Bertas – tas masalah tak pernah tuntas. Menumpuk hingga
keatas. Tidak pernah tau kapan akan diberantas. Berbagai masalah semakin
mengeras tanpa tau mana batas bawah, mana batas atas.
Ketika ada yang dibawah mencoba mengurai masalah yang beranak
–pinak dan semakin pedas dan panas ini, selalu kan terbentur, “mohon petunjuk
Yang Di Atas.”
“Taukah apa yang akan
terjadi?”
“Semuanya akan kandas.”
“Kenapa kandas?”
“Karena petunjuk Yang
Di Atas.”
Saat emas-emas terpancar siap menjadi palu kuning yang akan
menggempur berhala – berhala masalah yang semakin keras, terdengar,
“Bagus!”
“Aku mendukungmu.”
“Jalankan.”
“Oke!”
sambutan berdatangan menyonsong cahaya palu kuning untuk
melunakkan kerasnya berhala –berhala yang selama ini menggelayut mengganggu siapa
saja yang ingin berlarimenembus cakrawala. “Taukah kalian kawan apa yang
terjasi?”
“Mohon petunjuk Yang Di Atas.”
“Selanjutnya bagaimana?”
“sudah pasti: semuakan terhempas.”
“Bahkan taukah kalian kawan?”
“Tidak hanya palu kuning yang meleleh menjadi barang bekas
yang tak berharga dan hanyut di saptitank – saptitank hina, tapi si empunya
emas juga bisa –bisa tertebas menjadi mayat tanpa kepala ditumbuhi belatung –
belatung atau singgat yang menggrogoti kerongkongan dan otak si kepala yang
bergulir diseret arus amarah.”
“Makanya jangan macam
–macam usul, mendikte, apalagi “sok” mengajari Yang Di Atas, jika kalian tak mau terhempas.”
“Hati –hati kawan. Yang Di Atas bahkan bisa mengalahkan Yang
Ter-Atas.”
“Taukah kalian kawan siapa Yang Ter-Atas itu?”
“Yang Ter-Atas tentu lebih hebat dari Yang Di Atas, tapi Yang Ter-Atas tak mau
mengalahkan Yang Di Atas sehingga Yang
Di Atas Merasa sesakti Yang Ter-Atas.”
“Ssstt… jangan bilang siapa-siapa kawan. Ini rahasia. Jangan
sampai tersebar, karena jika sampau tau Yang Si Atas, dia akan memuntahkan
lahar-lahar kemarahan dari tenggorokan, telinga, hidung, mata, dubur, dan dari
semua yang berlubang.”
“Apa itu?” pelan.
“Yang Di Atas tidak pernah sepaham dengan Yang Ter-Atas. Dan
Yang Di Atas juga tidak peduli karena Yang Di Atas menganggap Yang Ter-Atas
sama dengan dirinya.”
“Apakah ingin mengkudeta?”
“Tidak!” keras.
“Tapi Yang Di Atas sudah capek berada di atas. Yang Di Atas
ingin hancurkan semuanya. Semua bangunan yang dibangun oleh Yang Ter-Atas.”
Berbisik.
“Kenapa?.” Lirih.
“Agar tak ada lagi batas atas dan bawah.”
“Kenapa?”
“KOk bisa?”
“Ada apa?”
“Apa sebabnya?”
Berpuluh-puluh pertanyaan menyerbu laksana rentetan peluru.
Hening……
Tak terdengar lagi suara di kamar yang berantakan itu.
Padam. Gelap. Sunyi. Senyap.
Berbisik…….
“Kita semua berlindung saja kepada Yang Maha Atas, atas
segala yang di atas dan yang merasa teratas karena hanya Yang Maha Atas saja
yang mampu mengatasi atas segala masalah.”
Braaak……
Pintu tertutup.
Aku terbangun.
3 komentar:
memang kita terkadang harus lebih bijak
pujangga temen iki rek..
Posting Komentar