menu

Jumat, 12 Juli 2013

Ramadan Bulan Membaca



ilustrasi

Ramadan adalah bulan spesial. Begitu spesialnya bulan ini sehingga banyak julukan yang disematkan. Ramadan disebut bulan ampunan (syahrul magfiroh) karena pada bulan ini Allah menebar ampunan kepada hamba yang memohonnya. Ramadan juga disebut bulan ibadah (syahrul ibadah) karena anjuran untuk memperbanyak ibadah dengan imbalan pahala yang berlipat. Ramadan juga layak disebut dengan syahrul qiroah, bulan membaca.

Ramadan layak disebut bulan membaca karena intensitas membaca umat Islam semakin meningkat dibanding bulan-bulan lainnya. Setidaknya hal ini terlihat dari tradisi tadarus dan huduran. Tadarus adalah tradisi membaca al-qur’an secara bersama-sama –  ada yang membaca dan ada yang menyimak –  setelah melaksanakan sholat tarawih atau setelah sholat-sholat fardu yang lain. Sedangkan huduran  adalah tradisi khas pesantren dimana para santri mengkhatamkan beberapa kitab kuning secara kilat selama Ramadan dengan metode bandongan. Huduran rata-rata ditempuh selama delapan jam per hari bahkan lebih. Seperti halnya di Pesantren Al-Anwari Kertosari Banyuwangi yang memulai huduran seusai sholat subuh sampai jam 08:30 WIB. Kemudian dilanjutkan setelah sholat duhur sampai menjelang magrib dengan istirahat sebentar untuk sholat ashar. Setelah sholat tarawih dilanjutkan lagi hingga jam sepuluh malam.

Ramadan juga layak disebut  bulan membaca karena pada bulan ini al-qur’an untuk pertama kalinya diwahyukan. Sebagaimana diketahui bersama, ayat yang pertama kali diturunkan adalah perintah untuk membaca, iqra’ bismirobbikalladzi kholaq – bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (QS. Al-Alaq [96]:1). Hal ini berarti Ramadan tidak hanya diperingati sebagai hari turunnya al-qur’an (nuzulul qur’an), namun juga sebagai momentum peringatan perintah untuk membaca.

Peringatan perintah untuk membaca menjadi penting mengingat besarnya manfaat membaca. Terkait hal ini, Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya menjelaskan lafad iqra (bacalah) dikaitkan dengan bentuk ilmu. Menurutnya ilmu terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu yang berbentuk ingatan/pemahaman (ilmud dahni), ilmu yang berbentuk ucapan (ilmul lisan), dan ilmu yang berbentuk tulisan (ilmul kitabah). Masing-masing ilmu memiliki ujung yang berupa ingatan, lafad, dan huruf. Sedangkan huruf itu sendiri telah menghimpun ingatan dan lafad. Dengan demikian melalui membaca dapat memperoleh tiga jenis ilmu sekaligus, sehingga Allah memerintah manusia untuk membaca.

Minggu, 07 Juli 2013

Atlas Wali Songo

Kepercayaan Kapitayan termasuk dalam kategori Nihlah, ada bekasnya tetapi tidak lagi diketahui siapa pembawanya dan ritual keagamaannya. meskipun demikian, berbagai hikmah yang ada di dalamnya patut kita ambil dan perlu kita selamatkan, sehingga keberagamaan kita berakar kuat dan memiliki pijakan historis. Menurut ahlusunnah waljamaah, agama di kategorikan secara proporsional, yakni Ad-din, millah dan nihlah. kepercayaan Kapitayan ini masuk kedalam kategori Nihlah. Demikian KH Said Aqil Siradj memberikan sedikit gambaran tentang isi buku ini dalam kata pengantarnya. Dan kini bisa anda baca di Rumah Baca Mawar

Tak Sempurna





Novel yang  bercerita tentang dunia pendidikan di suatu kota-yang-tak-disebutkan-namanya di Indonesia. Kami lebih senang menyebutnya Gotham-nya Indonesia. Suatu kota di mana anak-anak dibesarkan di tengah keluarga yang tak memberikan kasih sayang, kehidupan bermasyarakat yang tak memberi harapan, dan kehidupan bernegara yang tak menjanjikan apa-apa kecuali perang-perang politik kepentingan memuakkan. Di kota semacam itu, sulit sekali menemukan contoh dan teladan yang baik, sekalipun dari kalangan tokoh-tokoh agama. Di kota itulah sekolah menjadi sekadar tempat “penitipan anak” bagi orangtua yang sibuk atau “tempat pembuangan anak” bagi orangtua yang tak peduli pada mereka. Juga ajang adu gengsi. Sementara itu, di tengah semua kekacauan sistem pendidikan, rekrutmen tenaga pengajar yang penuh kecurangan, dan kurikulum pendidikan yang berantakan, anak-anak ini masih ditekan dengan beban pelajaran yang kelebihan muatan, tugas-tugas, les panjang persiapan ujian, try out, ujian nasional, dan seterusnya. Dan kini bisa di baca di Rumah Baca Mawar

Minggu, 21 April 2013

MEMAKNAI ULANG KELULUSAN



MEMAKNAI  ULANG KELULUSAN


Yaumul hisab, hari perhitungan, bagi para pelajar telah datang. Hari yang menjadi penentu kelulusan masa pendidikan di sekolah akan segera dihelat. Hari yang bertajuk Ujian Akhir Nasional atau biasa disingkat UAN, UNAS, atau UN ini telah sejak lama dinanti dan diharapkan, namun juga ditakuti oleh segenap pelaku pendidikan. Mulai Menteri Pendidikan, Gubenur, Wali Kota/ Bupati, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru dan terutama Murid dan Wali Murid. Tak ayal lagi persiapan untuk menyambut UN telah dimulai jauh-jauh hari. Mulai dari penambahan jam pelajaran, baik masuk lebih pagi atau pulang lebih sore, les dan melakukan bimbingan belajar diluar jam sekolah pun diakoni oeh para pelajar. Tak cukup itu, simulasi ujian (try out) dan latihan penyelesaian soal menjadi menu sehari-hari. Praktis selama semester dua hanya latihan-latihan soal yang didapat disekolah.


Tak hanya persiapan yang bersifat teknis, persiapan mental dan spiritual pun tak kalah pentingnya mereka persiapkan untuk menghadapi UN. Doa bersama digelar dimana-mana, bahkan ada salah satu sekolah yang menjadikannya menjadi rutinitas mingguan.

Sakralitas dan mandragunanya UN sebagai faktor (ter)utama kelulusan pelajar juga didukung oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, dana sebesar 600 milyar rupiah digelontorkan pemerintah pusat untuk menyukseskan perhelatan akbar ini. Jangan bayangkan betapa banyaknya uang enamratus milyar tersebut. Jika ditukar dengan uang seribu lembaran mampu menutupi beribu-ribu kali luas kabupaten Banyuwangi. Atau pun jika uang ribuan tersebut disusun berjajar maka akan mampu mengelilingi bumi lebih dari 663 kali atau setara dengan jarak bolak-balik antara bumi dan bulan. Atau jika ingin lebih humanis, uang ribuan tersebut dibagikan kepada fakir miskin, katakanlah membagi satu lembar uang seribu membutuhkan waktu sepuluh detik, sedangkan kita bekerja sehari selama delapan jam dan lima ari dalam sepekan, maka waktu yang diperlukan untuk menghabiskannya selama 868 tahun 17 hari lebih 160 menit. Mungkin orang Osing hanya bia bilang, “Byeeeek...” sambil salto-salto tujuh kali ke belakang.

Terlepas dari beragam polemik dan kontroversi tentang penyelenggaran ujian nasional, tentunya terdapat niatan mulia untuk menaikkan standard pendidikan di Indonesia. Namun niatan mulia tersebut banyak tak sampai ke relung nurani para kompenen yang terlibat penyelenggaraan UN. Pandangan-pandangan pragmatis untuk meraih kelulusan mengantarkan terhadap tindak kecurangan yang terkesan sistemik. Mulai kebocoran soal, contek masal, joki, pembelian kunci jawaban, sampai-sampai kongkalikong antar pihak pengawas dan pihak sekolah demi “amannya” proses ujian.

Tentunya hal tersebut mencederai tujuan dasar diselenggarakannya ujian. Ujian yang tujuan dasarnya menguji kemampuan peserta didik dalam menyerap materi yang diujikan untuk menilai layak ataukah tidak untuk dinyatakan lulus akhirnya berubah hanya menjadi ajang “sandiwara” formaliltas bahwa sekolah itu harus diakhiri dengan ujian. Ujian nasional 2013 yang menggunakan dua puluh variasi soal menjadi indikator betapa parahnya praktek kecurangan pada pelaksanaan UN.

Bukannya tanpa alasan adanya oknum-oknum yang melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satunya adalah pengkultusan terhadap kelulusan yang ditandai dengan mendapatkan ijazah. Bagaimana tidak, ijazah telah menjadi keris empu gandring yang ampuh untuk menaklukan kerasnya zaman yang disebut-sebut sebagai zaman globalisasi ini. Hampir semua bidang pekerjaan mulai yang remeh temeh sampai yang berbobot membutuhkan kartu truf bernama ijazah. Jadi tidak heran jika banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan selembar ijazah dengan menggunakan berbagai cara, baik yang halal maupun yang haram, demi “menjamin” masa depannya.

Paradigma seperti diatas tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena sistem yang berlaku saat ini ebih senang terhadap hal yang sah secara formal ketimbang bukti nyata. Namun perlu diingat ijazah kelulusan bukanlah modal utama kesuksesan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Banyak orang yang berijazah (maaf) yang nganggur, dan tak sedikit orang yang tak berijazah yang meraih sukses dan kaya raya. Kelulusan pun bukan menjadi penanda seseorang itu pandai dan yang tidak lulus itu tidak pintar. Banyak siswa yang berprestasi di sekolahnya justru ketika UN divonis tidak lulus, sedangkan yang biasa-biasa saja justru mendapatkan kelulusan dengan nilai yang baik. 

Banyak contoh orang sukses tanpa ijazah.  Subhash Chandra merupakan salah satu konglomerat India, pendiri Essel Propack Limited mampu menjadikannya menjadi orang kaya.  Majalah Forbes edisi Maret 2009 menempatkan Chandra di urutan 647 orang terkaya dunia dengan kekayaan mencapai 1,1 miliar dollar AS. Bahkan Alan Gerry yang juga tidak menamatkan pendidikan SMA, mampu menjadi biliuner dengan menjadi pengusaha TV kabel yang sukses.

Di Indonesia juga terdapat  orang sukses tanpa ijazah. Sebut saja seorang motivator dan pengusaha sukses bernama Andrie Wongso yang bergelar SDTT alias akronim dari Sekolah Dasar Tidak Tamat. Begitu pula dalam sejarah negara Indonesia yang pernah memiliki Wakil Presiden yang tak berijazah yaitu Adam Malik. Namun wapres ketiga Republik Indonesia ini jangan diragukan agi dalam kemampuan politik dan diplomasinya.

Yang menjadi titik tekan bukan pada penting atau tidaknya nilai kelulusan ataupun ijazah, tapi bagaimana memandang kelulusan maupun ijazah sebagai suatu yang porposional. Pengkultusan terhadap kelulusan dan ijazah yang membabi buta dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli baik buruk itulah yang menjadi fokus kajian ini. Selamanya ijazah dan kelulusan itu penting dan sangat berguna dalam kehidupan yang menuntut formalitas pendidikan ini.

Kisah Ajib Rosidi, seorang sastrawan kawak Indonesia, bisa menjadi renungan bersama. Beliau memutuskan tidak mengikuti ujian akhir semasa SMA dikarenakan tersebar isu bahwa telah terjadi kecurangan dengan membocorkan soal-soal ujian. Agar tidak terkena imbas dari kecurangan tersebut dan menjaga “ke-syubhat-an” kelulusannya, beliau mogok ujian. Lalu beliau banyak belajar dan membaca sebagai upaya tandingan bahwa tanpa ijazah dan kelulusan mampu menjadi orang sukses. Akhirnya, beliau menjadi dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di negara Jepang dengan mengajar bahasa Indonesia. Beliau juga mengarang tidak kurang dari lima puluh buku.

 Dari kisah ini semakin jelas bahwa kemampuan lah yang menjadi faktor utama kesuksesan. Jadi  tak perlu menghalalkan cara-cara curang untuk meraih kelulusan. Banyak cara untuk meraih kesuksesan. Caranya tergantung seberapa besar kemauan kita untuk belajar dan berjuang. Nabi Muhammad bersabda pada Siti Aisyah: “Ajruki alaa qodri nasbik- ganjaran untukmu tergantung seberapa usahamu.”
Jika kita belajar dan berjuang secara sungguh-sungguh kita akan eraih kelulusan dan kesuksesan.
Selamat belajar dan berjuang, selamat berujian tanpa kecurangan.

Ayung Nitinegara, Aktivis IPNU Banyuwangi.

Rabu, 27 Februari 2013

Bhotho Lurah


Desa Pelaosan begitu meriah. Gambar-gambar bertebaran di setiap sudut desa. Mulai dari yang ukuran polio sampai ukuran baliho. Ada yang bergambar orang memakai dasi yang dipadu dengan jas sebagai bukti keprofisionalan dan keintelektualannya. Ada juga yang berkopiah dan baju koko putih seolah-olah menampakkan keberagamaannya. Dan adapula yang bersafari sambil mengacungkan genggaman tangannya untuk menggambarkan semangatya.

Pilihan kepala desa kali ini berbeda dengan pemilihan kepala desa – kepala desa sebelumnya, dimana hanya memasang gambar hasil kebun, seperti jagung, kelapa, pisang, singkong, dan lainnya sebagai lambang setiap kandidat. 


Tak hanya sebatas gambar wajah, tapi juga sudah memakai berbagai slogan yang saling bersaing mutu untuk merebut simpati rakyat.

“Lanjutkan kepemimpinan cerdas dan bersih”. Begitu bunyi slogan dari Drs. Soeharto yang menjadi calon incumbent.

Beda latar belakang kandidat beda slogan pula. Haji Abdullah atau akrab dipanggil Haji Dullah, salah seorang tokoh masyarakat yang memimpin salah satu ormas keagamaan, memakai jargon, “Wujudkan desa agamis yang sejahtera”.

Begitu pula calon ketiga yang menjadi representasi para pemuda, Mulyono atau familiar disebut Cak Mul, mungusung jargon, “Dengan semangat muda, mengubah desa menjadi kota”.

Demam pemilihan kepala desa menjalar ke berbagai penjuru, tidak hanya dalam desa bahkan sampai pula ke luar desa. Pemilihan kepala desa selalu menjadi topik utama.

“Kaya’e Pak Lurah bakal kepilih lagi.” Ujar Sarmin di pos ronda.

“Iya.. Keputusannya membuat lapangan bola baru akan mampu merebut simpati para pemuda untuk memilihnya.” Timpal Kardi menganalisis kebijakan Pak Lurah dengan gaya bak pengamatan politik yang sering muncul di televisi.

“Kalau saya menjagokan Haji Dullah.” Rahmat menanggapi.

“Dia sosok yang baik dan agamis, gak neko-neko hidupnya. Pasti banyak yang simpatik kepada beliau.” Lanjutnya.

“Benar Haji Dullah berpeluang menempel ketat Pak Lurah. Setelah saya melakukan survey kecil-kecilan dibeberapa kantong suaranya Pak Lurah banyak yang mendukung Haji Dullah.” Ujar sang pengamat politik kampung, Kardi.

“Kalau menurutmu peluangnya Mulyono bagaimana?” Tanya Sarmin ke Kardi.

“Dia tak ubahnya pion yang hanya dijadikan tumbal dalam setiap pertarungan. Tumbang dia.” Jawab Kardi.
“Alah sok tahu kamu Kar.” Bentak Karmin yang merupakan saudara jauhnya Mulyono.

“Kamu saja Min yang kurang pergaulan.” Kardi tersulut emosinya.

“Wes..wes…” Sarmin melerainya.

Semakin dekat waktu pemilihan semakin panas dan sensitif perbincangan tentang pilkades, pemilihan kepala desa. Apalagi dibumbui gerak para petaruh yang memanaskan situasi. Namun perbincangan calon kepala desa mengerucut kepada dua kandidat, Lurah lama dan Haji Dullah. Pada bursa taruhan para Bhotho Lurah, menempatkan keduanya sebagai calon kuat. Sedangakan Cak Mul dianggap sebagai bawang alias pelengkap.

“Kamu cari sebanyak mungkin bhotho-bhotho cilik dari dalam desa yang pegang Mulyono. Kamu kasih penawaran yang menguntungkan mereka agar mereka mau memilih Mulyono. Gunakan uang ini untuk notoi Pak Lurah dan Haji Dullah.” Tarmin, si Bhotho besar, menginstruksikan kepada kedua anak buahnya, Udin dan Tarjo.

Meluncurlah dua bhotho suruhan Tarmin untuk melakukan transaksi perjudian. Ada yang model ashor setengah yaitu dua suara Pak Lurah atau Haji Dullah sama denga satu suara Cal Mul. Ada juga yang model ngepoor yaitu perhitungan suara Pak Lurah atau Haji Dullah dimulai dari min, mulai min seratus, min seratus limapuluh, bahkan sampai min duaratus suara.

Taruhannya beragam. Mulai dari uang limaratus ribu, satu juta, bahkan sampai mendekati sepuluh juta. Ada pula yang mempertaruhkan kambing, sapi, sepeda motor atau bahkan menggadaikan sertifikat rumah atau kebun dan sawahnya. Perjudian yang tak hanya bemotif uang tapi juga gengsi dan tradisi.

Udin dan Tarjo sukses menjalankan perintah sang bos. Semua petaruh-petaruh kelas rencek menjagokan Cak Mul. Sedangkan Pak Lurah dan Haji Dullah dimonopoli oleh Udin dan Tarjo saja. Jika ada yang menjagokan Pak Lurah dan Haji Dullah, Udin atau Tarjo akan menantangnya dengan penawaran yang menguntungkan lawannya. Jika tidak mau, maka musuh dari lawannya tersebut dibeli agar mau bertaruh dengan Udin atau Tarjo saja. Tentunya juga dengan penawaran yang lebih menggiurkan.

Malam menjelang hari pemilihan adalah malam yang paling mendebarkan. Disetiap sudut desa banyak masyarakat yang bergadang. Malam itu menjadi malam penentuan siapa yang bakal menjadi kepala desa. Dari kalangan pemercaya mistis, mereka akan sering melihat ke langit untuk memastikan jatuhnya andaru, si bintang jatuh yang dipercaya sebagai perlambang keberuntungan. Rumah yang terlihat kejatuhan andaru ini dipercaya akan menjadi pemenang. Berbeda dengan para simpatisan kandidat kepala desa, mereka akan menjaga sekitar rumah si calon untuk memastikan tidak ada serangan ghaib, semacam sihir, yang dipercaya bisa merusak suara si calon. Selain itu, mereka juga berjaga-jaga dibeberapa tempat yang rawan dan sepi dari bentuk serangan fajar yaitu pembagian uang atau sembako untuk membeli suara masyarakat besok di hari pemilihan. Serangan fajar tidak hanya diotaki oleh tim sukses salah satu kandidat, tapi yang paling bahaya adalah yang dilakukan oleh para bhotho.

Ratusan masyarakat tumplek blek di lapangan untuk menyaksikan perhitungan suara setelah jam satu ditutup kesempatan pemungutan suara. Para bhotho hilir mudik memantau jalannya perhitungan. Ada yang berwajah tegang, harap-harap cemas, ada yang khusu’ seolah memanjatkan doa, ada pula yang menahan senyum melihat jagoannya memperoleh suara banyak. Tampak pula Udin dan Tarjo yang juga tidak kalah tegangnya. Maklum dia berdua menjadi bintang diantara ratusan bhotho yang hadir.
“Bos celaka, jagoan kita kalah semua.” Udin melaporkan hasil perhitungan suara pemilihan kepala desa kepada sang bos, Tarmin.

“Ha…ha…ha….” Diluar dugaan, Tarmin malah ketawa keras memperlihatkan gigi-gigi emas di gerahamnya.

“Kalah kok malah ketawa Bos?” Tarjo tidak memahami prilaku bosnya yang telah memodalinya duaratusan juta untuk taruhan kepala desa.

“Goblok kamu. Kalian berdua itu hanya umpan. Saya sengaja mengarahkan bhotho-bhotho cilik itu untuk menjagokan Mulyono. Sehingga mereka nantinya yang akan menggembosi suaranya Lurah dan Haji Dullah. Kita tidak perlu berkeringat mencari suara, biar mereka yang menyogok dan membujuk saudara dan teman-temannya.” Tarmin menjelaskan dengan diiringi gelak tawa.

“Terus uangnya gimana bos?” Udin masih belum faham.

“Hahahaha… saya ini bhotho kelas kakap musuhnya pun kelas kakap. Aku megang Mulyono melawan Koh Liong, bos tambak desa sebelah. Kamu tahu tidak?” Tanya Tarmin.

Udin dan Tarjo menggeleng.

“Empat ratus juta.” Ujar Tarmin memberitahu anak buahnya.

“HA HA HA….” Tarmin tertawa sekali lagi diikuti oleh Udin dan Tarjo. Mereka mentertawakan proses demokrasi yang telah dikangkangi oleh para bhotho lurah protolan sekolah dasar. 


Ayung Notonegoro

Sabtu, 09 Februari 2013

Sang Penambang



“Huh…huh…huh” Nafas Karmin memburu.
Shubuh itu sudah ketiga kalinya Karmin menelusuri tebing-tebing kaldera gunung ijen memikul dua keranjang belerang sekitar delapan puluh kilogram.
Seiring nafasnya yang terus berpacu cepat, Karmin melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak berkelok sepanjang tiga setengah kilometer mulai dari dapur tempat menambang belerang di mulut kawah hingga di tempat penimbangan di Paltuding. Dengan rute sempit menyusuri kelok tebing yang bersanding jurang. Suatu pekerjaan yang senantiasa dibayangi maut.
Pekerjaan yang sudah duapuluh tahun ditekuninya, bersama dengan ratusan penambang lainnya, tak pernah menimbulkan tanya, kapan aku harus berhenti bekerja mempertaruhkan nyawa seperi ini?
Kesadaran alam pikir mereka hanyalah kecemasan membayangkan kehidupan.
“Kenapa sampean mau bekerja seperi ini?” Tanya seorang pengunjung kawah Ijen kepada salah satu penambang.
“Saya takut?” Jawabnya.
“Takut kenapa pak?”
“Takut lapar” Jawabnya penuh ironi
Ketakutan seperti itulah yang membayangi hari-hari para penambang, termasuk Karmin di shubuh itu.
Karmin terus memaksa otot-ototnya yang membatu laksana tebing-tebing gunung untuk memikul belerang dengan harapan memperoleh upah tujuhratus rupiah perkilonya. Tak lebih. Tak pernah terlintas pikiran tentang alur bisnis indusri belerang yang ratusan ton perharinya dengan omzet ratusan juta itu mengalir ke kantong-kantong siapa? Karmin tak pernah mengerti dengan gurita kapitalis yang terus menyedot keringat buruh-buruh sampai ke sumsum tuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Karmin hanya faham bahwa dia harus memikul belerang sebanyak mungkin untuk mendapatkan uang yang cukup agar bisa makan dan membayar biaya sekolah anak-anaknya.
Semua kekayaan alam, air, bumi dan isinya yang menyangkut hidup orang banyak dikuasai pemerintah unuk kesejahteraan rakyat Kalimat indah yang terpampang gagah di undang-undang dasar seakan mimpi yang hanya terjadi disurga kelak. Karmin tak peduli dengan semua itu, Karmin hanya teringat kata-kata istrinya semalam.
“Pak anake nedi kiriman damel mbayar SPP kale ujian…uhug..uhug” ungkapnya sambil diiringi batuk yang sudah setengah bulan tak terobati.
“Piro dek?”Tanya Karmin sambil meninabobokan anak-kecilnya yang baru diam dari tangisnya menahan lapar.
“Duaratus tujuhpuluhlimaribu.” Ungkap isrinya tanpa ada harapan kepastian.
Duaratus tujuhpuluhlimaribu itulah kata-kata yang terus terngiang ditelinga Karmin. Pikiran pendeknya bermatematika sederhana, uang untuk sekolah anak duaratus tujuhlimaribu ditambah biaya berobat isrti duapuluhlimaribu, beli beras dan kebutuhan sehari-hari enampuluhribu selama satu minggu, maka harus memikul belerang setidaknya limaratuslimabelas kilogram dengan harga tujuhratus rupiah per kilonya. Limaratuslimabelas kilogram belerang harus dibawahnya sebanyak enam sampai tujuh kali dengan beban tujuhpuluh sampai delapan puluh kilogram. Betapa beratnya.
Jam satu dini hari, Karmin berangkat seorang diri mendaki gunung ijen dengan tekad bulat dan kecemasan yang telah memenuhi seluruh simpul otaknya. Sebuah sugesti kecemasan absurd yang menjadi multivitamin para penambang menghadapi dinginnya puncak ijen dan menyengatnya bau belerang.
Dengan berkaos tipis hadiah dari partai politik bergambar calon legeslatif, yang sekarang entah kemana janji-janjinya memperjuangkan rakya miskin, dilapisi dengan mantel plastik ala kadarnya, sepatu boat usang,  lampu senter terikat di kepala, dan tak lupa keranjang belerang, Karmin menembus kegelapan malam berkabut gunung ijen.
Hanya bermodal bismillah dan nekad tanpa berfikir keselamatan jiwa pada medan perang pengancam jiwa tanpa senjata, tebing-tebing kawah ijen. Apalagi harapan untuk mendapat asuransi jaminan sosisal tenaga kerja. Mungkin mereka dianggap bukan manusia pekarja yang perlu diasuransi?
Wolongpolohtelu kilo” Ujar penimbang yang menimbang belerang dibawa Karmin di pos penimbangan. Satu kilometer sebelum puncak.
Empatratus tigapuluhdua kilogram kekurangan belerang yang harus dipikul melecut Karmin untuk segera bangkit menyonsong belerangnya. Diiringi koor tangis anaknya semalam yang terus terngiang-ngiang ditelinga menjadi penyemangat, lebih tepatnya pemilu hati, untuk segera memenuhi targetnya.
Shubuh, Karmin mendaki untuk kedua kalinya.

Kamis, 07 Februari 2013

Dilema Valentine


“Wah, parah ni.”  Irul yang baru datang di camp bersungut-sungut seraya membanting badannya duduk dikursi.

Opo’o?”  Tanya Kholik yang sejak tadi berada di camp.

“Coba pikir Lik, sekolahan sebelah itu diliburkan karena besok mau ngadain festival valentine day, parah nggak?” Irul menjelaskan dengan meletakkan jari telunjukknya dikening.

Di camp, tempat berkumpul  para pemuda dari beragam latar belakang, itu Rohim menanggapi,
Loh, masalah buat kamu?”

“Jelas dong. Sekolah itu lembaga pendidikan, pendidikan ilmu pengetahuan ataupun pendidikan moral. Masa’ pake ngadain valentine-an. Itu kan acara amoral.”

“Kok bisa amoral?”

Loh wong disana diumbar berbagai kemaksiatan. Memang sih di sekolah tersebut tidak ada acara minum minuman keras atau pesta mesum, tapi apa dijamin kelanjutannya diluar?” Irul memburu.

“Benar, tahun kemarin aja, ada beberapa siswi yang ditemukan mabuk waktu valentine.”  Dani menguatkan argumentasi Irul.

“Iya ya….”  Ibnu yang sejak tadi sibuk membaca koran terpancing.

“Kenapa sih kok diadakan acara valentine-an segala, kalau cuma untuk merayakan hari kasih sayang? Bukankah ini semacam ada konspirasi internasional untuk merusak moral pemuda dengan dalih hari kasih sayang?” Lanjut Ibnu.

“Ya jika dilihat dari sejarahnya sendiri, memang ada semacam momentum untuk dijadikan sebagai peringatan hari kasih sayang. Dimana seorang uskup rela mati demi membela cinta. Ya mungkin semacam peringatan maulid Nabi Muhammad, kenapa harus menunggu bulan robiul awal kalau untuk meneladani kanjeng nabi?”  Rohim menimpali.

“Ya tidak bisa kita samakan begitu saja dengan peringatan maulid nabi. Jelas beda.” Irul membantah.

“Yang bermasalah itu isinya, jika maulid nabi diisi dengan pengajian tapi jika valentine diisi dengan kemaksiatan.” Dani menyambung.

“Nah, kemaksiatan ini lah yang saya kwatirkan sebagai bentuk  konspirasi besar.” Ujar Ibnu.

“Maksudnya?”

Rabu, 06 Februari 2013

BUKU: Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan

Judul : Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Kompas
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal: xxx+374 hlm

 
Buku berjudul Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, karya Zuhairi Misrawi, salah satu intelektual muda NU, mengulas secara cukup komprehensif sosok Kyai Hasyim dari sisi pemikirannya yang moderat, serta komitmennya terhadap keumatan dan kebangsaan. Sosok Kyai kharismatik dan asketis yang merasa dirinya tetap sebagai bagian dari umat (Islam) sekaligus sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia. Berjuang melalui pemikiran keagamaan di lingkungan pesantren dan masyarakat pedesaan serta melakukan aksi nyata mengangkat senjata melawan penjajah demi membela tanah air Indonesia.dan buku ini bisa di baca di Rumah Baca Mawar

Selasa, 05 Februari 2013

Buku : Hidup Berawal dari Mimpi



           
 Novel musical itu kata yang tepat untuk biku yang satu ini, lirik lagu yang di bawakan oleh Bondan and feat 2 black, di kemas menjadi satu cerita yang apik dengan gambar ilustrasi fotografi untuk mendukung cerita pada buku ini, tentang cinta, kehidupan, motivasi, persahabatan sampai kegalauan yang terjadi pada para pecinta. Dan buku ini sudah ada di Rumah Baca Mawa.

Rabu, 30 Januari 2013

Refleksi Maulid Nabi Bagi Remaja



Refleksi Maulid Nabi Bagi Remaja


Sepanjang bulan Rabiul Awal peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW swnantiasa dilaksanakan diberbagai tempat. Mulai masjid, mushollah, sekolah, lingkungan RT, instansi pemerintah, bahkan sampai istana negara pun memperingatinya. Jika merujuk pada awal mula penyelenggaraan maulid nabi yang dipelopori oleh Sultan Salahudin Al-Ayubi (1173-1179 M) bertujuan untuk meneladani Nabi Muhammad agar menjadi motivasi bagi umat islam yang kala itu sedang menghadapi perang salib.
Perintah peneladanan (uswah) pada Nabi Muhammad telah termaktub dalam al-qur’an: laqod kaana lakum fi Rosulillahi uswatun hasanah. – sesungguhnya telah ada pada Rosulullah (Nabi Muhammad) suri tauladan yang bagus bagi kalian (QS Al-Ahzab:21). Lafad uswatun (suri tauladan) pada ayat diatas menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Ash-Showi merupakan bentuk isim yang bemakna masdar dari lafad al-ittisaau yang berarti pengikut. Dengan artian mengikuti Rosulullah dalam ucapan, perbuatan dan tindakan (Tafsir Showi  Juz III).
Pada umumnya,proses peneladanan terhadap Nabi Muhammad, sebagaimana dalam ceramah-ceramah maulid nabi, cenderung terhadap nilai-nilai global keluhuran beliau. Patut kiranya proses peneladanan Nabi Muhammad berdasarkan periodeisasi usia. Bagaimana masa kecil, beranjak remaja, menjadi pemuda, dewasa, dan tua Nabi Muhammad berlansung. Sehingga hal ini menjadi pedoman tauladan sesuai jenjang usia masing-masing, karena – pada umumnya – manusia cenderung meniru rekan sebayanya.
Selain itu, meneladani Nabi Muhammad berdasarkan periodeisasi  usia memungkinkan untuk mendidik seseorang menjadi figur yang mendekati Nabi. Meminjam istilahnya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) Nabi Muhammad bukanlah naabi tiban  secara mendadak dan tiba-tiba diangkat menjadi seorang nabi, tapi sebelum mengangkat beliau menjadi seorang nabi terlebih dahulu dikader oleh Allah semenjak kanak-kanak sampai usia emapat puluh tahun untuk menjadi insan yang siap untuk menyandang presikat nabi dan rosul. Masa kecil beliau yang penuh keprihatinan dan kemandirian, masa muda yang digembleng dalam perjuangan, dan masa dewasa yang dihiasi dengan kebijaksanaan  wajib menjadi role model bagi umatnya sesuai dengan usia masing-masing. Namun hal ini tidak berarti terbatas hanya pada usia tertentu, teladan nabi berlaku sepanjang masa, shohih ala kulli jaman wal makan.
Remaja sebagai sosok yang masih mencari jati diri sudah selayaknya menjadikan masa remaja Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai suri tauladan. Bukan lagi para selebriti yang hidupnya hedonis dan glamour dijadikan sebagai protothype kehidupan ideal remaja.

Rabu, 09 Januari 2013

BALADA NEGERI HIJAU

BALADA NEGERI HIJAU




















Ini balada suatu negeri\\
Negeri yang berebut menjadi paling hijau\\
Saling aku benar tuduh salah\\
“Bukan engkau, akulah yang hijau”\\
Tanpa sadar hijaunya pucat\\
Tercemar hijau yang tak sehat\\
“Bukan begitu, hijaulah”\\
Coba mengasih tahu\\
Meski dirinya mulai membiru\\
“Sekali hijau, tetaplah”\\
Bentak hijau yang suram\\
Kepada hijau yang beragam\\
“Inilah aku, hijau saat ini”\\
Menawarkan kehijauannya\\
Walau masih ranum warnanya\\
“Semua hijau, menghijaulah\\
Hijau sejahtera hijau damai”\\
Pungkas hijau murni\\


Oleh: Ayung Nitinegara\\

Senin, 07 Januari 2013

Reunian


Lama sekali aku tak mengunjungi blogku ini, blog yang dulunya ku bangun dengan sejuta harapan dan asa, blog yang mungkin bisa menemaniku untuk mencapai sesuatu yang ku impikan selama ini, meskipun mimpi itu semakin hari bukan semakin focus melainkan lama kelamaan menjadi blur dan kemudian menjadi abstrak.
Malam ini kucoba sedikit demi sedikit mengumpulkan setiap resolusi yang pernah ada, agar bisa menjadi suatu gambaran meskipun hanya berupa dot-dot dengan beribu warna, yang ku harap kelak menjadi singkron dan mau menampakkan wujudnya.
Ya semangat penulis kendor, sekendor celana jeans yang semakin hari semakin kebesaran, sudah banyak waktu aku luangkan di toko-toko buku untuk membeli sejumlah buku atau sekedar berhayal untuk memiliki semuanya, panasnya Jl.Semarang tak lagi menjadi kegiatanku.
Motivasi? Motivasi apalagi yang harus di anut, ketika hanya hati dan idealisme yang memegang kendali, dan sisa-sisa space diotak tak sanggup lagi menampung file-file yang banyak terinfeksi virus yang tak terkendali, terus menyebar dan berkembang biak, ada yang bertugas mematikan fungsi logika, ada yang menonaktifakan kreatifitas, dan ada juga yang bertugas memupuk rasa malas. Semua berjalan dengan automatic.
Format? Simple kan, semua akan hilang dan kosong lagi, kosong layaknya tong kosong di tengah jalan yang tak nyaring dan hanya menjadi bahaya bagi pengguna jalan. Melupakan semua mimpi-mimpi dan kerepotannya,  Hidup tak sesimple itu, terkadang hidup itu rumit, serumit source code.
Itulah kenapa RBM tak lagi ada gaungnya, tak ada lagi teriakan yang memekik seperti puisinya Khairil Anwar atau sefenominal resolusi jihad KH. Hasyim Asyari ketika melawan penjajah kala itu. 
mega proyek RBM

Rumah baca mawar masih terus beterbangan di atas kepala, meskipun sesekali menghilang karna sudah bosan dengan janji-janji yang belum di tepati, tapi kemudian datang kembali dengan senyuman dan membawa prototype tentang apa yang akan terjadi bila dirinya bisa menjelma dari hanya suatu bayangan. Dengan semangat dia mempresentasikan mega proyeknya, suasana desa yang asri dengan anak-anak bermain ditaman ada yang sibuk membaca buku komik, novel, pelajaran, dan ada yang sibuk menulis puisi, prosa, cerpen. Dan di sebelah musholla tampak anak usia SD belajar bahasa asing dan mengaji, decak kagumku belum selesai ketika sang angan membuka lembar selanjutnya, di ruangan yang tidak begitu besar dan dinding-dinding yan tertutup buku para pemuda-pemudi berkumpul untuk berdikusi, saling beradu asumsi dalam menyikapi suatu kasus yang sedang terjadi di desa tersebut, apa itu di pinggir jalan kog sibuk banget kelihatannya, itu entrepreneur muda dari desa ini, sebelah utara itu berjualan es cendol, dan yang berdasi itu dalam ruangan ber AC itu, pemuda desa ini yang mencoba mengelolah koprasi dan bank simpan pinjam, agar perekonomian di desa ini semakin menggeliat dan bersinergi satu sama lain, coba lihat jurang pemisah itu lambat laun semakin tak terlihat, dan coba buka lagi lembar selanjutnya.. memaksa pada sang angan tapi dengan nada keras sang angan menolaknya, jangan, jangan sampai kau membuka lembar selanjutnya aku takut kamu gila karna mimpi-mimpimu sendiri, karna sebenarnya masih banyak yang indah-indah untuk kita rencanakan dan kita wujudkan. Terasa seperti dalam film harry potter karna prototype itu tampak nyata seperti LED 3D.
Lumayan mengobati rinduku, meskipun aku merasa masih haus dengan sari bunganya yang belum sempat aku menghabiskannya atau mungkin tak akan habis.