menu

Sabtu, 03 Oktober 2015

KITAB - KITAB SHALAWAT



Nama Habib Syekh bin Abdul Qadir Asegaf tak asing disebagian pecinta shalawat Nabi di tanah air. Suaranya yang merdu dan berwibawa tiap kali menyenandungkan puja-puji ke hadirat Rosulullah menjadikan Habib Syekh – panggilan akrabnya – trendsetter sholawat dewasa ini. Tak ayal lagi, jama’ah dan penggemarnya yang biasa dikenal dengan nama Syekher Mania membludak.

Ada gula ada semut, mungkin itu pepatah yang tepat menggambarkan. Ribuan Syeker Mania tak ubahnya gula bagi para pebisnis. Mulai dari foto, syal, jaket, bendera, sticker, gantungan kunci, dan – yang terpenting – kaset CD tentang Habib Syekh diproduksi dan dipasarkan. Laku keras!

Namun, yang cukup menarik perhatian penulis adalah penjualan buku kumpulan lirik sholawat-sholawat yang sering kali dibawakan sang idola. Baik sholawat yang berbahasa Arab, semisal Sholatun ala Nabi, Qad Kaffani atau yang berbahasa Jawa, seperti Turi Putih, dan berbahasa Indonesia / Melayu, umpama Syi’ir Kisah Sang Rasul, dan jadikan satu. Dan, tentunya, diperjual belikan kepada para Syekher Mania.

Sholawat, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam surat Al-Ahzab ayat 56, menjadi bagian ibadah yang spesial bagi sebagian besar umat Islam. Terutama yang beraqidah Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Shalawat telah menjadi rutinitas yang tak sekedar bernilai ibadah. Shalawat telah menjadi bagian dari budaya dan peradaban umat Islam.

Dalam konteks umat Islam di Islam di Indonesia, sholawat juga menjadi bagian penting dalam laku beragama. Ada banyak redaksi shalawat yang dikarang oleh ulama Indonesia. Ambil contoh Shalawat Badar. Sholawat yang menggunakan bahasa Arab tersebut dikarang oleh KH. Ali Ma’sum. Beliau adalah ketua cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banyuwangi pada periode 60-an. Shalawat yang ditulisnya kala menunaikan ibadah haji tersebut menjadi bacaan sholawat yang populer di umat Islam Indonesia, terutama bagi umat Islam yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama.

Akan tetapi, shalawat yang terkumpul menjadi satu jilidan (kitab), setidaknya ada tiga kitab yang begitu populer dalam kehidupan Islam Nusantara. Pertama adalah Kitab Barzanji, Dalailul Khairat dan Simtud Duror.

Salah satu terbitan Kitab Al-Barzanji

Kitab Barzanji sebenarnya berjudul Al-Jawhar fi mawlid an-Nabiyil Azhar (Kalung permata pada kelahiran Nabi ternama). Nama Barzanji dinisbatkan kepada nama pengarangnya, yaitu, Syekh Ja’far al-Barzanji, salah seorang ulama terkemuka asal Madinah bermadzab Syafi’iyah.

Kitab tersebut ditulis ketika masih dalam suasana perang salib. Sultan Shalahudin al-Ayyubi (memerintah 1774-1193 M), pada tahun 579 H (1183 M), mencetuskan satu gagasan untuk melaksanakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad (mawlid nabi). Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat umat Islam yang kala itu sedang menghadapi perang salib. Perintah tersebut disampaikan kepada para jama’ah haji. Para jama’ah haji tersebut diperintahkan untuk memperingati mawlid nabi sepulangnya ke daerah masing-masing. Dalam kepulangannya tersebut, para jama’ah haji dibekali dengan kitab Barzanji tersebut.

Berawal dari hal tersebut, shalawat yang terkumpul dalam Barzanji tersebar ke seluruh negara Islam dan menjadi bacaan penting dalam setiap peringatan mawlid nabi. Di Indonesia sendiri, pembacaan Barzanji tidak hanya sebatas pada bulan Robiul Awal (bulan kelahiran Nabi Muhammad), tapi juga sering dibaca pada momen-momen lain. Misalnya tiap malam jum’at. Terkadang disertai dengan rutinan tertentu bersama-sama dalam satu majlis.

Barzanji tidak hanya berisikan sholawat saja. Pada kitab ini juga dilengkapi dengan sejarah Nabi Muhammad dan beberapa keistimewaan membaca shalawat. Dan penulisan kitab ini, baik teks shalawat maupun sejarah, ditulis dengan gaya prosais yang bagus. Biasanya, Barzanji dijadikan satu kitab dengan sholawat lainnya seperti Mawlid Diba’ dan Burdatul Mukhtar.

Salah satu terbitan kitab Dalailul Khoirat

Kitab kedua adalah kitab Dalailul Khairat. Kitab ini disusun oleh Syekh Abdullah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli atau dikenal dengan sebutan Syekh Jazuli. Beliau wafat pada tanggal 16 Rabiul Awal 875 H. Beliau salah satu ulama terkemuka yang berasal dari Magribi (Maroko).

Ada kisah menarik seputar asal-muasal penulisan kitab shalawat tersebut. Pada suatu hari Syekh Jazuli sedang mengambil air wudlu disebuah sumur, namun sayang talinya terputus. Syekh Jazuli pun berusaha mencari tali peganti, namun karena sumur itu terlalu dalam, tali pegantinya pun tak kunjung mencapai dasar.

Ditengah kebingungan tersebut muncul seseorang yang begitu mudahnya mengambil pada air di sumur yang sama dengan Syekh Jazuli. Orang tersebut cukup meludahi sumur tersebut dan mengambil air cukup dengan tangan, tanpa bantuan timba dan tali. Hal tersebut begitu menakjubkan bagi Syekh Jazuli. Ia pun menanyakan perihal keanehan tersebut.

“Dengan apakah engkau memperoleh karomah ini?” Tanya Syekh Jazuli.

“Karena saya memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi Muhammad.” Jawab lelaki asing tersebut.

Semenjak kejadian itulah, Syekh Jazuli bertekad untuk menuliskan satu kitab sholawat sebagai persembahan kepada kecintaannya pada Nabi Muhammad. Beliau lalu beruzlah dan menyendiri selama 41 tahun guna menyusun kitab shalawat tersebut. Berkat upayanya yang keras dan begitu khusyu’mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam menyusun kitab tersebut, tak aneh jika para pembacanya mendapatkan luberan berkah dari karya tersebut.

Dalam tradisi pesantren ada suatu riyadlah (pelatihan jiwa), yang melakukan puasa sepanjang tahun (keculi hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa), seraya mengkhatamkan kitab Dalailul Khairat tersebut tiap hari.

salah satu terbitan kitab Simtud Duror


Kitab shalawat yang ketiga yang cukup populer dikalangan umat Islam Nusantara adalah kitab Simtud Duror.  Kitab shalawat ini juga dikenal dengan sebutan Mawlid Habsyi sebagaimana dinisbatkan kepada penyusunnya, Habib Ali Al-Habsyi. Beliau adalah salah seorang ulama terkemuka di Hadramaut, Yaman, yang berasal dari marga alawiyin.

Simtud Duror pertama kali ditulis ketika Habib Ali berusia 68 tahun. Waktu itu ia mendiktekan bait pertama kitab tersebut pada hari Kamis 26 Shafar 1327 H. Kala itu beliau mendiktekan shalawatnya baru sampai pada pembukaan saja. Kemudian pada hari Selasa awal Robiul Awal pada tahun yang sama beliau melanjutkannya. Dan kitab tersebut berhasil didektekan dengan lengkap dan dibaca pada acara mawlid Nabi tepat malam Sabtu, 12 Rabiul Awal 1327 H di kediaman murid beliau, Sayyid Umar bin Hamid as-Segaf.

Biasanya, pembacaan Simtud Durar tersebut diiringi dengan musik hadrah tiap pembacaan sholawat. Dengan lantunan suara merdu dipadukan dengan hadrah yang rancak membuat tradisi pembacaan kitab shalawat tersebut mendapatkan tempat di umat Islam, termasuk di Indonesia. Semasa penulis menempuh studi di PP. Al-Anwari, Banyuwangi, pembacaan kitab Simtud Duror dilakukan tiap malam Jum’at seusai membaca Sholawat Burdah.

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi

Tidak ada komentar: