Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro |
Salah satu perlawanan
bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terjadi pada periode 1825-1830. Perlawanan
yang dikenal dengan nama Perang Jawa ini berlangsung sengit dibawah kepemimpinan
seorang santri cum bangsawan,
Pangeran Diponegoro (1785-1855). Peperangan yang juga dikenal dengan sebutan
Perang Diponegoro ini, menurut MC. Ricklef , menewaskan penjajah sebanyak 8.000
pasukan berkebangsaan Eropa dan 7.000 berkebangsaan Indonesia. Sedangkan orang
Jawa sedikitnya 200.000 orang yang tewas dalam pertempuran selama lima tahun
tersebut.
Perang Diponegoro yang
berlangsung sengit ini tidak terlepas dari peranan pesantren. Pangeran Diponegoro
sendiri tumbuh dilingkungan pesantren di daerah Tegalrejo, Yogyakarta. Begitu pula
para bawahan dan pasukannya kebanyakan adalah orang-orang pesantren. Sebut saja
Kyai Mojo, ulama asal Surakarta, Sentot Ali Basya, Kyai Umar Semarang, Kyai
Abdus Salam Demak, Jombang, Kyai Hasan Besari, Tegalsari Ponorogo dan
sebagainya.
Kontribusi kalangan
pesantren pada Perang Jawa tersebut tidak hanya sebatas pada sumber daya
manusianya saja. Namun, pada segi persenjataan dan kemampuan militer juga
disokong oleh orang-orang pesantren. Peter Carey dalam bukunya The Power of Prophecy: Prince Dipanegara
and the End of an Old Older in Java, 1785-1855 menulis demikian:
Although captured Dutch suplies
were extensively used, Dipanegara also obtained propellants from local villages
in the districts to the south and west of Yogya. These included Samen in the
Pandhak sub-district near Bantul to the south of the sultan’s capital, Into-into
on the Praga River, and the villages of Geger (Samigaluh) and Deksa in Kulon
Praga, an area where tin cannonballs were also cast for the prince’s artillery.
Experiments were even made in the Menoreh district with the manufacture of
bullets made out of tightly packed rush matting, the materials presumably being
obtained from the neighbouring pradikan (tex-free) villages of Pesantren and
Bendha in southern Kedhu which specialised in mat weaving. The former in
particular was mentioned on the Dutch reports as a staunch centre of support
for te prince during the war. [hal 609-10]
Meski
perlengkapan persenjataan Belanda banyak yang dirampas dan dimanfaatkan untuk
keperluan perang, Diponegoro juga mendapatkan mesiu dari desa-desa di berbagai
kabupaten bagian selatan dan barat Yogyakarta. Termasuk diantaranya adalah dari
Samen dan Kawedanan Pandak dekat Bantul arah selatan Yogyakarta, Into-into di Kali Progo, dan desa-desa
Geger (Samigaluh) serta Dekso di Kulon Progo. Daerah-daerah ini juga
menghasilkan peluru meriam dari timah untuk keperluan artileri Diponegoro. Bahkan beberapa percobaan
dilakukan di Menoreh untuk membuat peluru dengan gelagah anyaman yang sangat
rapat; dan bahan-bahan itu kemungkinan diperoleh dari desa-desa perdikan (bebas
pajak) Pesantren dan Bendo di Kedu selatan yang khusus menghasilkan anyaman
tikar. Desa-desa pesantren inilah yang secara spesifik disebut-sebut dalam
sumber-sumber Belanda sebagai salah satu basis dukungan kuat terhadap
Dipanegara.
Dari uraian diatas,
menunjukkan kemapuan orang-orang pesantren dalam penguasaan senjata api. Tidak hanya
sebatas bambu runcing sebagaimana seringkali dicitrakan. Lantas yang menjadi
pertanyaannya, darimanakah mereka menguasai teknik-teknik kemiliteran dan
persenjataan tersebut?
Pater Carey
mengungkapkan bahwa kemampuan militer dan teknologi persenjataan tersebut
diadaptasi dari Turki Usmaniyah. Hal ini tampak dari adanya utusan khusus. Haji
Badarudin, salah seorang penasehat khusus strategi perang Pangeran Diponegoro,
disebut-sebut menimba ilmu militernya pada Kesultanan Turki Usmaniyah. Tak dapat
dipungkiri, kontak antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah adalah
hubungan yang diawali dari kalangan pesantren yang menuntut ilmu di Timur
Tengah yang telah terjalin sejak abad ke-15.
Ahamd Baso dalam Pesantren Studies 2a menyebutkan bahwa
hubungan antara Nusantara dengan Kesultanan Turki Usmaniyah dalam bidang
militer bahkan terjadi jauh sebelum Perang Diponegoro berkobar. Hal ini dengan
adanya teks-teks yang berisikan tentang ilmu kemiliteran yang berasal dari
Kesultanan Turki Usmaniyah pada abad ke-18 dan 19. Salah satunya adalah karya
Haji Bankatasi, seorang komandan militer Usmani asal Anatolia, yang berisi
tentang berbagai soal imu perang dan teknik persenjataan.
Nama Haji Bankatasi
sendiri merupakan penyebutan dengan ejaan Bugis-Makasar. Nama aslinya adalah
Haji Bektash yang juga pendiri tarekat Bektashi yang merupakan guru spritual
pasukan Janissaries Turki Usmani. Naskah karya Haji Bankatasi yang dikaji oleh
orang-orang Bugis-Makasar tersebut kemudian dipelajari pula oleh orang-orang
Aceh.
Keterkaitan Pangeran
Diponegoro dengan Kesultanan Turki Usmaniyah juga tampak pada penamaan
pasukannya. Penamaan Prajurit Bulkiyah,
suatu pasukan berani mati dibawah pimpinan Haji Usman Alibasya dan Haji
Abdulkadir, menyerupai penamaan pada pasukan Turki Usmani.
Naskah-naskah
kemiliteran yang tersebar di pesantren Nusantara juga ditemukan pada abad
ke-17. Naskah tersebut disimpan di London, Inggris, yang berupa risalah dalam
bahasa Bugis dan Makasar tentang teknik persenjataan. Menurut Ahmad Baso,
penyalin teks tersebut dilakukan oleh kalangan pesantren di Bontoala, Makasar.
Naskah tersebut
diadaptasi oleh para santri Bontoala dari naskah berbahasa Spanyol yang ditulis
oleh komandan artileri Raja Kasatela
(Spanyol), Andarae Ri Monyona (ejaan Bugis-Makasar). Terjemahan bahasa Bugis
dari bahasa Makasar dibuat pada tahun 1635 dan pada 1652.
Selain itu adapula
naskah tentang ilmu militer yang berasal dari kalangan pesantren. Salah satunya
adalah naskah pendek dengan kode Lor 5738 bis yang tersimpan di Perpustakaan
Lieden, Belanda. Naskah dalam bahasa Melayu tersebut berjudul Membedil (menembak). Tentu isinya adalah tentang tata
cara penggunaan senjata yang telah berkembang kala itu. Naskah tersebut disita
oleh pasukan Belanda dari seorang ulama Banten yang tak disebutkan namanya yang
dituduh telah melakukan agitasi melawan Belanda. Naskah-naskah tersebut
ditemukan oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1890 di Serang. Kemudian, ia
kirimkan ke Belanda pada 28 Juli 1906.
Naskah-naskah tersebut
menandakan bahwa pesantren kala itu tidak hanya sebagai pusat pendidikan
keagamaan belaka. Namun pesantren menjadi universitas bagi bangsa Indonesia
untuk menggerakkan keilmuwan dan peradaban bangsa dalam berbagai bidang,
duniawi maupun ukhrawi.
Ayung
Notonegoro, Penggiat
Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar