menu

Senin, 05 Oktober 2015

Buku Dalam Hidup Tolchah Mansoer



Prof. DR. KH. Tolchah Mansoer, MH


“Karena aku melarat, aku tidak bisa kemana-mana. Pergiku hanya dalam buku-buku. Dengan dan karena buku-buku itu aku bisa mengembara ke seluruh dunia, bahkan ke dunia silam.”

Kutipan kata-kata Bung Karno tersebut ditulis oleh Prof. Dr. KH. Tolchah Mansoer di suratnya kepada Mahbub Junaidi tertanggal 29 Juni 1979. Dari kutipan tersebut seolah menegaskan bagaimana kegemaran Tolchah terhadap buku. Sosok yang menjadi ketua umum pertama Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama itu begitu akrab dengan dunia membaca sejak kecil hingga diakhir hayatnya.

“Bacaannya lintas batas, seperti tampak dari rujukan dalam berbagai tulisannya. Ingatannya tajam. Memang, kalau Abah sedang membaca, baik duduk maupun berbaring, Abah hampir tidak bisa diganggu.” Begitu kesaksian Fajrul Falakh tentang kegemaran membaca Abahnya, Tolchah Mansoer, sebagaimana tertulis dalam kata pengantar buku, KH. Tolchan Masnsoer, Biografi Profesor NU yang Terlupakan.

Keakraban Tolchah dengan dunia bacaan terlihat sejak kecil. Ia melahap buku-buku yang dimiliki oleh kakaknya, Usman Mansoer. Pria kelahiran 10 September 1930 di Malang tersebut, menjadikan buku sebagai “tempat bermain”. Tumbuh di perkampungan padat penduduk, menjadikan Tolchah kecil tak memiliki tempat bermain yang representatif. Maka, lembaran-lembaran buku disulapnya menjadi tempat bermain.

Kegemarannya membaca ditunjang dengan kemampuannya dalam berbagai bahasa asing. Terhitung tiga bahasa asing yang ia kuasai, mulai dari bahasa Inggris, Arab, sampai Belanda. Dengan kemampuan bahasa asing yang cukup beragam tersebut bacaan Tolchah pun beragam.

Penguasaan bahasa Arabnya, ia pelajari sejak di Sekolah Rakyat Muallimin NU Malang pada tahun 1937. Begitu pula dengan bahasa Belanda, Tolchah awal kali mempelajarinya dari sekolah tersebut. Tak heran, kala itu, NU melalui prakarsa KH. Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) menggagas pengenalan bahasa Belanda di pesantren dan kalangan Nahdlatul Ulama. Upaya ini tak lain sebagai upaya agar umat Islam Indonesia tidak dibodohi oleh Belanda dengan bahasa asingnya tersebut. Dimana penguasaan Tolchah terhadap bahasa Belanda tersebut banyak membantunya dalam menekuni keilmuwan hukum tata negara semasa kuliahnya kelak.

Semasa hidupnya, Tolchah tak pernah mengenyam dunia pendidikan pesantren. Saat masih kecil, ia menolak untuk dimasukkan pesantren. Tetapi meski tidak pernah nyantri, Tolchah sangat akrab dengan dunia literasi pesantren (kitab kuning). Interaksinya dengan dunia pesantren sebatas ngaji pasanan, yaitu mengaji khusus pada bulan Ramadhan ke beberapa pesantren. Diantaranya adalah Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asyari dan Pesantren Al-Hidayah, Lasem yang diasuh oleh KH. Ma’sum Lasem.

Penguasaan Tolchah pada kitab kuning tidak lain dikarenakan ia telah menguasai ilmu nahwu, shorof dan mantiq ketika di Mualimin NU dahulu. Kemampuannya dalam bahasa Arab ini terlihat dari penguasaan dan hafalnya akan Kitab Alfiyah, sebuah kitab gramatika bahasa Arab tingkat tinggi yang harus dikuasai di pesantren.

Kemampuannya dalam bahasa Arab, kemudian dilanjutkan Tolchah dengan mempelajari secara otodidak kitab-kitab klasik khas pesantren. Sebagaimana pengakuan Profesor Machasin, Tolchah begitu gamblangnya mengaji dan menjelaskan kitab-kitab klasik tersebut dikediamannya. Biasanya kitab yang dikaji di kediaman Tolchah di Jalan Colombo, nomor 21 Yogyakarta itu, sebagaimana pengakuan Machasin, adalah kitab Tajridus Sholih, Riyadus Sholihin, al-Jauharul Maknun, Ar-Rud, Alfiyah Ibnu Malik, Tafsir Jalalain, Bidayatul Mujtahid dan beberapa kitab lain. Ataupun kitab-kitab yang lebih ringan seperti Jurumumiyah, Imrithy, dan Fathul Qorib kepada anak-anaknya.

Ada kisah menarik tentang penguasaan Tolchah akan kitab-kitab klasik khas pesantren tersebut. Suatu ketika, ia bersilaturrahmi kepada kakek mertuanya, KH. Abdul Wahab Chasbullah. Pada saat itu, sang kakek mertuanya merupakan salah seorang pengacara atau dikenal kala itu dengan sebutan pokrol.

Ia menyampaikan kepada Tolchah, “Buat apa kalua hanya sekedar sarjana hukum; aku sendiri tidak sekolah hukum pun bisa menjadi pengacara. Tetapi sebaliknya, mampukah kau menjadi seorang alim dalam penguasaan ilmu agama (menjadi kiai) tanpa harus belajar di pondok pesantren?”

“Tantangan” dari kakek-mertuanya tersebut menjadi cambuk bagi Tolchah untuk menekuni lebih dalam kitab-kitab kuning khas pesantren. Sebagai pembuktian meski tak menempuh studi di pesantren pun ia bisa sealim para lulusan pesantren. 

Bukti penguasaan Tolchah terhadap kitab kuning juga terlihat pada karya tulisnya yang berupa terjemah kitab kuning. Karya terjemah beliau diantaranya adalah Alfiyah Ibnu Malik dan Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh yang diterjemahkan dari kitab Ushul Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf. Adapula Sajak-Sajak Burdah Imam Muhammad Al-Bushiri yang merupakan terjemah dari Qasidah Burdah-nya Syekh Bushiri.

Dalam dunia penerjemahan kitab-kitab klasik, beliau juga mendorong para penulis muda lain untuk aktif menerjemahkan. Salah satu diantaranya adalah karya Ali As’ad yang menerjemahkan kitab fiqih klasik, Fathul Muin. Kala itu, upaya penerjemahan yang dilakukan oleh Ali As’ad banyak ditentang oleh kalangan pesantren, termasuk Pesantren Lirboyo Kediri danPesantren Tegalrejo, Magelang. Penolakan tersebut didasarkan atas kekhawatiran kemalasan para santri untuk mempelajari bahasa Arab karena ada terjemahannya. Namun, Tolchah Mansoer terus membela dan memotivasi Ali As’ad untuk menterjemahkannya. Dan ia melakukan bimbingan kepada Ali As’ad ditengah kesibukkannya menjadi anggota Badan Pemerintahan (BPH) Yogyakarta.

Selain karya terjemah, Tolchah Mansoer juga menulis buku tentang persoalan keagamaan. Diantaranya berjudul Pokok-Pokok Ahlusunnah wal Jama’ah (1974), Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tiak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (1982), Ushul Fiqh (1995).

Selain dalam bidang keagamaan, Tolchah Mansoer yang pada dasarnya adalah pakar hukum tatanegara juga banyak menulis buku yang membahas bidang keilmuwannya tersebut. Diantaranya adalah Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legeslatif Negara Indonesia (1983), Sumber Hukum dan Urutan Tata Tertib Hukum (1979), Peranan Umat Islam Dalam Proses Pelaksanaan Pemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (1971), Hukum, Negara, Masyarakat, Hak Asasi Manusia dan Islam (1979),  Demokrasi Sepanjang Konstitusi (1972), Rakyat, Kekuasaan dan Pemerintah (1981), Kedudukan Penetapan Presiden Pada Zaman Orde Baru (1971), Teks Resmi dan Beberapa Soal Tentang UUD 1945 (1977), Hukum Tatanegara Sesudah Pemilihan Umum 1971 (1978), Konsep Dasar Islam Tentang Negara (1977), Beberapa Soal Tentang Undang-Undang Dasar 1945 (1970), Kepercayaan Menurut Undang-Undang Dasar 1945: Hasil Keputusan Senat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (1971), dan Masalah Referendum (1984).

Kepakaran Tolchah Mansoer dalam bidang hukum tata negara sekaligus dalam kajian keislaman menjadikannya sebagai pemikir yang unik. Sebagaimana yang diutarakan oleh Profesor Jimly Asshiddiqy, “Pemikiran dia [Tolchah] di satu sisi memberikan landasan dan jalan bagi aktualisasi hukum Islam dibidang tata negara, dan di sisi yang lain memperkaya perkembangan hukum tata negara. Kemampuan tersebut saat ini sudah sangat jarang dimiliki oleh ahli hukum tata negara kita.”

Diluar bidang keagamaan dan tata negara, Tolchah juga menelurkan karyanya dibidang yang lain. Sedjarah Perjuangan IPNU dari Masa ke Masa yang ditulisnya dengan beberapa rekannya semasa menjadi ketua umum IPNU tahun 1964 dan Progres Masa Depan Mahasiswa Mahasiswa IAIN Ditinjau dari Segi Sosial dan Politik semasa menjadi dosen.

Tak hanya berupa buku, Tolchah Mansoer juga aktif menulis artikel di beberapa media, baik lokal maupun nasional. Beberapa media yang sempat memuat tulisannya antara lain: Bangkit Yogyakarta), Aula (Surabaya), Gema (Yogyakarta), Masakini (Yogyakarta), Pelita (Jakarta), dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta).

Buku, baik dibaca, ditulis maupun menulis tentangnya, telah menjadi bagian dari kehidupan sang pendiri IPNU ini. Suatu teladan yang patut diikuti oleh semua generasi, wabil khusus bagi kader-kader IPNU. Begitu.

Langkah panjangku
Telah lama kuukur
Aku tak tahu
Berapa lagikah.
Hari-hariku telah berlalu
Dan berapa hari lagikah
Sudah dekatkah
Langkahku akan berhenti
Dan apakah hari-hariku
Hingga hari ini.

(Puisi Tolchan Mansoer)

Ayung Notonegoro,  Penggiat Literasi


Tidak ada komentar: