menu

Kamis, 08 Oktober 2015

Imam Nawawi, Penulis Jomblo Lillahi Ta'ala





Bagi para pengkaji pemikiran Islam pasti mengenal tokoh yang satu ini. Namanya adalah  Yahya bin Syarif bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam. Beliau biasa dipanggil Syaikhul Islam Abu Zakariya Muhyiddin. Namun karena beliau lahir di desa Nawa, Hauran, Damaskus (Suria), maka seringkali namanya diisbatkan ke daerah asalanya sehingga populer dikenal dengan nama Imam Nawawi.

Tokoh besar madzhab Syafi’iyah ini lahir pada sepuluh hari pertengahan bulan Muharram – ada pula  yang berpendapat  sepuluh hari awal – tahun 631 H bertepatan dengan 1233 M. Sebagaimana anak-anak orang muslim kala itu, ia mempelajari dasar-dasar agama seperti al-Qur’an di tanah kelahirannya. Ketika menginjak usia 19 tahun, baru Nawawi muda belajar keluar. Ia diajak oleh bapaknya untuk pindah ke Damaskus. 

Di ibu kota Dinasti Umayyah tersebut, Nawawi muda melanjutkan pembelajarannya di Madrasah Rawahiyah. Di madrasah inilah, kecerdasannya mulai tampak menonjol dibandingkan dengan teman-temannya. Tak ayal, gurunya, Syekh Kamaluddin Ishaq al-Magribi, memilihnya sebagai asisten untuk membantunya mengajar.

Setahun kemudian saat usianya genap 20 tahun, Nawawi bersama bapaknya melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Seusainya melaksanakan ibadah haji, ia melanjutkan pendidikannya. Ia banyak berguru kepada para ulama sesuai dengan bidang pengajarannya.

Di bidang fiqih guru-gurunya antara lain: Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Nuh al-Dimasqy, Abu Hafs Umar bin As’ad bin Abi Ghalib Ar-Rob’i Al-Irbili, Abul Hasan Sallar bin Hasan al-Irbili, dan beberapa ulama lainnya.

Sedangkan di bidang hadist, Imam Nawawi berguru kepada Abu Ishaq Ibrahim bin Abi Hafs Umar bin Mudlar al-Wasyithi. Pada beliaulah Imam Nawawi pertama kali memepalajari Shahih Muslim secara penuh dan berhasil mendapatkan ijazah. Kemudian guru-guru hasistnya yang lain diantaranya: Zainuddin Abul Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Said Al-Nabalisy, Ridha bin Burhan Zaid Khalid Abdul Aziz al-Hamawi, Zainuddin Abul Ibas bin Abdul Daim al-Dimsyaqi, dan beberapa guru lainnya.

Selain bidang fiqih dan dan hadist, masih ada puluhan guru Imam Nawawi dibidang keilmuwan yang lain, seperti ilmu ushul, bahasa maupun nahwu. Banyaknya guru dan bidang keilmuwan yang dipelajarinya membuat Imam Nawawi sangat jarang tidur. Tak ada harinya-harinya dihabiskan kecuali dengan dalam keadaan menuntut ilmu ataupun ibadah. Jika tidak membaca, ia menulis kitab. Jika tak mutholla’ah, ia tampak mengulang pelajarannya pada guru-gurunya. 

Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Imam Nawawi tak pernah berhenti belajar selama 20 tahun. Kegemarannya belajar mengalahkan kemauannya untuk tidur. Ia tak pernah sengaja untuk tidur. Ketika merasa mengantuk ia akan membaca buku. Dengan demikian ia akan tertidur dalam keadaan terduduk di depan buku atau tersandar di tembok. Dan ketika terbangun dari tidur itu, Imam Nawawi tersentak, seolah ada barang mahal disisinya yang hilang saat tidur itu.

Kegemarannya belajar tersebut menjadikannya sebagai seorang ulama multidisiplin. Ia mampu mengajarkan dua belas cabang keilmuwan Islam, mulai dari fiqih, ushul fiqih, mantiq, bahasa, kalam, hadist dan ilmu hadist serta beberapa cabang ilmu yang lain.

Syarah Shohih Muslim: Salah satu karya Imam Nawawi

Kecerdasan Imam Nawawi juga tampak dari karya tulisnya yang sangat banyak dan mencakup beragam cabang keilmuwan. Diantaranya yang masyhur adalah Riyadlus Sholihin, Al-Adzkar an-Nawawiyah, al-Arba’in an-Nawawiyah, Ar-Raudlatuth Thalibin,  Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, Minhajuth Thalibin, Al-Irsyad fi Ulumil Hadist, Al-Fatawi,  Al-Mubhimat, Al-Umdah, Al-Idlah, Al-Manasik, Al-Khulashah fil Hadist, Al-Ushul wal Dwabith, dan beberapa kitab lainnya.

Karya tulis Imam Nawawi meliputi enam bidang keilmuwan. Mulai dari fiqih, hadist, syarah hadist, musthalah, bahasa dan biografi, serta tauhid. Adapun penulisannya terbagi menjadi tiga macam. Pertama, adalah kitab yang berhasil ditulis secara tuntas. Kedua adalah karya yang belum diselesaikan karena keburu wafat. Ketiga adalah berupa karya tulis yang ditulis dalam lembaran-lembaran, baik berupa surat ataupun fatwa yang dipinta oleh pihak lain.

