menu

Minggu, 18 Oktober 2015

Bugyatul Mustarsyidin, Kitab Pijakan Awal Resolusi Jihad


Salah satu cetakan Kitab Bugyatul Mustarsyidin


(a). Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikapdan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.
(b) Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia dan Agama Islam.

Demikianlah keputusan yang kelak menggerakkan rakyat Indonesia, khususnya Jawa, bertempur dengan sengit melawan NICA di pertempuran Surabaya pada 10 Nopember 1945. Keputusan yang dikenal dengan Resolusi Jihad tersebut dikeluarkan oleh Hoobestur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini mengadakan pertemuan dengan semua konsul NU se-Jawa Madura di Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945.

Hadratusysyekh KH. Hasyim Asyari, Rois Akbar NU, tentu tidak sembarangan dalam mengeluarkan keputusan tersebut. Sebagai seorang yang begitu menguasai ilmu fiqih, tentu setiap keputusannya didasarkan pada keilmuwan sekaligus keyakinan beragamanya tersebut. Apalagi keputusan dalam bidang keagamaan, sebagaimana seruan untuk jihad fi sabilillah.

Dalam perspektif fiqih, jihad fi sabilillah dalam rangka membela negara (wilayah / balad ) diperbolehkan hanya untuk mempertahankan Darul Islam (Negara Islam). Lantas, apakah Indonesia merupakan darul islam  yang diperkenankan untuk jihad fi sabilillah dalam mempertahankannya?

Pertanyaan tentang status Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda), telah mengemuka dan diputuskan oleh Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 M. Dalam muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) adalah sebagai darul islam. Hal ini didasarkan pada kitab Bugyatul Mustarsyidin:

مسألة : كل محل قدر مسلم ساكن به في زمن من الأزمان يصير دار إسلام تجري عليه أحكامه في ذالك الزمان ومابعده وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لاحكما فعلم أن أرض بتاوي وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها قبل الكفار

“Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang'”hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Jawah (Nusantara) adalah “Daerah Islam” (darul Islam) karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.”

Menarik kiranya menelusuri kitab Bugyatul Mustarsyidin tersebut dalam kaitannya tentang penyebutan Batawi (Batavia / Jakarta), begitupula Jawah (Nusantara / Indonesia), sebagai darul islam.

Kitab Bugyatul Mustarsyidin dikarang oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar atau dikenal dengan julukan Al-Ba’alawi. Beliau dilahirkan di Tarim pada 29 Sya’ban 1250 H. Beliau seorang mufti di Hadramaut yang sehari-harinya beruzlah di Masjid Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sahran sekaligus menjadi imam besar disana. Konon, di masjid itulah kitab Bugyatul Mustarsyidin ditulis.
 
Suasana Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin
Kitab tersebut merupakan kumpulan fatwa ulama muta’akhirin dan beberapa fatwa yang sebelumnya telah ditulis dalam enam kitab fatawa. Diantaranya adalah Fatawa As-Sayyid Abdullah Husain Bafaqih, Fatawa Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Fatawa Sayyid Alawi  bin Saqaf al-Jufri, Fatawa Abu Bakar al-Asykhari, dan Fatawa Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi.

Kembali ke pertanyaan diatas, darimanakah Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwa bahwa Batawi dan Jawah pada umumnya adalah darul Islam?

Ada beberapa kemungkinan yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan diatas. Pertama, Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwanya sendiri. Kemungkinan fatwa tersebut dikeluarkan ketika ada muridnya yang berasal dari Indonesia yang menanyakan pertanyaan yang serupa.

Hal tersebut bukan tidak mungkin. Mengingat hubungan nusantara dan dan Hadramaut telah terjalin sejak lama. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwasannya Wali Songo, penyebar Islam awal di Indonesia, berasal dari salah satu kota di Yaman tersebut. Hubungan tersebut terutama dilakukan oleh kalangan habaib yang banyak tinggal di Indonesia. Ada keterbatasan referensi bagi penulis untuk meneliti kemungkinan ini lebih jauh. Insyaallah pada tulisan lain akan dibahas.

Kemungkinan kedua, Habib Abdurrahman Ba’alawi mengutip tentang status Betawi ataupun Jawah itu berasal dari kitab Fatawa Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Pendapat ini, penulis kira, masih prematur. Namun, setidaknya tulisan ini, bisa menjadi rintisan untuk menjawab pertanyaan diatas.

Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M), memiliki hubungan yang cukup harmonis dengan murid-muridnya yang berasal dari Jawah. Hubungan harmonis tersebut ditandai dengan perhatiannya terhadap mas’alatul jawiyah  (Masalah-masalah dari Jawah). perhatian tersebut tampak dari karyanya yang berjudul Al-Durrat al-Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil Jawiyyah. Dalam penelitian Azyumadri Azra kitab tersebut tak diketahui membahas tentang permasalahan apa. Namun, tidak mungkin permasalahan tentang Jawah yang diajukan ke Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi juga menanyakan tentang status Jawah itu sendiri dalam hukum Islam. 

Salah satu murid dari Sulaiman Al-Kurdi yang berasal dari Indonesia adalah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812 M). Menurut Steenbrink (1984) Al-Banjari seringkali meminta fatwa tentang permasalahan yang terjadi di tanah airnya. Salah satu permasalahan yang pernah ditanyakan adalah tentang kebijakan Sultan Banjar  untuk mendenda rakyatnya yang tidak melaksanakan sholat Jum’at.

Hubungan Al-Banjari dengan Sulaiman Al-Kurdi ini menarik untuk diamati, mengingat kisah kepulangannya ke tanah air. Al-Banjari bersama dua kawannya, Syekh Abdurrahman al-Mishri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi pada tahun 1186 H / 1773 M. Kepulangan Al-Banjari tersebut tidak langsung menuju Banjarmasin, daerah asalnya, namun menetap dulu di Betawi dalam beberapa bulan.

Saat tinggal di Betawi, Al-Banjari banyak melakukan aktivitas dakwah yang berpengaruh besar. Salah satu diantaranya adalah melakukan pembetulan arah kiblat di masjid-masjid yang berada di Betawi. Tidak menutup kemungkinan keberadaan Al-Banjari di Betawi berkirim surat ke Sulaiman Al-Kurdi untuk mempertanyakan status mempertahankan Betawi dan Jawah (nusantara) pada umumnya. Karena, pada masa-masa kedatangan Al-Banjari, Betawi dan sebagian besar pulau Jawa terlibat dalam perlawanan menghadapi Belanda. 

Sebagaimana dikemukakan diawal, tulisan ini merupakan rintisan yang masih bersifat prematur, tentu masih banyak hal yang perlu dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut. Namun terlepas dari asal muasal pendapat tersebut, tulisan Habib Abdurrahman Ba’alawi di kitab Bugyatul Mustarsyidin tak dapat dipungkiri telah menjadi pijakan ulama Nusantara untuk berjihad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Tidak ada komentar: