Renungan Sepeda : Istilah Islam dan Kata - Kata Arab
oleh Ayunk Nitinegara pada 11 Februari 2012 pukul 13:31 ·
ketika nggoes pergi ke kampus banyak papan nama yang mencantumkan kata – kata berbau islam alias pake’ bahasa arab. Mulai dari laundry at-thohiriyah, laundry syariah, warung makan syariah, bank muamalat, dan juga masih banyak lainnya di tempat lain yang menggunakan kata – kata arab. Penggunaan kata – kata arab yang penulis maksud disini bukan penyerapan kata sebagaimana lazimnya penyerepan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, tapi penggunaan bahasa arab ini sebagai sebuah symbol –simbol tertentu.
Menurut penulis, fenomena penggunaan kata – kata islam (dalam hal ini bahasa arab) sekurangnya dipicu dua motivasi. Pertama, ingin menunjukkan jati diri keislamannya. Dengan menggunakan kata – kata dalam bahasa arab yang berbau islam ingin menunjukkan bahwa sang pengguna merupakan orang islam yang sejati. Penggunaan bahasa sebagai penunjukan identitas ini terkadang menimbulkan suatu keeksklusifan bagi penggunanya. Contohnya adalah penggunaan panggilan ikhwan sebagai kata panggilan kepada sesame kelompoknya. Hal ini akan mengesankan ketertutupan (eksklusif) kelompok tersebut terhadap kelompok yang lain.
Kesan lain dari penggunaan kata adalah terkesan memisahkan diri dari bentuk lokalitasnya serta bentuk arogansi. Misalnya, menggunakan kata ta’lim sebagai kata ngaji (mengaji) ataupun kata mushollah daripada kata surau atau langgar. Hal ini seakan –akan melegetemasi bahwa hanya orang – orang yang pergi ta’lim saja yang mempelajari islam dan yang mengaji tidak murni mempelajari islam dan orang yang berada di surau atau langgar tidak bisa dipastikan untuk beribadah kepada Tuhan dibandingkan dengan orang yang berada di mushollah yang pasti melakukan sholat. Benarkah hal ini? Tidak tentunya. Dan jika prasangka – prasangka itu benar, bukankah suatu bentuk arogansi dan pemisahan diri dari tradisi lokalnya?
Bentuk penggunaan bahasa arab terkadang juga menimbulkan ambiguitas antara makna kata dan maksud penggunaan. Misalnya, dalam penggunaan kata sholat. Sebagian orang islam lebih suka menggunakan kata sholat karena merupakan ajaran islam dan mempresentasikan islam yang benar dan seakan-akan mengharamkan penggunaan kata sembayang sebagai kata ganti dari sholat dengan dalih kata sembayang adopsi dari agama lain yang akan mengancam identitas keislaman, jarene!. Padahal jika kita mau meneliti agak dalam penggunaan kata sholat maupun sembayang adalah hal yang sama dari sudut kebahasaan (etimologi). Sembayang merupakan gabungan dari kata sembah yang artinya menyembah dan kata hyang yang artinya Tuhan, maka sembayang adalah menyembah Tuhan sebagaimana yang dimaksud dengan sholat. Dan jika mau jujur, kata sholat sendiri juga bukan meerupakan kata asli dari islam, namun merupakan kata yang digunakan bangsa Arab jahiliyah untuk menunjukkan arti mohon ampun kepada Tuhan. Dengan begitu, bukankah kita mengikuti ajaran jahiliyah? Tidak kan.
Kedua, motivasi penggunaan kata – kata arab ini mengindikasikan bentuk pencitraan demi kepentingan pragmatis. Banyaknya suatu industri, apapun bidang dan bentuknya, menggunkan nama – nama islam hanya ingin menampakkan kesan “islami” – sebagaimana fenomena yang penulis sebut diawal tulisan – sehingga akan menarik minat konsumen muslim. Jika pada prakteknya industri yang menggunakan kata – kata Arab ini juga menerapkan apa yang diatur oleh islam sebagaimana yang tercermin dari namanya maka hal ini sah –sah saja dan bagus karena mempermudah konsumen. Namun apabila antara nama dan praktek itu berbeda apakah tidak disebut munafiq? Misalnya, ada suatu tempat pencucian pakaian (laundry) menggunakan kata – kata arab agar terkesan islami, tapi dalam mencuci pakaian tidak memperhatikan najis-suci. Atau ada bank yang menggunakan embel – embel islami namun pada prakteknya cenderung kearah riba. Bukankah hal seperti ini bisa berbahaya?
Bagi penulis sendiri, penggunaan kata – kata arab untuk mencitrakan keislaman bukanlah hal yang tepat. Karena bagi penulis islam akan tampak islam, dalam artian rahmatan lil alamin, tidak dalam istilah tapi akan tampak dari perbuatan dan sikap. Sebagaimana…… Dengan ini, bukan berarti penulis tidak setuju menggunakan istilah islami atau kata - kata arab dalam rangka dakwah dan memasyarakatkan islam, tapi perlu digaris bawahi bahwa penggunaannya dalam bentuk kewajaran dan sepatutnya agar tidak timbul apa yang penulis kwatirkan diatas dan timbul islam yang terformalkan dalam istilah. Bukankah islam tersebar di Nusantara karena keberhasilan beradaptasi dengan budaya setempat?
Sampai disini tulisan ini, karena tulisan ini adalah hasil perenungan dan diskusi selama mengayuh sepeda ke kampus STAI Ibrahimy II di Panderejo Banyuwangi dari PP. Al-Anwari Kertosari Banyuwangi bersama Uut (Utlub Karom) dan Irul (Choirul Iksan). Akhir kata, ini hanya sebuah renungan pribadi yang berkemungkinan salah dan hanya kebenaran Allah lah yang benar – benar
benar.
2 komentar:
SETUJU..apapun istilahnya yang terpenting sekarang adalah perbuatannya..hehe
ok pak catur
Posting Komentar