Nama Habib Syekh bin
Abdul Qadir Asegaf tak asing disebagian pecinta shalawat Nabi di tanah air. Suaranya
yang merdu dan berwibawa tiap kali menyenandungkan puja-puji ke hadirat
Rosulullah menjadikan Habib Syekh – panggilan akrabnya – trendsetter sholawat dewasa ini. Tak ayal lagi, jama’ah dan
penggemarnya yang biasa dikenal dengan nama Syekher Mania membludak.
Ada gula ada semut,
mungkin itu pepatah yang tepat menggambarkan. Ribuan Syeker Mania tak ubahnya
gula bagi para pebisnis. Mulai dari foto, syal, jaket, bendera, sticker,
gantungan kunci, dan – yang terpenting – kaset CD tentang Habib Syekh diproduksi
dan dipasarkan. Laku keras!
Namun, yang cukup
menarik perhatian penulis adalah penjualan buku kumpulan lirik
sholawat-sholawat yang sering kali dibawakan sang idola. Baik sholawat yang
berbahasa Arab, semisal Sholatun ala Nabi,
Qad Kaffani atau yang berbahasa Jawa, seperti Turi Putih, dan berbahasa Indonesia / Melayu, umpama Syi’ir Kisah Sang Rasul, dan jadikan
satu. Dan, tentunya, diperjual belikan kepada para Syekher Mania.
Sholawat, sebagaimana
diperintahkan oleh Allah Swt dalam surat Al-Ahzab ayat 56, menjadi bagian ibadah
yang spesial bagi sebagian besar umat Islam. Terutama yang beraqidah Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Shalawat
telah menjadi rutinitas yang tak sekedar bernilai ibadah. Shalawat telah
menjadi bagian dari budaya dan peradaban umat Islam.
Dalam konteks umat
Islam di Islam di Indonesia, sholawat juga menjadi bagian penting dalam laku
beragama. Ada banyak redaksi shalawat yang dikarang oleh ulama Indonesia. Ambil
contoh Shalawat Badar. Sholawat yang
menggunakan bahasa Arab tersebut dikarang oleh KH. Ali Ma’sum. Beliau adalah
ketua cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi pada periode 60-an. Shalawat yang
ditulisnya kala menunaikan ibadah haji tersebut menjadi bacaan sholawat yang
populer di umat Islam Indonesia, terutama bagi umat Islam yang berafiliasi pada
Nahdlatul Ulama.
Akan tetapi, shalawat
yang terkumpul menjadi satu jilidan (kitab), setidaknya ada tiga kitab yang
begitu populer dalam kehidupan Islam Nusantara. Pertama adalah Kitab Barzanji, Dalailul Khairat dan Simtud Duror.
Salah satu terbitan Kitab Al-Barzanji |
Kitab
Barzanji sebenarnya berjudul Al-Jawhar fi mawlid an-Nabiyil Azhar (Kalung permata pada kelahiran
Nabi ternama). Nama Barzanji
dinisbatkan kepada nama pengarangnya, yaitu, Syekh Ja’far al-Barzanji, salah
seorang ulama terkemuka asal Madinah bermadzab Syafi’iyah.
Kitab tersebut ditulis
ketika masih dalam suasana perang salib. Sultan Shalahudin al-Ayyubi (memerintah
1774-1193 M), pada tahun 579 H (1183 M), mencetuskan satu gagasan untuk
melaksanakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad (mawlid nabi). Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat umat
Islam yang kala itu sedang menghadapi perang salib. Perintah tersebut
disampaikan kepada para jama’ah haji. Para jama’ah haji tersebut diperintahkan
untuk memperingati mawlid nabi
sepulangnya ke daerah masing-masing. Dalam kepulangannya tersebut, para jama’ah
haji dibekali dengan kitab Barzanji tersebut.
Berawal dari hal
tersebut, shalawat yang terkumpul dalam Barzanji
tersebar ke seluruh negara Islam dan menjadi bacaan penting dalam setiap
peringatan mawlid nabi. Di Indonesia
sendiri, pembacaan Barzanji tidak
hanya sebatas pada bulan Robiul Awal (bulan kelahiran Nabi Muhammad), tapi juga
sering dibaca pada momen-momen lain. Misalnya tiap malam jum’at. Terkadang disertai
dengan rutinan tertentu bersama-sama dalam satu majlis.
Barzanji
tidak
hanya berisikan sholawat saja. Pada kitab ini juga dilengkapi dengan sejarah
Nabi Muhammad dan beberapa keistimewaan membaca shalawat. Dan penulisan kitab
ini, baik teks shalawat maupun sejarah, ditulis dengan gaya prosais yang bagus.
Biasanya, Barzanji dijadikan satu
kitab dengan sholawat lainnya seperti Mawlid
Diba’ dan Burdatul Mukhtar.
Salah satu terbitan kitab Dalailul Khoirat |
Kitab kedua adalah
kitab Dalailul Khairat. Kitab ini disusun
oleh Syekh Abdullah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli atau dikenal dengan sebutan
Syekh Jazuli. Beliau wafat pada tanggal 16 Rabiul Awal 875 H. Beliau salah satu
ulama terkemuka yang berasal dari Magribi (Maroko).
Ada kisah menarik
seputar asal-muasal penulisan kitab shalawat tersebut. Pada suatu hari Syekh
Jazuli sedang mengambil air wudlu disebuah sumur, namun sayang talinya
terputus. Syekh Jazuli pun berusaha mencari tali peganti, namun karena sumur
itu terlalu dalam, tali pegantinya pun tak kunjung mencapai dasar.
Ditengah kebingungan
tersebut muncul seseorang yang begitu mudahnya mengambil pada air di sumur yang
sama dengan Syekh Jazuli. Orang tersebut cukup meludahi sumur tersebut dan
mengambil air cukup dengan tangan, tanpa bantuan timba dan tali. Hal tersebut
begitu menakjubkan bagi Syekh Jazuli. Ia pun menanyakan perihal keanehan
tersebut.
“Dengan apakah engkau
memperoleh karomah ini?” Tanya Syekh Jazuli.
“Karena saya
memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi Muhammad.” Jawab lelaki asing
tersebut.
Semenjak kejadian
itulah, Syekh Jazuli bertekad untuk menuliskan satu kitab sholawat sebagai
persembahan kepada kecintaannya pada Nabi Muhammad. Beliau lalu beruzlah dan
menyendiri selama 41 tahun guna menyusun kitab shalawat tersebut. Berkat upayanya
yang keras dan begitu khusyu’mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam menyusun
kitab tersebut, tak aneh jika para pembacanya mendapatkan luberan berkah dari
karya tersebut.
Dalam tradisi pesantren
ada suatu riyadlah (pelatihan jiwa),
yang melakukan puasa sepanjang tahun (keculi hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa),
seraya mengkhatamkan kitab Dalailul
Khairat tersebut tiap hari.
salah satu terbitan kitab Simtud Duror |
Kitab shalawat yang
ketiga yang cukup populer dikalangan umat Islam Nusantara adalah kitab Simtud Duror. Kitab shalawat ini juga dikenal dengan sebutan
Mawlid Habsyi sebagaimana dinisbatkan
kepada penyusunnya, Habib Ali Al-Habsyi. Beliau adalah salah seorang ulama
terkemuka di Hadramaut, Yaman, yang berasal dari marga alawiyin.
Simtud
Duror pertama kali ditulis ketika Habib Ali berusia 68
tahun. Waktu itu ia mendiktekan bait pertama kitab tersebut pada hari Kamis 26
Shafar 1327 H. Kala itu beliau mendiktekan shalawatnya baru sampai pada
pembukaan saja. Kemudian pada hari Selasa awal Robiul Awal pada tahun yang sama
beliau melanjutkannya. Dan kitab tersebut berhasil didektekan dengan lengkap
dan dibaca pada acara mawlid Nabi tepat
malam Sabtu, 12 Rabiul Awal 1327 H di kediaman murid beliau, Sayyid Umar bin
Hamid as-Segaf.
Biasanya, pembacaan Simtud Durar tersebut diiringi dengan
musik hadrah tiap pembacaan sholawat. Dengan lantunan suara merdu dipadukan
dengan hadrah yang rancak membuat tradisi pembacaan kitab shalawat tersebut
mendapatkan tempat di umat Islam, termasuk di Indonesia. Semasa penulis
menempuh studi di PP. Al-Anwari, Banyuwangi, pembacaan kitab Simtud Duror dilakukan tiap malam Jum’at
seusai membaca Sholawat Burdah.
Ayung
Notonegoro
Penggiat
Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar