menu

Selasa, 06 Oktober 2015

"Keluarga" Kitab Fiqih di Indonesia



Salah satu keunikan kitab kuning dibandingkan dengan buku adalah pada format penulisannya. Ada beberapa format yang biasa dikenal dalam penulisan kitab kuning. Matan adalah format awal suatu kitab. Format ini merupakan teks awal yang ditulis dalam sebuah kitab. Kemudian dari matan tersebut dikenal pula format  syarah dan hasyiyah. Syarah adalah komentar (penjelasan) atas teks matan suatu kitab. Sedangkan hasyiyah sendiri adalah komentar atas komentar (syarah) dari satu teks matan. Dari format syarah ini pula muncul format mukhtasar (ringkasan), dimana teks syarah yang panjang diringkas kembali menjadi satu kitab yang lebih kecil.

Selain format tersebut ada pula format manzhum. Format ini berupa nadlom atau bait-bait puisi dengan aturan-aturan tertentu. Penulisan model ini bisa terjadi dalam bentuk matan (teks dasar) yang selanjutnya di-syarah-i atau bisa berupa mukhtasar (ringkasan) dari satu kitab penuh.

Format penulisan kitab kuning yang demikian memunculkan bagan hirarkis yang menyerupai pohon keluarga. Dimana kitab induk yang berupa matan menghasilkan beberapa kitab lain, baik yang berupa syarah, hasyiah, mukhtasar, maupun manzhum.

Dalam kurikululum pesantren di Indonesia, setidaknya ada tiga keluarga besar kitab fiqih. Dimana dari tiga kitab fiqih yang berupa matan menjelma menjadi berbagai macam kitab yang juga dikaji di pesantren. Kitab fiqih matan  tersebut adalah Muharrar, Taqrib, dan Qurratul Ain.

Kitab Muharrar adalah kitab matan yang ditulis oleh Abul Qasim Abdul Karim bin Muhammad (w. 623 H) atau lebih populer dengan nama Imam Rafi’i. Dari kitab Muharrar tersebut muncul satu kitab syarah yang begitu populer, yaitu kitab Minhajut Thalibin yang ditulis oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M). Dari karya Imam Nawawi yang diselesaikan pada hari Kamis, 19 Ramadhan 669 H tersebut muncul beberapa kitab turunannya. Baik yang berupa syarah, mukhtasar, munazhim, maupun hasyiyah.
 
Salah satu cetakan kitab Minhajuth Tholibin
Kitab syarah yang ditulis dari kitab Minhajut Thalibin tersebut, dalam buku Penulisan Fiqih Al-Syafi’i: Pertumbuhan dan Perkembangannya, menyebutkan bahwa ada 29 kitab syarah. Empat diantaranya yang populer di Indonesia adalah kitab Kanzul Raghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H / 1449 M). Kitab ini juga dikenal dikalangan pesantren dengan sebutan Al-Mahalli saja sebagaimana nama pengarangnya.

Dari karya Al-Mahalli diatas kemudian muncul dua kitab hasyiyah yang ditulis oleh Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi (w. 1069 H) yang dikenal dengan sebutan Al-Qulyubi. Hasyiyah  kedua ditulis oleh Syihabuddin Ahmad al-Burlussi atau dikenal dengan sebutan Umairah. Dikalangan pesantren kedua kitab tersebut disebut dengan hasyiyatan (dua hasyiyah) karena dua hasyiyah tersebut dicetak menjadi satu kitab.

Syarah dari Minhajut Thalibin lainnya adalah Syarah Minhaj karya Taqiyuddin Al-Subki (w. 757 H / 1259 M), Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H), Nihayatul Muhtaj karya Imam Ramli (w. 1004 H/ 1596 M) dan Mugnil Muhtaj karya Khatib Syarbini (w. 977 H).

Selain berbentuk syarah, kitab Minhajut Thalbin juga terdapat format ringkasannya. Sebagaimana dissebut dalam Penulisan Fiqih As-Syafi’i ada lima kitab ringkasan dari kitab Minhaj tersebut. Salah satunya yang populer di pesantren Indonesia adalah karya Zakariya Al-Anshari (w. 926 H / 1502 M), berjudul Manhajut Thullab. Ringkasan tersebut kemudian kembali di-syarah-i oleh penulisnya sendiri yang bernama lengkap Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshori al-Sunaki al-Mishri al-Syafi’i dengan judul Fathul Wahab, sebuah kitab syarah yang populer di pesantren Indonesia.

Minhajut Thalibin juga menelurkan sebuah kita berformat munazhim  dengan judul Nadlam Muhtaj. Kitab tersebut dianggit oleh Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Karim atau dikenal dengan sebutan Ibnu Musholli (w. 774 H).
 
Salah satu cetakan kitab Taqrib
Keluarga kedua dari kitab-kitab fiqih yang tersebar di Indonesia adalah Taqrib atau dinamai pula Ghayatul Ikhtisar. Kitab berformat matan tersebut ditulis oleh Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Asfahani al-Syafi’i atau dikenal dengan nama Ibnu Syuja’ (w. 593 H / 1196 M).

Kitab matan tersebut memantik beberapa fuqaha’ (ahli fiqih) untuk men-syarah-i. Tiga diantaranya yang terkenal adalah Fathul Qarib al-Mujib fi Syarah Taqrib atau dikenal juga dengan nama Al-Qaulul Mukhtar fi Syarah Gayatul Ikhtishar yang ditulis oleh Abu Abdullah Muhammad bin Qasim al-Ghazzi (w. 918 H). Kitab syarah ini juga kembali di-syarah-i oleh Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H ) dengan judul At-Tausyih ala Fathul Qorib al-Mujib.Fathul Qarib juga mendapatkan hasyiah dari Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri (w.1276 H), dengan judul Hasyiyah Bajuri.

Syarah lainnya ditulis oleh Khatib Syarbini (w. 977 H) dengan judul Al-Iqna fi Halli Alfazh Abi Syuja’. Dari kitab syarah ini juga muncul kitab dengan kitap Taqrir yang ditulis oleh Awwad yang merupakan syarah dari Taqrib. Iqna juga terdapat kitab hasyiyah yang ditulis oleh Bujairami (w. 1100 H) dengan judul Tuhfatul Habib.

Syarah lainnya ditulis oleh Taqiyuddin Ad-Dimsyaqi (w. 829 H) dengan judul Kifayatul Akhyar. Kitab ini populer di kalangan pesatren diseringkali menjadi kitab fiqih yang dikaji secara reguler di madrasah-madrasah tingkat aliyah.

Keluarga ketiga dari kitab-kitab fiqih yang populer di Indonesia adalah matan kitab Qurratul Ain yang ditulis oleh ulama asal India, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari (w. 975 H). Kemudian Al-Malibari juga men-syarah-i sendiri kitab tersebut dengan judul Fathul Mu’in. Kitab syarah inilah yang populer di kalangan pesantren ketimbang kitab matan-nya.

Dari Fathul Muin tersebut dua kitab hasyiyah. Pertama ditulis oleh Al-Sayyid al-Bakri ibn al-Sayyid Muhammad Syatha’ al-Dimyati (w. 1310 H) dengan judul I’anatuth Thalibin sebanyak empat jilid. Hasyiyah kedua ditulis oleh Alwi Assegaf (w. 1300 H) dengan judul Tasyrih al-Mustafidin.
 
Salah satu cetakan Fathul Muin
Kitab Qurratul Ain ini selain di-syarah-i dalam kitab Fathul Muin, seorang ulama asal nusantara yang bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi al-Bantani, juga menuliskan syarah untuk kitab tersebut. Kitab itu diberi judul Nihayatuz Zain. Kitab syarah ini tidak kalah populernya dikalangan pesantren ketimbang Fathul Muin sendiri.

Selain tiga “keluarga besar” ketiga kita fiqih tersebut, dikalangan pesantren dan Islam Indonesia juga banyak beredar kitab-kitab fiqih lain yang berdiri sendiri ataupun membentuk keluarga yang lebih kecil. Mungkin – jika Allah meridlai –  pada tulisan lain akan penulis kupas. 


Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

1 komentar:

UmmieWalldecor mengatakan...

kalau kitab safinatunnaja masuknya ke yang mana ?