menu

Jumat, 16 Oktober 2015

Naskah Militer Orang-Orang Pesantren


Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Salah satu perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terjadi pada periode 1825-1830. Perlawanan yang dikenal dengan nama Perang Jawa ini berlangsung sengit dibawah kepemimpinan seorang santri cum bangsawan, Pangeran Diponegoro (1785-1855). Peperangan yang juga dikenal dengan sebutan Perang Diponegoro ini, menurut MC. Ricklef , menewaskan penjajah sebanyak 8.000 pasukan berkebangsaan Eropa dan 7.000 berkebangsaan Indonesia. Sedangkan orang Jawa sedikitnya 200.000 orang yang tewas dalam pertempuran selama lima tahun tersebut.

Perang Diponegoro yang berlangsung sengit ini tidak terlepas dari peranan pesantren. Pangeran Diponegoro sendiri tumbuh dilingkungan pesantren di daerah Tegalrejo, Yogyakarta. Begitu pula para bawahan dan pasukannya kebanyakan adalah orang-orang pesantren. Sebut saja Kyai Mojo, ulama asal Surakarta, Sentot Ali Basya, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdus Salam Demak, Jombang, Kyai Hasan Besari, Tegalsari Ponorogo dan sebagainya.

Kontribusi kalangan pesantren pada Perang Jawa tersebut tidak hanya sebatas pada sumber daya manusianya saja. Namun, pada segi persenjataan dan kemampuan militer juga disokong oleh orang-orang pesantren. Peter Carey dalam bukunya The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Older in Java, 1785-1855 menulis demikian:

Although captured Dutch suplies were extensively used, Dipanegara also obtained propellants from local villages in the districts to the south and west of Yogya. These included Samen in the Pandhak sub-district near Bantul to the south of the sultan’s capital, Into-into on the Praga River, and the villages of Geger (Samigaluh) and Deksa in Kulon Praga, an area where tin cannonballs were also cast for the prince’s artillery. Experiments were even made in the Menoreh district with the manufacture of bullets made out of tightly packed rush matting, the materials presumably being obtained from the neighbouring pradikan (tex-free) villages of Pesantren and Bendha in southern Kedhu which specialised in mat weaving. The former in particular was mentioned on the Dutch reports as a staunch centre of support for te prince during the war. [hal 609-10]

Meski perlengkapan persenjataan Belanda banyak yang dirampas dan dimanfaatkan untuk keperluan perang, Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari desa-desa di berbagai kabupaten bagian selatan dan barat Yogyakarta. Termasuk diantaranya adalah dari Samen dan Kawedanan Pandak dekat Bantul arah selatan Yogyakarta, Into-into di Kali Progo, dan desa-desa Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulon Progo. Daerah-daerah ini juga menghasilkan peluru meriam dari timah untuk keperluan artileri  Diponegoro. Bahkan beberapa percobaan dilakukan di Menoreh untuk membuat peluru dengan gelagah anyaman yang sangat rapat; dan bahan-bahan itu kemungkinan diperoleh dari desa-desa perdikan (bebas pajak) Pesantren dan Bendo di Kedu selatan yang khusus menghasilkan anyaman tikar. Desa-desa pesantren inilah yang secara spesifik disebut-sebut dalam sumber-sumber Belanda sebagai salah satu basis dukungan kuat terhadap Dipanegara.

Dari uraian diatas, menunjukkan kemapuan orang-orang pesantren dalam penguasaan senjata api. Tidak hanya sebatas bambu runcing sebagaimana seringkali dicitrakan. Lantas yang menjadi pertanyaannya, darimanakah mereka menguasai teknik-teknik kemiliteran dan persenjataan tersebut?
Pater Carey mengungkapkan bahwa kemampuan militer dan teknologi persenjataan tersebut diadaptasi dari Turki Usmaniyah. Hal ini tampak dari adanya utusan khusus. Haji Badarudin, salah seorang penasehat khusus strategi perang Pangeran Diponegoro, disebut-sebut menimba ilmu militernya pada Kesultanan Turki Usmaniyah. Tak dapat dipungkiri, kontak antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah adalah hubungan yang diawali dari kalangan pesantren yang menuntut ilmu di Timur Tengah yang telah terjalin sejak abad ke-15.

Ahamd Baso dalam Pesantren Studies 2a menyebutkan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah dalam bidang militer bahkan terjadi jauh sebelum Perang Diponegoro berkobar. Hal ini dengan adanya teks-teks yang berisikan tentang ilmu kemiliteran yang berasal dari Kesultanan Turki Usmaniyah pada abad ke-18 dan 19. Salah satunya adalah karya Haji Bankatasi, seorang komandan militer Usmani asal Anatolia, yang berisi tentang berbagai soal imu perang dan teknik persenjataan.

Nama Haji Bankatasi sendiri merupakan penyebutan dengan ejaan Bugis-Makasar. Nama aslinya adalah Haji Bektash yang juga pendiri tarekat Bektashi yang merupakan guru spritual pasukan Janissaries Turki Usmani. Naskah karya Haji Bankatasi yang dikaji oleh orang-orang Bugis-Makasar tersebut kemudian dipelajari pula oleh orang-orang Aceh.

Keterkaitan Pangeran Diponegoro dengan Kesultanan Turki Usmaniyah juga tampak pada penamaan pasukannya. Penamaan Prajurit Bulkiyah, suatu pasukan berani mati dibawah pimpinan Haji Usman Alibasya dan Haji Abdulkadir, menyerupai penamaan pada pasukan Turki Usmani.

Naskah-naskah kemiliteran yang tersebar di pesantren Nusantara juga ditemukan pada abad ke-17. Naskah tersebut disimpan di London, Inggris, yang berupa risalah dalam bahasa Bugis dan Makasar tentang teknik persenjataan. Menurut Ahmad Baso, penyalin teks tersebut dilakukan oleh kalangan pesantren di Bontoala, Makasar. 

Naskah tersebut diadaptasi oleh para santri Bontoala dari naskah berbahasa Spanyol yang ditulis oleh komandan artileri Raja Kasatela (Spanyol), Andarae Ri Monyona (ejaan Bugis-Makasar). Terjemahan bahasa Bugis dari bahasa Makasar dibuat pada tahun 1635 dan pada 1652.

Selain itu adapula naskah tentang ilmu militer yang berasal dari kalangan pesantren. Salah satunya adalah naskah pendek dengan kode Lor 5738 bis yang tersimpan di Perpustakaan Lieden, Belanda. Naskah dalam bahasa Melayu tersebut berjudul Membedil  (menembak). Tentu isinya adalah tentang tata cara penggunaan senjata yang telah berkembang kala itu. Naskah tersebut disita oleh pasukan Belanda dari seorang ulama Banten yang tak disebutkan namanya yang dituduh telah melakukan agitasi melawan Belanda. Naskah-naskah tersebut ditemukan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1890 di Serang. Kemudian, ia kirimkan ke Belanda pada 28 Juli 1906.

Naskah-naskah tersebut menandakan bahwa pesantren kala itu tidak hanya sebagai pusat pendidikan keagamaan belaka. Namun pesantren menjadi universitas bagi bangsa Indonesia untuk menggerakkan keilmuwan dan peradaban bangsa dalam berbagai bidang, duniawi maupun ukhrawi.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Tidak ada komentar: