Nusantara, termasuk beberapa negara di Asia Tenggara. Yang mana pada abad ke-19, semua umat muslim yang berasal dari Asia Tenggara yang berada di Timur Tengah dikenal sebagai komunitas Jawiy. Sehingga penggunaan aksara Pegon pun tersebar ke penjuru Asia Tenggara. Meski dalam penggunaannya menggunakan bahasa yang berbeda. 

Aksara Pegon sendiri memiliki beberapa nama yang berbeda. Misalnya di Malaysia, aksara Pegon disebut dengan aksara Jawi. Sedangkan dalam komunitas yang lebih luas di Asia Tenggara, aksara tersebut disebut dengan aksara Arab-Melayu.

Aksara Pegon berkembang pada tahun 1400-an. Konon yang pertama kali memperkenalkannya adalah Raden Rahmat atau dikenal dengan Sunan Ampel. Tulisan tersebut dikembangkannya di Pesantren Ampedenta, Surabaya. Adapula yang menyebut aksara Pegon diperkenalkan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati. Adapun pendapat yang terakhir menyebut aksara Pegon dikembangkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani (1230-1316 H / 1813-1898 M). Seorang ulama asli Nusantara yang banyak menulis kitab di Mekkah pada abad ke-19 (Amirul Ulum; Huruf Pegon, Pemersatu Ulama Nusantara. NU.Online)

Namun ada beberapa manuskrip yang menunjukkan penggunaan aksara Pegon terjadi jauh sebelum islamisasi di Nusantara secara massif pada masa Walisongo. Sebuah manuskrip yang ditemukan di Terengganu, Malaysia, bernama Batu Bersurat yang dibuat pada tahun 1303 M telah menggunakan aksara Pegon dengan bahasa Melayu. Selain itu juga ditemukan manuskrip berangka tahun 1310 M yang berisi syair-syair keislaman yang ditemukan di Minya’ Tujoh, Aceh yang juga menggunakan aksara Pegon dan bahasa Melayu (Mubarok Yasin. Ensiklopedia Penulis Pesantren. Hal. 11).

Terlepas dari awal mula dan asal-usul penggunaannya, aksara Pegon menyebar keseluruh Nusantara dan menjadi sistem penulisan resmi. Tidak hanya untuk penulisan literatur keagamaan dan pendidikan, namun juga menjadi sistem penulisan beberapa kesultanan Islam yang berada di Nusantara. Begitu pula dalam bidang perdagangan, aksara Pegon dipergunakan pula untuk catatan perjanjian dagang dan lain sebagainya.

Aksara Pegon di Pesantren

Seiring perkembangan zaman, penggunaan aksara Pegon mulai tersingkirkan. Tak banyak lagi masyarakat Nusantara yang menggunakan atau bahkan hanya sekedar mengetahui aksara Pegon. Dari kesedikitan itu, pesantren salaf masih teguh mempertahankan tradisi penggunaan aksara Pegon.

Penggunaan aksara Pegon di pesantren dipergunakan, umumnya, untuk ngesahi kitab kuning. Ngesahi adalah istilah penulisan makna dalam kitab kuning. Dimana aksara Pegon ditulis secara mendatar atau miring diantara baris-baris teks berbahasa Arab pada kitab kuning.

Sistem penulisan aksara Pegon dalam ngesahi kitab kuning memiliki aturan dan simbol-simbol tambahan tersendiri. Sistem gramatikal bahasa Arab yang begitu kental dalam penulisan kitab kuning mempengaruhi penulisan aksara Pegon dalam pemberian maknanya. Pengaruh tersebut memunculkan simbol-simbol tertentu untuk melambangkan susunan gramatikal teks Arab tersebut. Hal ini dipergunakan untuk memberikan pemaknaan yang komprehensif terhadap teks berbahasa Arab tersebut dan juga untuk membantu pembaca mengenali kedudukan gramatikal suatu teks (Lihat Gambar 2).
Gambar 2


Misalnya, dalam memaknai kalimat Alhamdulillahirabbil alamin. Maka dalam pemaknaa ala pesantren akan menggunakan beberapa simbol yang menunjukkan kedudukan irob atau posisi gramatikal kata tersebut dalam bahasa Arab (ilmu nahwu).

Kata alhamdu yang berkedudukan sebagai mubtada itu akan ditandai dengan simbol berupa huruf mim yang dicoretkan tepat dikata alhamdu itu sendiri. Dimana simbol mim itu sendiri dibaca utawi (adapun). Lalu lafad lillahi yang berkedudukan sebagai khobar dalam gramatikal bahasa Arab ditandai huruf kha yang diletakkan diatas lafad tersebut. Simbol kha tersebut dibaca iku (itu). Sedangkan lafad robbil alamin yang berkedudukan sebagai naat ditandai dengan simbol shod yang dibaca kang (yang). (Lihat Gambar 3).
 
Gambar 3: Penerapan simbol dan aksara Pegon
Adapun aksara Pegon yang berisi makna lafad-lafad tersebut ditulis dibawah lafadnya tepat. Misalnya lafad alhamdu setelah dikasih simbol mim sebagai penanda kedudukan gramatikalnya, dibawahnya ditulisi terjemahnya dengan aksara Pegon, baik menggunakan bahasa Jawa atau bahasa lainnya.

Sistem simbolisasi penulisan tersebut tidak ada aturan baku yang mengikat. Ada berbagai simbolisasi yang berlaku diberbagai pesantren yang tersebar di Indonesia. Tetapi sebagian besar hampir sama.

****
Aksara, sebagai buah cipta pemikiran manusia, tentu berlaku hukum selayaknya karya-karya manusia yang lain, tiada yang kekal. Aksara Pallawa yang pertama kali dikenal di Nusantara, kemudian tergantikan aksara Jawa Honocoroko. Begitupula aksara Jawa juga tersaingi dengan aksara Pegon. Dan seiring perubahan zaman, aksara Pegon pun tergerus oleh aksara Latin yang mendunia. Kemusnahan adalah keniscayaan dalam tiap karya manusia, namun tidakkah bangga kita jika karya para leluhur kita itu tetap lestari hingga kelak?

Mari lestarikan aksara Nusantara!

Nb: Tulisan ini dibuat dalam rangka Hari Aksara Internasional

Banyuwangi, 8 September 2015

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

3 komentar:

GARIS MILANG mengatakan...

Assalamualaikum
Bisaka membantu saya dalam hal membaca huruf yang seperti tulisan pegon

GARIS MILANG mengatakan...

Assalamualaikum
Bisaka membantu saya dalam hal membaca huruf yang seperti tulisan pegon

GARIS MILANG mengatakan...

Assalamualaikum
Bisaka membantu saya dalam hal membaca huruf yang seperti tulisan pegon