Prof. DR. KH. Tolchah Mansoer, MH |
“Karena
aku melarat, aku tidak bisa kemana-mana. Pergiku hanya dalam buku-buku. Dengan
dan karena buku-buku itu aku bisa mengembara ke seluruh dunia, bahkan ke dunia
silam.”
Kutipan kata-kata Bung
Karno tersebut ditulis oleh Prof. Dr. KH. Tolchah Mansoer di suratnya kepada
Mahbub Junaidi tertanggal 29 Juni 1979. Dari kutipan tersebut seolah menegaskan
bagaimana kegemaran Tolchah terhadap buku. Sosok yang menjadi ketua umum
pertama Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama itu begitu akrab dengan
dunia membaca sejak kecil hingga diakhir hayatnya.
“Bacaannya lintas
batas, seperti tampak dari rujukan dalam berbagai tulisannya. Ingatannya tajam.
Memang, kalau Abah sedang membaca, baik duduk maupun berbaring, Abah hampir tidak
bisa diganggu.” Begitu kesaksian Fajrul Falakh tentang kegemaran membaca
Abahnya, Tolchah Mansoer, sebagaimana tertulis dalam kata pengantar buku, KH. Tolchan Masnsoer, Biografi Profesor NU
yang Terlupakan.
Keakraban Tolchah
dengan dunia bacaan terlihat sejak kecil. Ia melahap buku-buku yang dimiliki
oleh kakaknya, Usman Mansoer. Pria kelahiran 10 September 1930 di Malang
tersebut, menjadikan buku sebagai “tempat bermain”. Tumbuh di perkampungan
padat penduduk, menjadikan Tolchah kecil tak memiliki tempat bermain yang
representatif. Maka, lembaran-lembaran buku disulapnya menjadi tempat bermain.
Kegemarannya membaca
ditunjang dengan kemampuannya dalam berbagai bahasa asing. Terhitung tiga
bahasa asing yang ia kuasai, mulai dari bahasa Inggris, Arab, sampai Belanda.
Dengan kemampuan bahasa asing yang cukup beragam tersebut bacaan Tolchah pun
beragam.
Penguasaan bahasa
Arabnya, ia pelajari sejak di Sekolah Rakyat Muallimin NU Malang pada tahun
1937. Begitu pula dengan bahasa Belanda, Tolchah awal kali mempelajarinya dari
sekolah tersebut. Tak heran, kala itu, NU melalui prakarsa KH. Wahid Hasyim
(ayahanda Gus Dur) menggagas pengenalan bahasa Belanda di pesantren dan
kalangan Nahdlatul Ulama. Upaya ini tak lain sebagai upaya agar umat Islam
Indonesia tidak dibodohi oleh Belanda dengan bahasa asingnya tersebut. Dimana
penguasaan Tolchah terhadap bahasa Belanda tersebut banyak membantunya dalam
menekuni keilmuwan hukum tata negara semasa kuliahnya kelak.
Semasa hidupnya,
Tolchah tak pernah mengenyam dunia pendidikan pesantren. Saat masih kecil, ia
menolak untuk dimasukkan pesantren. Tetapi meski tidak pernah nyantri, Tolchah sangat akrab dengan
dunia literasi pesantren (kitab kuning). Interaksinya dengan dunia pesantren
sebatas ngaji pasanan, yaitu mengaji
khusus pada bulan Ramadhan ke beberapa pesantren. Diantaranya adalah Pesantren
Tebuireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asyari dan Pesantren Al-Hidayah, Lasem
yang diasuh oleh KH. Ma’sum Lasem.
Penguasaan Tolchah pada
kitab kuning tidak lain dikarenakan ia telah menguasai ilmu nahwu, shorof dan mantiq ketika di Mualimin NU dahulu. Kemampuannya dalam bahasa Arab
ini terlihat dari penguasaan dan hafalnya akan Kitab Alfiyah, sebuah kitab gramatika bahasa Arab tingkat tinggi yang
harus dikuasai di pesantren.
Kemampuannya dalam
bahasa Arab, kemudian dilanjutkan Tolchah dengan mempelajari secara otodidak
kitab-kitab klasik khas pesantren. Sebagaimana pengakuan Profesor Machasin,
Tolchah begitu gamblangnya mengaji dan menjelaskan kitab-kitab klasik tersebut
dikediamannya. Biasanya kitab yang dikaji di kediaman Tolchah di Jalan Colombo,
nomor 21 Yogyakarta itu, sebagaimana pengakuan Machasin, adalah kitab Tajridus Sholih, Riyadus Sholihin,
al-Jauharul Maknun, Ar-Rud, Alfiyah Ibnu Malik, Tafsir Jalalain, Bidayatul
Mujtahid dan beberapa kitab lain. Ataupun kitab-kitab yang lebih ringan
seperti Jurumumiyah, Imrithy, dan Fathul Qorib kepada anak-anaknya.
Ada kisah menarik
tentang penguasaan Tolchah akan kitab-kitab klasik khas pesantren tersebut.
Suatu ketika, ia bersilaturrahmi kepada kakek mertuanya, KH. Abdul Wahab
Chasbullah. Pada saat itu, sang kakek mertuanya merupakan salah seorang
pengacara atau dikenal kala itu dengan sebutan pokrol.
Ia menyampaikan kepada
Tolchah, “Buat apa kalua hanya sekedar sarjana hukum; aku sendiri tidak sekolah
hukum pun bisa menjadi pengacara. Tetapi sebaliknya, mampukah kau menjadi
seorang alim dalam penguasaan ilmu agama (menjadi kiai) tanpa harus belajar di
pondok pesantren?”
“Tantangan” dari
kakek-mertuanya tersebut menjadi cambuk bagi Tolchah untuk menekuni lebih dalam
kitab-kitab kuning khas pesantren. Sebagai pembuktian meski tak menempuh studi
di pesantren pun ia bisa sealim para lulusan pesantren.
Bukti penguasaan
Tolchah terhadap kitab kuning juga terlihat pada karya tulisnya yang berupa terjemah
kitab kuning. Karya terjemah beliau diantaranya adalah Alfiyah Ibnu Malik dan Kaidah-Kaidah
Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh yang diterjemahkan dari kitab Ushul Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf.
Adapula Sajak-Sajak Burdah Imam Muhammad
Al-Bushiri yang merupakan terjemah dari Qasidah
Burdah-nya Syekh Bushiri.
Dalam dunia
penerjemahan kitab-kitab klasik, beliau juga mendorong para penulis muda lain
untuk aktif menerjemahkan. Salah satu diantaranya adalah karya Ali As’ad yang
menerjemahkan kitab fiqih klasik, Fathul
Muin. Kala itu, upaya penerjemahan yang dilakukan oleh Ali As’ad banyak
ditentang oleh kalangan pesantren, termasuk Pesantren Lirboyo Kediri
danPesantren Tegalrejo, Magelang. Penolakan tersebut didasarkan atas
kekhawatiran kemalasan para santri untuk mempelajari bahasa Arab karena ada
terjemahannya. Namun, Tolchah Mansoer terus membela dan memotivasi Ali As’ad
untuk menterjemahkannya. Dan ia melakukan bimbingan kepada Ali As’ad ditengah
kesibukkannya menjadi anggota Badan Pemerintahan (BPH) Yogyakarta.
Selain karya terjemah,
Tolchah Mansoer juga menulis buku tentang persoalan keagamaan. Diantaranya
berjudul Pokok-Pokok Ahlusunnah wal
Jama’ah (1974), Masalah-Masalah
Keagamaan Yang Tiak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (1982), Ushul Fiqh (1995).
Selain dalam bidang
keagamaan, Tolchah Mansoer yang pada dasarnya adalah pakar hukum tatanegara
juga banyak menulis buku yang membahas bidang keilmuwannya tersebut.
Diantaranya adalah Pembahasan Beberapa
Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legeslatif Negara Indonesia (1983),
Sumber Hukum dan Urutan Tata Tertib Hukum
(1979), Peranan Umat Islam Dalam Proses
Pelaksanaan Pemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (1971), Hukum, Negara, Masyarakat, Hak Asasi Manusia
dan Islam (1979), Demokrasi Sepanjang Konstitusi (1972), Rakyat, Kekuasaan dan Pemerintah (1981),
Kedudukan Penetapan Presiden Pada Zaman
Orde Baru (1971), Teks Resmi dan
Beberapa Soal Tentang UUD 1945 (1977), Hukum
Tatanegara Sesudah Pemilihan Umum 1971 (1978), Konsep Dasar Islam Tentang Negara (1977), Beberapa Soal Tentang Undang-Undang Dasar 1945 (1970), Kepercayaan Menurut Undang-Undang Dasar
1945: Hasil Keputusan Senat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (1971),
dan Masalah Referendum (1984).
Kepakaran Tolchah
Mansoer dalam bidang hukum tata negara sekaligus dalam kajian keislaman
menjadikannya sebagai pemikir yang unik. Sebagaimana yang diutarakan oleh
Profesor Jimly Asshiddiqy, “Pemikiran dia [Tolchah] di satu sisi memberikan
landasan dan jalan bagi aktualisasi hukum Islam dibidang tata negara, dan di
sisi yang lain memperkaya perkembangan hukum tata negara. Kemampuan tersebut
saat ini sudah sangat jarang dimiliki oleh ahli hukum tata negara kita.”
Diluar bidang keagamaan
dan tata negara, Tolchah juga menelurkan karyanya dibidang yang lain. Sedjarah Perjuangan IPNU dari Masa ke Masa
yang ditulisnya dengan beberapa rekannya semasa menjadi ketua umum IPNU tahun
1964 dan Progres Masa Depan Mahasiswa
Mahasiswa IAIN Ditinjau dari Segi Sosial dan Politik semasa menjadi dosen.
Tak hanya berupa buku,
Tolchah Mansoer juga aktif menulis artikel di beberapa media, baik lokal maupun
nasional. Beberapa media yang sempat memuat tulisannya antara lain: Bangkit Yogyakarta), Aula (Surabaya), Gema (Yogyakarta), Masakini (Yogyakarta), Pelita (Jakarta), dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta).
Buku, baik dibaca,
ditulis maupun menulis tentangnya, telah menjadi bagian dari kehidupan sang
pendiri IPNU ini. Suatu teladan yang patut diikuti oleh semua generasi, wabil khusus bagi kader-kader IPNU. Begitu.
Langkah
panjangku
Telah
lama kuukur
Aku
tak tahu
Berapa
lagikah.
Hari-hariku
telah berlalu
Dan
berapa hari lagikah
Sudah
dekatkah
Langkahku
akan berhenti
Dan
apakah hari-hariku
Hingga
hari ini.
(Puisi Tolchan Mansoer)
Ayung
Notonegoro, Penggiat
Literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar