Bagi para pengkaji
pemikiran Islam pasti mengenal tokoh yang satu ini. Namanya adalah Yahya bin Syarif bin Muri bin Hasan bin
Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam. Beliau biasa dipanggil Syaikhul Islam
Abu Zakariya Muhyiddin. Namun karena beliau lahir di desa Nawa, Hauran,
Damaskus (Suria), maka seringkali namanya diisbatkan ke daerah asalanya
sehingga populer dikenal dengan nama Imam Nawawi.
Tokoh besar madzhab
Syafi’iyah ini lahir pada sepuluh hari pertengahan bulan Muharram – ada
pula yang berpendapat sepuluh hari awal – tahun 631 H bertepatan
dengan 1233 M. Sebagaimana anak-anak orang muslim kala itu, ia mempelajari
dasar-dasar agama seperti al-Qur’an di tanah kelahirannya. Ketika menginjak
usia 19 tahun, baru Nawawi muda belajar keluar. Ia diajak oleh bapaknya untuk
pindah ke Damaskus.
Di ibu kota Dinasti
Umayyah tersebut, Nawawi muda melanjutkan pembelajarannya di Madrasah
Rawahiyah. Di madrasah inilah, kecerdasannya mulai tampak menonjol dibandingkan
dengan teman-temannya. Tak ayal, gurunya, Syekh Kamaluddin Ishaq al-Magribi,
memilihnya sebagai asisten untuk membantunya mengajar.
Setahun kemudian saat
usianya genap 20 tahun, Nawawi bersama bapaknya melaksanakan ibadah haji ke
Mekkah. Seusainya melaksanakan ibadah haji, ia melanjutkan pendidikannya. Ia banyak
berguru kepada para ulama sesuai dengan bidang pengajarannya.
Di bidang fiqih
guru-gurunya antara lain: Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Nuh al-Dimasqy, Abu
Hafs Umar bin As’ad bin Abi Ghalib Ar-Rob’i Al-Irbili, Abul Hasan Sallar bin
Hasan al-Irbili, dan beberapa ulama lainnya.
Sedangkan di bidang
hadist, Imam Nawawi berguru kepada Abu Ishaq Ibrahim bin Abi Hafs Umar bin
Mudlar al-Wasyithi. Pada beliaulah Imam Nawawi pertama kali memepalajari Shahih Muslim secara penuh dan berhasil
mendapatkan ijazah. Kemudian guru-guru hasistnya yang lain diantaranya:
Zainuddin Abul Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Said Al-Nabalisy, Ridha bin Burhan
Zaid Khalid Abdul Aziz al-Hamawi, Zainuddin Abul Ibas bin Abdul Daim
al-Dimsyaqi, dan beberapa guru lainnya.
Selain bidang fiqih dan
dan hadist, masih ada puluhan guru Imam Nawawi dibidang keilmuwan yang lain,
seperti ilmu ushul, bahasa maupun nahwu. Banyaknya guru dan bidang keilmuwan
yang dipelajarinya membuat Imam Nawawi sangat jarang tidur. Tak ada
harinya-harinya dihabiskan kecuali dengan dalam keadaan menuntut ilmu ataupun
ibadah. Jika tidak membaca, ia menulis kitab. Jika tak mutholla’ah, ia tampak
mengulang pelajarannya pada guru-gurunya.
Dalam satu riwayat
diceritakan bahwa Imam Nawawi tak pernah berhenti belajar selama 20 tahun.
Kegemarannya belajar mengalahkan kemauannya untuk tidur. Ia tak pernah sengaja
untuk tidur. Ketika merasa mengantuk ia akan membaca buku. Dengan demikian ia
akan tertidur dalam keadaan terduduk di depan buku atau tersandar di tembok.
Dan ketika terbangun dari tidur itu, Imam Nawawi tersentak, seolah ada barang
mahal disisinya yang hilang saat tidur itu.
Kegemarannya belajar
tersebut menjadikannya sebagai seorang ulama multidisiplin. Ia mampu
mengajarkan dua belas cabang keilmuwan Islam, mulai dari fiqih, ushul fiqih,
mantiq, bahasa, kalam, hadist dan ilmu hadist serta beberapa cabang ilmu yang
lain.
Syarah Shohih Muslim: Salah satu karya Imam Nawawi |
Kecerdasan Imam Nawawi
juga tampak dari karya tulisnya yang sangat banyak dan mencakup beragam cabang
keilmuwan. Diantaranya yang masyhur adalah Riyadlus
Sholihin, Al-Adzkar an-Nawawiyah, al-Arba’in an-Nawawiyah, Ar-Raudlatuth
Thalibin, Al-Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil
Qur’an, Minhajuth Thalibin, Al-Irsyad fi Ulumil Hadist, Al-Fatawi, Al-Mubhimat, Al-Umdah, Al-Idlah, Al-Manasik,
Al-Khulashah fil Hadist, Al-Ushul wal Dwabith, dan beberapa kitab lainnya.
Karya tulis Imam Nawawi
meliputi enam bidang keilmuwan. Mulai dari fiqih, hadist, syarah hadist,
musthalah, bahasa dan biografi, serta tauhid. Adapun penulisannya terbagi
menjadi tiga macam. Pertama, adalah kitab yang berhasil ditulis secara tuntas. Kedua
adalah karya yang belum diselesaikan karena keburu wafat. Ketiga adalah berupa
karya tulis yang ditulis dalam lembaran-lembaran, baik berupa surat ataupun
fatwa yang dipinta oleh pihak lain.
Karyanya yang ditulis
hingga tuntas diantaranya adalah Syarah
Muslim, Raudlah, Minhaj, Riyadush Sholihin, Adzkar, Tanbih, Tahrirut Tanbih,
Tashhihut Tanbih, Arbain Nawawi, dan beberapa kitab lainnya. Sedangkan
kitab-kitab yang belum sempat diselesaikannya adalah Syarah Bukhari, Syarah Sunan Ibnu Dawud, Syarah Al-Wajiz dan
beberapa kitab lainnya.
Memilih
Jomblo
Tak diragukan lagi
kealiman Imam Nawawi. Ketekunannya belajar menghasilkan keilmuwan dan karya
tulis yang terus dikaji hingga saat ini. Beragam kitab babon yang menjadi
rujukan pemikiran keislaman hingga saat ini berasal dari buah tangannya. Pemikirannya
terus dikutip dan dikaji oleh pemikir-pemikir muslim selanjutnya.
Kecintaan Imam Nawawi
dengan ilmu juga ditunjang dengan akhlaqnya. Kehidupan Imam Nawawi amatlah
sederhana, wara’ dan zuhud. Tak ada sedikitpun kenikmatan dunia ini yang
memalingkannya dari keimanan, ibadah dan ilmu. Sikap yang demikian itulah yang
mengantarkan Imam Nawawi hingga akhir hayatnya masih dalam keadaan jomblo. Tak menikahi
seorang perempuan pun.
Dalam salah satu
biografinya yang ditulis oleh .................... menyebutkan alasan Imam
Nawawi memillih untuk tidak kawin. Hal tersebut muncul dari sikap wara’ dan
rasa takutnya kepada Allah. Ia mendasarkan pendiriannya pada QS. Al-Baqarah:
228:
“....Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kewajiban seorang suami
untuk memperlakukan sang istri dengan ma’ruf itulah yang menjadi ketakutan
tersendiri bagi Imam Nawawi. Ia takut tak bisa memperlakukan sang istri dengan
baik. Pandangan ini semakin kentara pada Syarah
Muslim saat Imam Nawawi menjelaskan hadist berikut.
Telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al 'Ala Abu Kuraib Al Mahdani]; Telah
menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Hisyam]; Telah mengabarkan kepadaku
[Bapakku] dari [Asma' binti Abu Bakr] ia berkata; "Aku menikah dengan
Zubair, sedangkan dia tidak mempunyai apa-apa. Tidak punya pelayan, harta dan
sebagainya, selain hanya seekor kuda. Karena itu akulah yang memberi makan kuda,
merawat dan melatihnya. Aku pula yang menumbuk biji kurma untuk makan,
menyediakan makan dan minumnya, dan aku pula yang menjahit dan memasak. Tetapi
aku tidak pandai membuat roti. Karena itu roti kami dibuatkan oleh tetangga
kami orang-orang Anshar. Mereka adalah wanita-wanita yang baik. Kata Asma'
selanjutnya; 'Aku juga menjunjung buah kurma di kepalaku dari kebun yang
dijatahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Zubair, membawanya
sejauh dua farsakh. Pada suatu hari aku membawa buah kurma yang kujunjung di
kepalaku. Di tengah jalan aku bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam beserta beberapa orang sahabatnya: 'Ikh! Ikh! ' Kata beliau
menghentikan dan menyuruh untanya berlutut, untuk memboncengku di belakangnya.
Setelah itu Asma berkata (ketika bercerita kepada suaminya); 'Tetapi aku malu
dan aku tahu bahwa engkau pencemburu.' Jawab Zubair; 'Demi Allah, sesungguhnya
bebanmu menjunjung buah kurma di kepalamu, bagiku terasa lebih berat daripada
engkau membonceng dengan beliau.' Kata Asma' selanjutnya; Akhirnya, sesudah
kejadian itu Abu Bakar, ayahku, mengirim seorang pelayan untuk kami. Dia
mengambil alih pemeliharaan kuda menggantikanku. Rasanya seolah-olah aku
terbebas dari beban dan kerja berat.'. [4050]
Dalam menguraikan
hadist tersebut, Imam Nawawi menjelaskan tentang kehidupan suami istri. Imam
Nawawi berpendapat apa yang dilakukan oleh Asma’ dalam membantu suaminya
meringankan beban adalah kebiasaan dalam masyarakat saja. Si istri tidak
memiliki kewajiban untuk mengerjakan hal-hal sebagaimana perbuatan Asma ataupun
sepadanannya, seperti mencuci, memasak, bersih-bersih rumah atau sebagainya. Tak
berdosa jika si istri meninggalkannya.
Pekerjaan-pekerjaan
tersebut adalah tanggung jawab si suami untuk memenuhinya. Dimana memenuhi
hal-hal tersebut adalah bagian dari ke-ma’ruf-an sebagaimana difahami pada ayat
diatas. Namun, seandainya si istri ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut
tak lebih untuk mengharapkan berkah dan menjadi suatu amal baik si istri. Tak lebih.
Kewajiban yang
berat yang harus diemban oleh seorang suami terhadap istri, sebagaimana diulas
diatas, membuat Imam Nawawi memutuskan untuk tak menikah. Memillih untu tetap
jomblo. Jomblo lillahi ta’ala!
Ayung Notonegoro
Penggiat
Literasi Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar