Salah satu keunikan
kitab kuning dibandingkan dengan buku adalah pada format penulisannya. Ada
beberapa format yang biasa dikenal dalam penulisan kitab kuning. Matan adalah format awal suatu kitab.
Format ini merupakan teks awal yang ditulis dalam sebuah kitab. Kemudian dari matan tersebut dikenal pula format syarah dan
hasyiyah. Syarah adalah komentar
(penjelasan) atas teks matan suatu
kitab. Sedangkan hasyiyah sendiri
adalah komentar atas komentar (syarah)
dari satu teks matan. Dari format syarah ini pula muncul format mukhtasar (ringkasan), dimana teks syarah yang panjang diringkas kembali
menjadi satu kitab yang lebih kecil.
Selain format tersebut
ada pula format manzhum. Format ini
berupa nadlom atau bait-bait puisi
dengan aturan-aturan tertentu. Penulisan model ini bisa terjadi dalam bentuk matan (teks dasar) yang selanjutnya di-syarah-i atau bisa berupa mukhtasar (ringkasan) dari satu kitab
penuh.
Format penulisan kitab
kuning yang demikian memunculkan bagan hirarkis yang menyerupai pohon keluarga.
Dimana kitab induk yang berupa matan
menghasilkan beberapa kitab lain, baik yang berupa syarah, hasyiah, mukhtasar, maupun manzhum.
Dalam kurikululum
pesantren di Indonesia, setidaknya ada tiga keluarga besar kitab fiqih. Dimana
dari tiga kitab fiqih yang berupa matan
menjelma menjadi berbagai macam kitab yang juga dikaji di pesantren. Kitab
fiqih matan tersebut adalah Muharrar, Taqrib, dan Qurratul
Ain.
Kitab Muharrar adalah kitab matan yang ditulis oleh Abul Qasim Abdul
Karim bin Muhammad (w. 623 H) atau lebih populer dengan nama Imam Rafi’i. Dari
kitab Muharrar tersebut muncul satu
kitab syarah yang begitu populer,
yaitu kitab Minhajut Thalibin yang
ditulis oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M). Dari karya Imam Nawawi yang
diselesaikan pada hari Kamis, 19 Ramadhan 669 H tersebut muncul beberapa kitab
turunannya. Baik yang berupa syarah,
mukhtasar, munazhim, maupun hasyiyah.
Kitab syarah yang ditulis dari kitab Minhajut Thalibin tersebut, dalam buku Penulisan Fiqih Al-Syafi’i: Pertumbuhan dan
Perkembangannya, menyebutkan bahwa ada 29 kitab syarah. Empat diantaranya yang populer di Indonesia adalah kitab Kanzul Raghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli
(w. 864 H / 1449 M). Kitab ini juga dikenal dikalangan pesantren dengan sebutan
Al-Mahalli saja sebagaimana nama
pengarangnya.
Dari karya Al-Mahalli
diatas kemudian muncul dua kitab hasyiyah
yang ditulis oleh Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qulyubi (w.
1069 H) yang dikenal dengan sebutan Al-Qulyubi. Hasyiyah kedua ditulis oleh
Syihabuddin Ahmad al-Burlussi atau dikenal dengan sebutan Umairah. Dikalangan
pesantren kedua kitab tersebut disebut dengan hasyiyatan (dua hasyiyah)
karena dua hasyiyah tersebut dicetak
menjadi satu kitab.
Syarah
dari
Minhajut Thalibin lainnya adalah Syarah Minhaj karya Taqiyuddin Al-Subki
(w. 757 H / 1259 M), Tuhfatul Muhtaj karya
Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H), Nihayatul
Muhtaj karya Imam Ramli (w. 1004 H/ 1596 M) dan Mugnil Muhtaj karya Khatib Syarbini (w. 977 H).
Selain berbentuk syarah, kitab Minhajut Thalbin juga terdapat format ringkasannya. Sebagaimana
dissebut dalam Penulisan Fiqih As-Syafi’i
ada lima kitab ringkasan dari kitab Minhaj
tersebut. Salah satunya yang populer di pesantren Indonesia adalah karya
Zakariya Al-Anshari (w. 926 H / 1502 M), berjudul Manhajut Thullab. Ringkasan tersebut kemudian kembali di-syarah-i oleh penulisnya sendiri yang
bernama lengkap Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshori
al-Sunaki al-Mishri al-Syafi’i dengan judul Fathul
Wahab, sebuah kitab syarah yang
populer di pesantren Indonesia.
Minhajut
Thalibin juga menelurkan sebuah kita berformat munazhim dengan judul Nadlam Muhtaj. Kitab tersebut dianggit oleh Syamsuddin Abu Abdullah
Muhammad bin Abdul Karim atau dikenal dengan sebutan Ibnu Musholli (w. 774 H).
Keluarga kedua dari
kitab-kitab fiqih yang tersebar di Indonesia adalah Taqrib atau dinamai pula
Ghayatul Ikhtisar. Kitab berformat matan
tersebut ditulis oleh Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Asfahani al-Syafi’i
atau dikenal dengan nama Ibnu Syuja’ (w. 593 H / 1196 M).
Kitab matan tersebut memantik beberapa fuqaha’ (ahli fiqih) untuk men-syarah-i. Tiga diantaranya yang terkenal
adalah Fathul Qarib al-Mujib fi Syarah
Taqrib atau dikenal juga dengan nama Al-Qaulul
Mukhtar fi Syarah Gayatul Ikhtishar yang ditulis oleh Abu Abdullah Muhammad
bin Qasim al-Ghazzi (w. 918 H). Kitab syarah
ini juga kembali di-syarah-i oleh
Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H ) dengan judul At-Tausyih ala Fathul Qorib al-Mujib.Fathul Qarib juga mendapatkan hasyiah dari Ibrahim bin Muhammad
al-Bajuri (w.1276 H), dengan judul Hasyiyah
Bajuri.
Syarah
lainnya ditulis oleh Khatib Syarbini (w. 977 H) dengan judul Al-Iqna fi Halli Alfazh Abi Syuja’. Dari
kitab syarah ini juga muncul kitab
dengan kitap Taqrir yang ditulis oleh
Awwad yang merupakan syarah dari Taqrib. Iqna juga terdapat kitab hasyiyah
yang ditulis oleh Bujairami (w. 1100 H) dengan judul Tuhfatul Habib.
Syarah
lainnya
ditulis oleh Taqiyuddin Ad-Dimsyaqi (w. 829 H) dengan judul Kifayatul Akhyar. Kitab ini populer di
kalangan pesatren diseringkali menjadi kitab fiqih yang dikaji secara reguler
di madrasah-madrasah tingkat aliyah.
Keluarga ketiga dari
kitab-kitab fiqih yang populer di Indonesia adalah matan kitab Qurratul Ain
yang ditulis oleh ulama asal India, Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari (w.
975 H). Kemudian Al-Malibari juga men-syarah-i
sendiri kitab tersebut dengan judul Fathul
Mu’in. Kitab syarah inilah yang
populer di kalangan pesantren ketimbang kitab matan-nya.
Dari Fathul Muin tersebut dua kitab hasyiyah. Pertama ditulis oleh Al-Sayyid
al-Bakri ibn al-Sayyid Muhammad Syatha’ al-Dimyati (w. 1310 H) dengan judul I’anatuth Thalibin sebanyak empat jilid.
Hasyiyah kedua ditulis oleh Alwi
Assegaf (w. 1300 H) dengan judul Tasyrih
al-Mustafidin.
Kitab Qurratul Ain ini selain di-syarah-i dalam kitab Fathul Muin, seorang ulama asal
nusantara yang bermukim di Mekkah, Syekh Nawawi al-Bantani, juga menuliskan syarah untuk kitab tersebut. Kitab itu
diberi judul Nihayatuz Zain. Kitab syarah ini tidak kalah populernya
dikalangan pesantren ketimbang Fathul
Muin sendiri.
Selain tiga “keluarga
besar” ketiga kita fiqih tersebut, dikalangan pesantren dan Islam Indonesia
juga banyak beredar kitab-kitab fiqih lain yang berdiri sendiri ataupun
membentuk keluarga yang lebih kecil. Mungkin – jika Allah meridlai – pada tulisan lain akan penulis kupas.
Ayung
Notonegoro, Penggiat
Literasi Banyuwangi
1 komentar:
kalau kitab safinatunnaja masuknya ke yang mana ?
Posting Komentar