Karyanya yang ditulis hingga tuntas diantaranya adalah Syarah Muslim, Raudlah, Minhaj, Riyadush Sholihin, Adzkar, Tanbih, Tahrirut Tanbih, Tashhihut Tanbih, Arbain Nawawi, dan beberapa kitab lainnya. Sedangkan kitab-kitab yang belum sempat diselesaikannya adalah Syarah Bukhari, Syarah Sunan Ibnu Dawud, Syarah Al-Wajiz dan beberapa kitab lainnya.

Memilih Jomblo

Tak diragukan lagi kealiman Imam Nawawi. Ketekunannya belajar menghasilkan keilmuwan dan karya tulis yang terus dikaji hingga saat ini. Beragam kitab babon yang menjadi rujukan pemikiran keislaman hingga saat ini berasal dari buah tangannya. Pemikirannya terus dikutip dan dikaji oleh pemikir-pemikir muslim selanjutnya.

Kecintaan Imam Nawawi dengan ilmu juga ditunjang dengan akhlaqnya. Kehidupan Imam Nawawi amatlah sederhana, wara’ dan zuhud. Tak ada sedikitpun kenikmatan dunia ini yang memalingkannya dari keimanan, ibadah dan ilmu. Sikap yang demikian itulah yang mengantarkan Imam Nawawi hingga akhir hayatnya masih dalam keadaan jomblo. Tak menikahi seorang perempuan pun.

Dalam salah satu biografinya yang ditulis oleh .................... menyebutkan alasan Imam Nawawi memillih untuk tidak kawin. Hal tersebut muncul dari sikap wara’ dan rasa takutnya kepada Allah. Ia mendasarkan pendiriannya pada QS. Al-Baqarah: 228:

“....Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 

Kewajiban seorang suami untuk memperlakukan sang istri dengan ma’ruf itulah yang menjadi ketakutan tersendiri bagi Imam Nawawi. Ia takut tak bisa memperlakukan sang istri dengan baik. Pandangan ini semakin kentara pada Syarah Muslim saat Imam Nawawi menjelaskan hadist berikut.

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al 'Ala Abu Kuraib Al Mahdani]; Telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Hisyam]; Telah mengabarkan kepadaku [Bapakku] dari [Asma' binti Abu Bakr] ia berkata; "Aku menikah dengan Zubair, sedangkan dia tidak mempunyai apa-apa. Tidak punya pelayan, harta dan sebagainya, selain hanya seekor kuda. Karena itu akulah yang memberi makan kuda, merawat dan melatihnya. Aku pula yang menumbuk biji kurma untuk makan, menyediakan makan dan minumnya, dan aku pula yang menjahit dan memasak. Tetapi aku tidak pandai membuat roti. Karena itu roti kami dibuatkan oleh tetangga kami orang-orang Anshar. Mereka adalah wanita-wanita yang baik. Kata Asma' selanjutnya; 'Aku juga menjunjung buah kurma di kepalaku dari kebun yang dijatahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Zubair, membawanya sejauh dua farsakh. Pada suatu hari aku membawa buah kurma yang kujunjung di kepalaku. Di tengah jalan aku bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beserta beberapa orang sahabatnya: 'Ikh! Ikh! ' Kata beliau menghentikan dan menyuruh untanya berlutut, untuk memboncengku di belakangnya. Setelah itu Asma berkata (ketika bercerita kepada suaminya); 'Tetapi aku malu dan aku tahu bahwa engkau pencemburu.' Jawab Zubair; 'Demi Allah, sesungguhnya bebanmu menjunjung buah kurma di kepalamu, bagiku terasa lebih berat daripada engkau membonceng dengan beliau.' Kata Asma' selanjutnya; Akhirnya, sesudah kejadian itu Abu Bakar, ayahku, mengirim seorang pelayan untuk kami. Dia mengambil alih pemeliharaan kuda menggantikanku. Rasanya seolah-olah aku terbebas dari beban dan kerja berat.'. [4050]

Dalam menguraikan hadist tersebut, Imam Nawawi menjelaskan tentang kehidupan suami istri. Imam Nawawi berpendapat apa yang dilakukan oleh Asma’ dalam membantu suaminya meringankan beban adalah kebiasaan dalam masyarakat saja. Si istri tidak memiliki kewajiban untuk mengerjakan hal-hal sebagaimana perbuatan Asma ataupun sepadanannya, seperti mencuci, memasak, bersih-bersih rumah atau sebagainya. Tak berdosa jika si istri meninggalkannya.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah tanggung jawab si suami untuk memenuhinya. Dimana memenuhi hal-hal tersebut adalah bagian dari ke-ma’ruf-an sebagaimana difahami pada ayat diatas. Namun, seandainya si istri ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut tak lebih untuk mengharapkan berkah dan menjadi suatu amal baik si istri. Tak lebih.

Kewajiban yang berat yang harus diemban oleh seorang suami terhadap istri, sebagaimana diulas diatas, membuat Imam Nawawi memutuskan untuk tak menikah. Memillih untu tetap jomblo. Jomblo lillahi ta’ala!

 Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi

Tidak ada komentar: