MEMAKNAI ULANG KELULUSAN
Yaumul hisab, hari
perhitungan, bagi para pelajar telah datang. Hari yang menjadi penentu
kelulusan masa pendidikan di sekolah akan segera dihelat. Hari yang bertajuk
Ujian Akhir Nasional atau biasa disingkat UAN, UNAS, atau UN ini telah sejak
lama dinanti dan diharapkan, namun juga ditakuti oleh segenap pelaku
pendidikan. Mulai Menteri Pendidikan, Gubenur, Wali Kota/ Bupati, Kepala Dinas
Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru dan terutama Murid dan Wali Murid. Tak ayal
lagi persiapan untuk menyambut UN telah dimulai jauh-jauh hari. Mulai dari
penambahan jam pelajaran, baik masuk lebih pagi atau pulang lebih sore, les dan
melakukan bimbingan belajar diluar jam sekolah pun diakoni oeh para pelajar.
Tak cukup itu, simulasi ujian (try out) dan latihan penyelesaian soal menjadi menu
sehari-hari. Praktis selama semester dua hanya latihan-latihan soal yang
didapat disekolah.
Tak hanya persiapan yang bersifat teknis, persiapan mental
dan spiritual pun tak kalah pentingnya mereka persiapkan untuk menghadapi UN.
Doa bersama digelar dimana-mana, bahkan ada salah satu sekolah yang
menjadikannya menjadi rutinitas mingguan.
Sakralitas dan mandragunanya UN sebagai faktor (ter)utama
kelulusan pelajar juga didukung oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, dana
sebesar 600 milyar rupiah digelontorkan pemerintah pusat untuk menyukseskan
perhelatan akbar ini. Jangan bayangkan betapa banyaknya uang enamratus milyar
tersebut. Jika ditukar dengan uang seribu lembaran mampu menutupi beribu-ribu
kali luas kabupaten Banyuwangi. Atau pun jika uang ribuan tersebut disusun
berjajar maka akan mampu mengelilingi bumi lebih dari 663 kali atau setara
dengan jarak bolak-balik antara bumi dan bulan. Atau jika ingin lebih humanis,
uang ribuan tersebut dibagikan kepada fakir miskin, katakanlah membagi satu
lembar uang seribu membutuhkan waktu sepuluh detik, sedangkan kita bekerja
sehari selama delapan jam dan lima ari dalam sepekan, maka waktu yang
diperlukan untuk menghabiskannya selama 868 tahun 17 hari lebih 160 menit.
Mungkin orang Osing hanya bia bilang, “Byeeeek...”
sambil salto-salto tujuh kali ke belakang.
Terlepas dari beragam polemik dan kontroversi tentang
penyelenggaran ujian nasional, tentunya terdapat niatan mulia untuk menaikkan
standard pendidikan di Indonesia. Namun niatan mulia tersebut banyak tak sampai
ke relung nurani para kompenen yang terlibat penyelenggaraan UN.
Pandangan-pandangan pragmatis untuk meraih kelulusan mengantarkan terhadap
tindak kecurangan yang terkesan sistemik. Mulai kebocoran soal, contek masal,
joki, pembelian kunci jawaban, sampai-sampai kongkalikong antar pihak pengawas
dan pihak sekolah demi “amannya” proses ujian.
Tentunya hal tersebut mencederai tujuan dasar
diselenggarakannya ujian. Ujian yang tujuan dasarnya menguji kemampuan peserta
didik dalam menyerap materi yang diujikan untuk menilai layak ataukah tidak
untuk dinyatakan lulus akhirnya berubah hanya menjadi ajang “sandiwara”
formaliltas bahwa sekolah itu harus diakhiri dengan ujian. Ujian nasional 2013
yang menggunakan dua puluh variasi soal menjadi indikator betapa parahnya
praktek kecurangan pada pelaksanaan UN.
Bukannya tanpa alasan adanya oknum-oknum yang melakukan
kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Banyak faktor yang menyebabkannya.
Salah satunya adalah pengkultusan terhadap kelulusan yang ditandai dengan mendapatkan
ijazah. Bagaimana tidak, ijazah telah menjadi keris empu gandring yang ampuh
untuk menaklukan kerasnya zaman yang disebut-sebut sebagai zaman globalisasi
ini. Hampir semua bidang pekerjaan mulai yang remeh temeh sampai yang berbobot
membutuhkan kartu truf bernama ijazah. Jadi tidak heran jika banyak orang
berlomba-lomba untuk mendapatkan selembar ijazah dengan menggunakan berbagai
cara, baik yang halal maupun yang haram, demi “menjamin” masa depannya.
Paradigma seperti diatas tidak bisa sepenuhnya disalahkan
karena sistem yang berlaku saat ini ebih senang terhadap hal yang sah secara
formal ketimbang bukti nyata. Namun perlu diingat ijazah kelulusan bukanlah
modal utama kesuksesan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Banyak orang yang
berijazah (maaf) yang nganggur, dan
tak sedikit orang yang tak berijazah yang meraih sukses dan kaya raya.
Kelulusan pun bukan menjadi penanda seseorang itu pandai dan yang tidak lulus
itu tidak pintar. Banyak siswa yang berprestasi di sekolahnya justru ketika UN
divonis tidak lulus, sedangkan yang biasa-biasa saja justru mendapatkan
kelulusan dengan nilai yang baik.
Banyak contoh orang sukses tanpa ijazah. Subhash Chandra merupakan salah satu
konglomerat India, pendiri Essel Propack Limited mampu menjadikannya menjadi
orang kaya. Majalah Forbes edisi Maret
2009 menempatkan Chandra di urutan 647 orang terkaya dunia dengan kekayaan
mencapai 1,1 miliar dollar AS. Bahkan Alan Gerry yang juga tidak menamatkan
pendidikan SMA, mampu menjadi biliuner dengan menjadi pengusaha TV kabel yang
sukses.
Di Indonesia juga terdapat orang sukses tanpa ijazah. Sebut saja seorang
motivator dan pengusaha sukses bernama Andrie Wongso yang bergelar SDTT alias
akronim dari Sekolah Dasar Tidak Tamat. Begitu pula dalam sejarah negara Indonesia
yang pernah memiliki Wakil Presiden yang tak berijazah yaitu Adam Malik. Namun
wapres ketiga Republik Indonesia ini jangan diragukan agi dalam kemampuan
politik dan diplomasinya.
Yang menjadi titik tekan bukan pada penting atau tidaknya
nilai kelulusan ataupun ijazah, tapi bagaimana memandang kelulusan maupun
ijazah sebagai suatu yang porposional. Pengkultusan terhadap kelulusan dan
ijazah yang membabi buta dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli baik
buruk itulah yang menjadi fokus kajian ini. Selamanya ijazah dan kelulusan itu
penting dan sangat berguna dalam kehidupan yang menuntut formalitas pendidikan
ini.
Kisah Ajib Rosidi, seorang sastrawan kawak Indonesia, bisa
menjadi renungan bersama. Beliau memutuskan tidak mengikuti ujian akhir semasa
SMA dikarenakan tersebar isu bahwa telah terjadi kecurangan dengan membocorkan
soal-soal ujian. Agar tidak terkena imbas dari kecurangan tersebut dan menjaga
“ke-syubhat-an” kelulusannya, beliau mogok ujian. Lalu beliau banyak belajar
dan membaca sebagai upaya tandingan bahwa tanpa ijazah dan kelulusan mampu
menjadi orang sukses. Akhirnya, beliau menjadi dosen tamu di beberapa perguruan
tinggi di negara Jepang dengan mengajar bahasa Indonesia. Beliau juga mengarang
tidak kurang dari lima puluh buku.
Dari kisah ini
semakin jelas bahwa kemampuan lah yang menjadi faktor utama kesuksesan.
Jadi tak perlu menghalalkan cara-cara
curang untuk meraih kelulusan. Banyak cara untuk meraih kesuksesan. Caranya
tergantung seberapa besar kemauan kita untuk belajar dan berjuang. Nabi
Muhammad bersabda pada Siti Aisyah: “Ajruki
alaa qodri nasbik- ganjaran untukmu tergantung seberapa usahamu.”
Jika kita belajar dan berjuang secara sungguh-sungguh kita
akan eraih kelulusan dan kesuksesan.
Selamat belajar dan berjuang, selamat berujian tanpa
kecurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar