ilustrasi |
Jumat, 12 Juli 2013
Minggu, 07 Juli 2013
Atlas Wali Songo
Kepercayaan Kapitayan termasuk dalam kategori Nihlah, ada
bekasnya tetapi tidak lagi diketahui siapa pembawanya dan ritual
keagamaannya. meskipun demikian, berbagai hikmah yang ada di dalamnya
patut kita ambil dan perlu kita selamatkan, sehingga keberagamaan kita
berakar kuat dan memiliki pijakan historis. Menurut ahlusunnah
waljamaah, agama di kategorikan secara proporsional, yakni Ad-din, millah dan nihlah. kepercayaan Kapitayan ini masuk kedalam kategori Nihlah. Demikian KH Said Aqil Siradj memberikan sedikit gambaran tentang isi buku ini dalam kata pengantarnya. Dan kini bisa anda baca di Rumah Baca Mawar
Tak Sempurna
Novel yang bercerita tentang dunia pendidikan di suatu
kota-yang-tak-disebutkan-namanya di Indonesia. Kami lebih senang menyebutnya Gotham-nya
Indonesia. Suatu kota di mana anak-anak dibesarkan di tengah keluarga yang tak
memberikan kasih sayang, kehidupan bermasyarakat yang tak memberi harapan, dan
kehidupan bernegara yang tak menjanjikan apa-apa kecuali perang-perang politik
kepentingan memuakkan. Di kota semacam itu, sulit sekali menemukan contoh dan
teladan yang baik, sekalipun dari kalangan tokoh-tokoh agama. Di kota itulah
sekolah menjadi sekadar tempat “penitipan anak” bagi orangtua yang sibuk atau
“tempat pembuangan anak” bagi orangtua yang tak peduli pada mereka. Juga ajang
adu gengsi. Sementara itu, di tengah semua kekacauan sistem pendidikan,
rekrutmen tenaga pengajar yang penuh kecurangan, dan kurikulum pendidikan yang
berantakan, anak-anak ini masih ditekan dengan beban pelajaran yang kelebihan
muatan, tugas-tugas, les panjang persiapan ujian, try out, ujian
nasional, dan seterusnya. Dan kini bisa di baca di Rumah Baca Mawar
Minggu, 21 April 2013
MEMAKNAI ULANG KELULUSAN
MEMAKNAI ULANG KELULUSAN
Yaumul hisab, hari
perhitungan, bagi para pelajar telah datang. Hari yang menjadi penentu
kelulusan masa pendidikan di sekolah akan segera dihelat. Hari yang bertajuk
Ujian Akhir Nasional atau biasa disingkat UAN, UNAS, atau UN ini telah sejak
lama dinanti dan diharapkan, namun juga ditakuti oleh segenap pelaku
pendidikan. Mulai Menteri Pendidikan, Gubenur, Wali Kota/ Bupati, Kepala Dinas
Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru dan terutama Murid dan Wali Murid. Tak ayal
lagi persiapan untuk menyambut UN telah dimulai jauh-jauh hari. Mulai dari
penambahan jam pelajaran, baik masuk lebih pagi atau pulang lebih sore, les dan
melakukan bimbingan belajar diluar jam sekolah pun diakoni oeh para pelajar.
Tak cukup itu, simulasi ujian (try out) dan latihan penyelesaian soal menjadi menu
sehari-hari. Praktis selama semester dua hanya latihan-latihan soal yang
didapat disekolah.
Tak hanya persiapan yang bersifat teknis, persiapan mental
dan spiritual pun tak kalah pentingnya mereka persiapkan untuk menghadapi UN.
Doa bersama digelar dimana-mana, bahkan ada salah satu sekolah yang
menjadikannya menjadi rutinitas mingguan.
Sakralitas dan mandragunanya UN sebagai faktor (ter)utama
kelulusan pelajar juga didukung oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, dana
sebesar 600 milyar rupiah digelontorkan pemerintah pusat untuk menyukseskan
perhelatan akbar ini. Jangan bayangkan betapa banyaknya uang enamratus milyar
tersebut. Jika ditukar dengan uang seribu lembaran mampu menutupi beribu-ribu
kali luas kabupaten Banyuwangi. Atau pun jika uang ribuan tersebut disusun
berjajar maka akan mampu mengelilingi bumi lebih dari 663 kali atau setara
dengan jarak bolak-balik antara bumi dan bulan. Atau jika ingin lebih humanis,
uang ribuan tersebut dibagikan kepada fakir miskin, katakanlah membagi satu
lembar uang seribu membutuhkan waktu sepuluh detik, sedangkan kita bekerja
sehari selama delapan jam dan lima ari dalam sepekan, maka waktu yang
diperlukan untuk menghabiskannya selama 868 tahun 17 hari lebih 160 menit.
Mungkin orang Osing hanya bia bilang, “Byeeeek...”
sambil salto-salto tujuh kali ke belakang.
Terlepas dari beragam polemik dan kontroversi tentang
penyelenggaran ujian nasional, tentunya terdapat niatan mulia untuk menaikkan
standard pendidikan di Indonesia. Namun niatan mulia tersebut banyak tak sampai
ke relung nurani para kompenen yang terlibat penyelenggaraan UN.
Pandangan-pandangan pragmatis untuk meraih kelulusan mengantarkan terhadap
tindak kecurangan yang terkesan sistemik. Mulai kebocoran soal, contek masal,
joki, pembelian kunci jawaban, sampai-sampai kongkalikong antar pihak pengawas
dan pihak sekolah demi “amannya” proses ujian.
Tentunya hal tersebut mencederai tujuan dasar
diselenggarakannya ujian. Ujian yang tujuan dasarnya menguji kemampuan peserta
didik dalam menyerap materi yang diujikan untuk menilai layak ataukah tidak
untuk dinyatakan lulus akhirnya berubah hanya menjadi ajang “sandiwara”
formaliltas bahwa sekolah itu harus diakhiri dengan ujian. Ujian nasional 2013
yang menggunakan dua puluh variasi soal menjadi indikator betapa parahnya
praktek kecurangan pada pelaksanaan UN.
Bukannya tanpa alasan adanya oknum-oknum yang melakukan
kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Banyak faktor yang menyebabkannya.
Salah satunya adalah pengkultusan terhadap kelulusan yang ditandai dengan mendapatkan
ijazah. Bagaimana tidak, ijazah telah menjadi keris empu gandring yang ampuh
untuk menaklukan kerasnya zaman yang disebut-sebut sebagai zaman globalisasi
ini. Hampir semua bidang pekerjaan mulai yang remeh temeh sampai yang berbobot
membutuhkan kartu truf bernama ijazah. Jadi tidak heran jika banyak orang
berlomba-lomba untuk mendapatkan selembar ijazah dengan menggunakan berbagai
cara, baik yang halal maupun yang haram, demi “menjamin” masa depannya.
Paradigma seperti diatas tidak bisa sepenuhnya disalahkan
karena sistem yang berlaku saat ini ebih senang terhadap hal yang sah secara
formal ketimbang bukti nyata. Namun perlu diingat ijazah kelulusan bukanlah
modal utama kesuksesan seseorang dalam mengarungi kehidupan. Banyak orang yang
berijazah (maaf) yang nganggur, dan
tak sedikit orang yang tak berijazah yang meraih sukses dan kaya raya.
Kelulusan pun bukan menjadi penanda seseorang itu pandai dan yang tidak lulus
itu tidak pintar. Banyak siswa yang berprestasi di sekolahnya justru ketika UN
divonis tidak lulus, sedangkan yang biasa-biasa saja justru mendapatkan
kelulusan dengan nilai yang baik.
Banyak contoh orang sukses tanpa ijazah. Subhash Chandra merupakan salah satu
konglomerat India, pendiri Essel Propack Limited mampu menjadikannya menjadi
orang kaya. Majalah Forbes edisi Maret
2009 menempatkan Chandra di urutan 647 orang terkaya dunia dengan kekayaan
mencapai 1,1 miliar dollar AS. Bahkan Alan Gerry yang juga tidak menamatkan
pendidikan SMA, mampu menjadi biliuner dengan menjadi pengusaha TV kabel yang
sukses.
Di Indonesia juga terdapat orang sukses tanpa ijazah. Sebut saja seorang
motivator dan pengusaha sukses bernama Andrie Wongso yang bergelar SDTT alias
akronim dari Sekolah Dasar Tidak Tamat. Begitu pula dalam sejarah negara Indonesia
yang pernah memiliki Wakil Presiden yang tak berijazah yaitu Adam Malik. Namun
wapres ketiga Republik Indonesia ini jangan diragukan agi dalam kemampuan
politik dan diplomasinya.
Yang menjadi titik tekan bukan pada penting atau tidaknya
nilai kelulusan ataupun ijazah, tapi bagaimana memandang kelulusan maupun
ijazah sebagai suatu yang porposional. Pengkultusan terhadap kelulusan dan
ijazah yang membabi buta dengan menghalalkan segala cara tanpa peduli baik
buruk itulah yang menjadi fokus kajian ini. Selamanya ijazah dan kelulusan itu
penting dan sangat berguna dalam kehidupan yang menuntut formalitas pendidikan
ini.
Kisah Ajib Rosidi, seorang sastrawan kawak Indonesia, bisa
menjadi renungan bersama. Beliau memutuskan tidak mengikuti ujian akhir semasa
SMA dikarenakan tersebar isu bahwa telah terjadi kecurangan dengan membocorkan
soal-soal ujian. Agar tidak terkena imbas dari kecurangan tersebut dan menjaga
“ke-syubhat-an” kelulusannya, beliau mogok ujian. Lalu beliau banyak belajar
dan membaca sebagai upaya tandingan bahwa tanpa ijazah dan kelulusan mampu
menjadi orang sukses. Akhirnya, beliau menjadi dosen tamu di beberapa perguruan
tinggi di negara Jepang dengan mengajar bahasa Indonesia. Beliau juga mengarang
tidak kurang dari lima puluh buku.
Dari kisah ini
semakin jelas bahwa kemampuan lah yang menjadi faktor utama kesuksesan.
Jadi tak perlu menghalalkan cara-cara
curang untuk meraih kelulusan. Banyak cara untuk meraih kesuksesan. Caranya
tergantung seberapa besar kemauan kita untuk belajar dan berjuang. Nabi
Muhammad bersabda pada Siti Aisyah: “Ajruki
alaa qodri nasbik- ganjaran untukmu tergantung seberapa usahamu.”
Jika kita belajar dan berjuang secara sungguh-sungguh kita
akan eraih kelulusan dan kesuksesan.
Selamat belajar dan berjuang, selamat berujian tanpa
kecurangan.
Rabu, 27 Februari 2013
Bhotho Lurah
Desa Pelaosan begitu meriah. Gambar-gambar
bertebaran di setiap sudut desa. Mulai dari yang ukuran polio sampai ukuran
baliho. Ada
yang bergambar orang memakai dasi yang dipadu dengan jas sebagai bukti
keprofisionalan dan keintelektualannya. Ada
juga yang berkopiah dan baju koko putih seolah-olah menampakkan
keberagamaannya. Dan adapula yang bersafari sambil mengacungkan genggaman
tangannya untuk menggambarkan semangatya.
Pilihan kepala desa kali ini berbeda dengan
pemilihan kepala desa – kepala desa sebelumnya, dimana hanya memasang gambar
hasil kebun, seperti jagung, kelapa, pisang, singkong, dan lainnya sebagai
lambang setiap kandidat.
Tak hanya sebatas gambar wajah, tapi juga sudah
memakai berbagai slogan yang saling bersaing mutu untuk merebut simpati rakyat.
“Lanjutkan kepemimpinan cerdas dan bersih”.
Begitu bunyi slogan dari Drs. Soeharto yang menjadi calon incumbent.
Beda latar belakang kandidat beda slogan pula. Haji Abdullah atau akrab dipanggil Haji Dullah, salah seorang tokoh masyarakat yang memimpin salah satu ormas keagamaan, memakai jargon, “Wujudkan desa agamis yang sejahtera”.
Begitu pula calon ketiga yang menjadi representasi para pemuda, Mulyono atau familiar disebut Cak Mul, mungusung jargon, “Dengan semangat muda, mengubah desa menjadi kota”.
Beda latar belakang kandidat beda slogan pula. Haji Abdullah atau akrab dipanggil Haji Dullah, salah seorang tokoh masyarakat yang memimpin salah satu ormas keagamaan, memakai jargon, “Wujudkan desa agamis yang sejahtera”.
Begitu pula calon ketiga yang menjadi representasi para pemuda, Mulyono atau familiar disebut Cak Mul, mungusung jargon, “Dengan semangat muda, mengubah desa menjadi kota”.
Demam pemilihan kepala desa menjalar ke berbagai
penjuru, tidak hanya dalam desa bahkan sampai pula ke luar desa. Pemilihan
kepala desa selalu menjadi topik utama.
“Kaya’e Pak Lurah bakal kepilih lagi.” Ujar
Sarmin di pos ronda.
“Iya.. Keputusannya membuat lapangan bola baru
akan mampu merebut simpati para pemuda untuk memilihnya.” Timpal Kardi
menganalisis kebijakan Pak Lurah dengan gaya
bak pengamatan politik yang sering muncul di televisi.
“Kalau saya menjagokan Haji Dullah.” Rahmat
menanggapi.
“Dia sosok yang baik dan agamis, gak neko-neko
hidupnya. Pasti banyak yang simpatik kepada beliau.” Lanjutnya.
“Benar Haji Dullah berpeluang menempel ketat Pak
Lurah. Setelah saya melakukan survey kecil-kecilan dibeberapa kantong suaranya
Pak Lurah banyak yang mendukung Haji Dullah.” Ujar sang pengamat politik
kampung, Kardi.
“Kalau menurutmu peluangnya Mulyono bagaimana?”
Tanya Sarmin ke Kardi.
“Dia tak ubahnya pion yang hanya dijadikan tumbal
dalam setiap pertarungan. Tumbang dia.” Jawab Kardi.
“Alah sok tahu kamu Kar.” Bentak Karmin yang merupakan saudara jauhnya Mulyono.
“Alah sok tahu kamu Kar.” Bentak Karmin yang merupakan saudara jauhnya Mulyono.
“Kamu saja Min yang kurang pergaulan.” Kardi
tersulut emosinya.
“Wes..wes…” Sarmin melerainya.
Semakin dekat waktu pemilihan semakin panas dan
sensitif perbincangan tentang pilkades, pemilihan kepala desa. Apalagi dibumbui
gerak para petaruh yang memanaskan situasi. Namun perbincangan calon kepala
desa mengerucut kepada dua kandidat, Lurah lama dan Haji Dullah. Pada bursa
taruhan para Bhotho Lurah, menempatkan keduanya sebagai calon kuat. Sedangakan
Cak Mul dianggap sebagai bawang alias pelengkap.
“Kamu cari sebanyak mungkin bhotho-bhotho cilik
dari dalam desa yang pegang Mulyono. Kamu kasih penawaran yang menguntungkan
mereka agar mereka mau memilih Mulyono. Gunakan uang ini untuk notoi Pak Lurah
dan Haji Dullah.” Tarmin, si Bhotho besar, menginstruksikan kepada kedua anak
buahnya, Udin dan Tarjo.
Meluncurlah dua bhotho suruhan Tarmin untuk
melakukan transaksi perjudian. Ada
yang model ashor setengah yaitu dua suara Pak Lurah atau Haji Dullah sama denga
satu suara Cal Mul. Ada
juga yang model ngepoor yaitu perhitungan suara Pak Lurah atau Haji Dullah
dimulai dari min, mulai min seratus, min seratus limapuluh, bahkan sampai min
duaratus suara.
Taruhannya beragam. Mulai dari uang limaratus
ribu, satu juta, bahkan sampai mendekati sepuluh juta. Ada pula yang mempertaruhkan kambing, sapi,
sepeda motor atau bahkan menggadaikan sertifikat rumah atau kebun dan sawahnya.
Perjudian yang tak hanya bemotif uang tapi juga gengsi dan tradisi.
Udin dan Tarjo sukses menjalankan perintah sang
bos. Semua petaruh-petaruh kelas rencek menjagokan Cak Mul. Sedangkan Pak Lurah
dan Haji Dullah dimonopoli oleh Udin dan Tarjo saja. Jika ada yang menjagokan
Pak Lurah dan Haji Dullah, Udin atau Tarjo akan menantangnya dengan penawaran
yang menguntungkan lawannya. Jika tidak mau, maka musuh dari lawannya tersebut
dibeli agar mau bertaruh dengan Udin atau Tarjo saja. Tentunya juga dengan penawaran
yang lebih menggiurkan.
Malam menjelang hari pemilihan adalah malam yang
paling mendebarkan. Disetiap sudut desa banyak masyarakat yang bergadang. Malam
itu menjadi malam penentuan siapa yang bakal menjadi kepala desa. Dari kalangan
pemercaya mistis, mereka akan sering melihat ke langit untuk memastikan
jatuhnya andaru, si bintang jatuh yang dipercaya sebagai perlambang
keberuntungan. Rumah yang terlihat kejatuhan andaru ini dipercaya akan menjadi
pemenang. Berbeda dengan para simpatisan kandidat kepala desa, mereka akan
menjaga sekitar rumah si calon untuk memastikan tidak ada serangan ghaib,
semacam sihir, yang dipercaya bisa merusak suara si calon. Selain itu, mereka
juga berjaga-jaga dibeberapa tempat yang rawan dan sepi dari bentuk serangan fajar
yaitu pembagian uang atau sembako untuk membeli suara masyarakat besok di hari
pemilihan. Serangan fajar tidak hanya diotaki oleh tim sukses salah satu
kandidat, tapi yang paling bahaya adalah yang dilakukan oleh para bhotho.
Ratusan masyarakat tumplek blek di lapangan untuk
menyaksikan perhitungan suara setelah jam satu ditutup kesempatan pemungutan
suara. Para bhotho hilir mudik memantau
jalannya perhitungan. Ada
yang berwajah tegang, harap-harap cemas, ada yang khusu’ seolah memanjatkan
doa, ada pula yang menahan senyum melihat jagoannya memperoleh suara banyak.
Tampak pula Udin dan Tarjo yang juga tidak kalah tegangnya. Maklum dia berdua
menjadi bintang diantara ratusan bhotho yang hadir.
“Bos celaka, jagoan kita kalah semua.” Udin
melaporkan hasil perhitungan suara pemilihan kepala desa kepada sang bos,
Tarmin.
“Ha…ha…ha….” Diluar dugaan, Tarmin malah ketawa
keras memperlihatkan gigi-gigi emas di gerahamnya.
“Kalah kok malah ketawa Bos?” Tarjo tidak
memahami prilaku bosnya yang telah memodalinya duaratusan juta untuk taruhan
kepala desa.
“Goblok kamu. Kalian berdua itu hanya umpan. Saya
sengaja mengarahkan bhotho-bhotho cilik itu untuk menjagokan Mulyono. Sehingga
mereka nantinya yang akan menggembosi suaranya Lurah dan Haji Dullah. Kita tidak
perlu berkeringat mencari suara, biar mereka yang menyogok dan membujuk saudara
dan teman-temannya.” Tarmin menjelaskan dengan diiringi gelak tawa.
“Terus uangnya gimana bos?” Udin masih belum
faham.
“Hahahaha… saya ini bhotho kelas kakap musuhnya
pun kelas kakap. Aku megang Mulyono melawan Koh Liong, bos tambak desa sebelah.
Kamu tahu tidak?” Tanya Tarmin.
Udin dan Tarjo menggeleng.
“Empat ratus juta.” Ujar Tarmin memberitahu anak
buahnya.
“HA HA HA….” Tarmin tertawa sekali lagi diikuti
oleh Udin dan Tarjo. Mereka mentertawakan proses demokrasi yang telah
dikangkangi oleh para bhotho lurah protolan sekolah dasar.
Ayung Notonegoro
Sabtu, 09 Februari 2013
Sang Penambang
“Huh…huh…huh” Nafas Karmin memburu.
Shubuh itu sudah ketiga kalinya Karmin menelusuri tebing-tebing
kaldera gunung ijen memikul dua keranjang belerang sekitar delapan puluh
kilogram.
Seiring nafasnya yang terus berpacu cepat, Karmin melangkahkan
kaki menyusuri jalan setapak berkelok sepanjang tiga setengah kilometer mulai
dari dapur tempat menambang belerang di mulut kawah hingga di tempat
penimbangan di Paltuding. Dengan rute sempit menyusuri kelok tebing yang
bersanding jurang. Suatu pekerjaan yang senantiasa dibayangi maut.
Pekerjaan yang sudah duapuluh tahun ditekuninya, bersama
dengan ratusan penambang lainnya, tak pernah menimbulkan tanya, kapan aku harus
berhenti bekerja mempertaruhkan nyawa seperi ini?
Kesadaran alam pikir mereka hanyalah kecemasan membayangkan
kehidupan.
“Kenapa sampean mau bekerja seperi ini?” Tanya seorang pengunjung
kawah Ijen kepada salah satu penambang.
“Saya takut?” Jawabnya.
“Takut kenapa pak?”
“Takut lapar” Jawabnya penuh ironi
Ketakutan seperti itulah yang membayangi hari-hari para
penambang, termasuk Karmin di shubuh itu.
Karmin terus memaksa otot-ototnya yang membatu laksana
tebing-tebing gunung untuk memikul belerang dengan harapan memperoleh upah tujuhratus
rupiah perkilonya. Tak lebih. Tak pernah terlintas pikiran tentang alur bisnis
indusri belerang yang ratusan ton perharinya dengan omzet ratusan juta itu
mengalir ke kantong-kantong siapa? Karmin tak pernah mengerti dengan gurita
kapitalis yang terus menyedot keringat buruh-buruh sampai ke sumsum tuk
mengeruk untung sebesar-besarnya. Karmin hanya faham bahwa dia harus memikul
belerang sebanyak mungkin untuk mendapatkan uang yang cukup agar bisa makan dan
membayar biaya sekolah anak-anaknya.
Semua kekayaan alam, air, bumi dan isinya yang menyangkut
hidup orang banyak dikuasai pemerintah unuk kesejahteraan rakyat Kalimat indah
yang terpampang gagah di undang-undang dasar seakan mimpi yang hanya terjadi
disurga kelak. Karmin tak peduli dengan semua itu, Karmin hanya teringat kata-kata
istrinya semalam.
“Pak anake nedi
kiriman damel mbayar SPP kale ujian…uhug..uhug” ungkapnya sambil diiringi
batuk yang sudah setengah bulan tak terobati.
“Piro dek?”Tanya
Karmin sambil meninabobokan anak-kecilnya yang baru diam dari tangisnya menahan
lapar.
“Duaratus tujuhpuluhlimaribu.” Ungkap isrinya tanpa ada
harapan kepastian.
Duaratus tujuhpuluhlimaribu itulah kata-kata yang terus terngiang
ditelinga Karmin. Pikiran pendeknya bermatematika sederhana, uang untuk sekolah
anak duaratus tujuhlimaribu ditambah biaya berobat isrti duapuluhlimaribu, beli
beras dan kebutuhan sehari-hari enampuluhribu selama satu minggu, maka harus
memikul belerang setidaknya limaratuslimabelas kilogram dengan harga tujuhratus
rupiah per kilonya. Limaratuslimabelas kilogram belerang harus dibawahnya
sebanyak enam sampai tujuh kali dengan beban tujuhpuluh sampai delapan puluh kilogram.
Betapa beratnya.
Jam satu dini hari, Karmin berangkat seorang diri mendaki
gunung ijen dengan tekad bulat dan kecemasan yang telah memenuhi seluruh simpul
otaknya. Sebuah sugesti kecemasan absurd yang menjadi multivitamin para
penambang menghadapi dinginnya puncak ijen dan menyengatnya bau belerang.
Dengan berkaos tipis hadiah dari partai politik bergambar
calon legeslatif, yang sekarang entah kemana janji-janjinya memperjuangkan
rakya miskin, dilapisi dengan mantel plastik ala kadarnya, sepatu boat
usang, lampu senter terikat di kepala,
dan tak lupa keranjang belerang, Karmin menembus kegelapan malam berkabut
gunung ijen.
Hanya bermodal bismillah
dan nekad tanpa berfikir keselamatan jiwa pada medan perang pengancam jiwa
tanpa senjata, tebing-tebing kawah ijen. Apalagi harapan untuk mendapat
asuransi jaminan sosisal tenaga kerja. Mungkin mereka dianggap bukan manusia
pekarja yang perlu diasuransi?
“Wolongpolohtelu kilo”
Ujar penimbang yang menimbang belerang dibawa Karmin di pos penimbangan.
Satu kilometer sebelum puncak.
Empatratus tigapuluhdua kilogram kekurangan belerang yang
harus dipikul melecut Karmin untuk segera bangkit menyonsong belerangnya.
Diiringi koor tangis anaknya semalam yang terus terngiang-ngiang ditelinga menjadi
penyemangat, lebih tepatnya pemilu hati, untuk segera memenuhi targetnya.
Shubuh, Karmin mendaki untuk kedua kalinya.
Kamis, 07 Februari 2013
Dilema Valentine
“Wah, parah ni.” Irul yang baru datang di camp bersungut-sungut seraya membanting badannya duduk dikursi.
“Opo’o?” Tanya Kholik yang sejak tadi berada di camp.
“Coba pikir Lik, sekolahan sebelah itu diliburkan karena besok mau ngadain festival valentine day, parah nggak?” Irul menjelaskan dengan meletakkan jari telunjukknya dikening.
Di camp, tempat berkumpul para pemuda dari beragam latar belakang, itu Rohim menanggapi,
“Loh, masalah buat kamu?”
“Jelas dong. Sekolah itu lembaga pendidikan, pendidikan ilmu pengetahuan ataupun pendidikan moral. Masa’ pake ngadain valentine-an. Itu kan acara amoral.”
“Kok bisa amoral?”
“Loh wong disana diumbar berbagai kemaksiatan. Memang sih di sekolah tersebut tidak ada acara minum minuman keras atau pesta mesum, tapi apa dijamin kelanjutannya diluar?” Irul memburu.
“Benar, tahun kemarin aja, ada beberapa siswi yang ditemukan mabuk waktu valentine.” Dani menguatkan argumentasi Irul.
“Iya ya….” Ibnu yang sejak tadi sibuk membaca koran terpancing.
“Kenapa sih kok diadakan acara valentine-an segala, kalau cuma untuk merayakan hari kasih sayang? Bukankah ini semacam ada konspirasi internasional untuk merusak moral pemuda dengan dalih hari kasih sayang?” Lanjut Ibnu.
“Ya jika dilihat dari sejarahnya sendiri, memang ada semacam momentum untuk dijadikan sebagai peringatan hari kasih sayang. Dimana seorang uskup rela mati demi membela cinta. Ya mungkin semacam peringatan maulid Nabi Muhammad, kenapa harus menunggu bulan robiul awal kalau untuk meneladani kanjeng nabi?” Rohim menimpali.
“Ya tidak bisa kita samakan begitu saja dengan peringatan maulid nabi. Jelas beda.” Irul membantah.
“Yang bermasalah itu isinya, jika maulid nabi diisi dengan pengajian tapi jika valentine diisi dengan kemaksiatan.” Dani menyambung.
“Nah, kemaksiatan ini lah yang saya kwatirkan sebagai bentuk konspirasi besar.” Ujar Ibnu.
“Maksudnya?”
Rabu, 06 Februari 2013
BUKU: Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan
Judul : Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Kompas
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal: xxx+374 hlm
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Kompas
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal: xxx+374 hlm
Buku berjudul Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari;
Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, karya Zuhairi Misrawi, salah satu
intelektual muda NU, mengulas secara cukup komprehensif sosok Kyai Hasyim dari
sisi pemikirannya yang moderat, serta komitmennya terhadap keumatan dan
kebangsaan. Sosok Kyai kharismatik dan asketis yang merasa dirinya tetap
sebagai bagian dari umat (Islam) sekaligus sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia.
Berjuang melalui pemikiran keagamaan di lingkungan pesantren dan masyarakat
pedesaan serta melakukan aksi nyata mengangkat senjata melawan penjajah demi
membela tanah air Indonesia.dan buku ini bisa di baca di Rumah Baca Mawar
Selasa, 05 Februari 2013
Buku : Hidup Berawal dari Mimpi
Novel
musical itu kata yang tepat untuk biku yang satu ini, lirik lagu yang di
bawakan oleh Bondan and feat 2 black, di kemas menjadi satu cerita yang apik
dengan gambar ilustrasi fotografi untuk mendukung cerita pada buku ini, tentang
cinta, kehidupan, motivasi, persahabatan sampai kegalauan yang terjadi pada para pecinta.
Dan buku ini sudah ada di Rumah Baca Mawa.
Rabu, 30 Januari 2013
Refleksi Maulid Nabi Bagi Remaja
Refleksi Maulid Nabi
Bagi Remaja
Sepanjang
bulan Rabiul Awal peringatan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW swnantiasa dilaksanakan diberbagai tempat. Mulai
masjid, mushollah, sekolah, lingkungan RT, instansi pemerintah, bahkan sampai
istana negara pun memperingatinya. Jika merujuk pada awal mula penyelenggaraan
maulid nabi yang dipelopori oleh Sultan Salahudin Al-Ayubi (1173-1179 M)
bertujuan untuk meneladani Nabi Muhammad agar menjadi motivasi bagi umat islam
yang kala itu sedang menghadapi perang salib.
Perintah
peneladanan (uswah) pada Nabi
Muhammad telah termaktub dalam al-qur’an: laqod
kaana lakum fi Rosulillahi uswatun hasanah. – sesungguhnya telah ada pada
Rosulullah (Nabi Muhammad) suri tauladan yang bagus bagi kalian (QS
Al-Ahzab:21). Lafad uswatun (suri
tauladan) pada ayat diatas menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Ash-Showi merupakan
bentuk isim yang bemakna masdar dari lafad al-ittisaau
yang berarti pengikut. Dengan artian mengikuti Rosulullah dalam ucapan,
perbuatan dan tindakan (Tafsir Showi Juz III).
Pada
umumnya,proses peneladanan terhadap Nabi Muhammad, sebagaimana dalam
ceramah-ceramah maulid nabi, cenderung terhadap nilai-nilai global keluhuran
beliau. Patut kiranya proses peneladanan Nabi Muhammad berdasarkan periodeisasi
usia. Bagaimana masa kecil, beranjak remaja, menjadi pemuda, dewasa, dan tua
Nabi Muhammad berlansung. Sehingga hal ini menjadi pedoman tauladan sesuai
jenjang usia masing-masing, karena – pada umumnya – manusia cenderung meniru
rekan sebayanya.
Selain
itu, meneladani Nabi Muhammad berdasarkan periodeisasi usia memungkinkan untuk mendidik seseorang
menjadi figur yang mendekati Nabi. Meminjam istilahnya Cak Nun (Emha Ainun
Nadjib) Nabi Muhammad bukanlah naabi tiban
secara mendadak dan tiba-tiba
diangkat menjadi seorang nabi, tapi sebelum mengangkat beliau menjadi seorang
nabi terlebih dahulu dikader oleh Allah semenjak kanak-kanak sampai usia emapat
puluh tahun untuk menjadi insan yang siap untuk menyandang presikat nabi dan
rosul. Masa kecil beliau yang penuh keprihatinan dan kemandirian, masa muda
yang digembleng dalam perjuangan, dan masa dewasa yang dihiasi dengan
kebijaksanaan wajib menjadi role model
bagi umatnya sesuai dengan usia masing-masing. Namun hal ini tidak berarti
terbatas hanya pada usia tertentu, teladan nabi berlaku sepanjang masa, shohih ala kulli jaman wal makan.
Remaja
sebagai sosok yang masih mencari jati diri sudah selayaknya menjadikan masa
remaja Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai suri tauladan. Bukan lagi para
selebriti yang hidupnya hedonis dan glamour dijadikan sebagai protothype kehidupan ideal remaja.
Rabu, 09 Januari 2013
BALADA NEGERI HIJAU
BALADA NEGERI HIJAU
Ini balada suatu negeri\\
Negeri yang berebut menjadi paling hijau\\
Saling aku benar tuduh salah\\
“Bukan engkau, akulah yang hijau”\\
Tanpa sadar hijaunya pucat\\
Tercemar hijau yang tak sehat\\
“Bukan begitu, hijaulah”\\
Coba mengasih tahu\\
Meski dirinya mulai membiru\\
“Sekali hijau, tetaplah”\\
Bentak hijau yang suram\\
Kepada hijau yang beragam\\
“Inilah aku, hijau saat ini”\\
Menawarkan kehijauannya\\
Walau masih ranum warnanya\\
“Semua hijau, menghijaulah\\
Hijau sejahtera hijau damai”\\
Pungkas hijau murni\\
Oleh: Ayung Nitinegara\\
Ini balada suatu negeri\\
Negeri yang berebut menjadi paling hijau\\
Saling aku benar tuduh salah\\
“Bukan engkau, akulah yang hijau”\\
Tanpa sadar hijaunya pucat\\
Tercemar hijau yang tak sehat\\
“Bukan begitu, hijaulah”\\
Coba mengasih tahu\\
Meski dirinya mulai membiru\\
“Sekali hijau, tetaplah”\\
Bentak hijau yang suram\\
Kepada hijau yang beragam\\
“Inilah aku, hijau saat ini”\\
Menawarkan kehijauannya\\
Walau masih ranum warnanya\\
“Semua hijau, menghijaulah\\
Hijau sejahtera hijau damai”\\
Pungkas hijau murni\\
Oleh: Ayung Nitinegara\\
Senin, 07 Januari 2013
Reunian
Lama sekali
aku tak mengunjungi blogku ini, blog yang dulunya ku bangun dengan sejuta
harapan dan asa, blog yang mungkin bisa menemaniku untuk mencapai sesuatu yang
ku impikan selama ini, meskipun mimpi itu semakin hari bukan semakin focus melainkan lama kelamaan menjadi blur dan kemudian menjadi abstrak.
Malam ini
kucoba sedikit demi sedikit mengumpulkan setiap resolusi yang pernah ada, agar
bisa menjadi suatu gambaran meskipun hanya berupa dot-dot dengan beribu warna, yang ku harap kelak menjadi singkron
dan mau menampakkan wujudnya.
Ya semangat penulis
kendor, sekendor celana jeans yang semakin hari semakin kebesaran, sudah banyak
waktu aku luangkan di toko-toko buku untuk membeli sejumlah buku atau sekedar berhayal
untuk memiliki semuanya, panasnya Jl.Semarang tak lagi menjadi kegiatanku.
Motivasi? Motivasi
apalagi yang harus di anut, ketika hanya hati dan idealisme yang memegang
kendali, dan sisa-sisa space diotak tak
sanggup lagi menampung file-file yang
banyak terinfeksi virus yang tak terkendali, terus menyebar dan berkembang
biak, ada yang bertugas mematikan fungsi logika, ada yang menonaktifakan
kreatifitas, dan ada juga yang bertugas memupuk rasa malas. Semua berjalan
dengan automatic.
Format? Simple
kan, semua akan hilang dan kosong lagi, kosong layaknya tong kosong di tengah
jalan yang tak nyaring dan hanya menjadi bahaya bagi pengguna jalan. Melupakan semua
mimpi-mimpi dan kerepotannya, Hidup tak
sesimple itu, terkadang hidup itu rumit, serumit source code.
Itulah kenapa
RBM tak lagi ada gaungnya, tak ada lagi teriakan yang memekik seperti puisinya
Khairil Anwar atau sefenominal resolusi jihad KH. Hasyim Asyari ketika melawan
penjajah kala itu.
mega proyek RBM |
Rumah baca
mawar masih terus beterbangan di atas kepala, meskipun sesekali menghilang
karna sudah bosan dengan janji-janji yang belum di tepati, tapi kemudian datang
kembali dengan senyuman dan membawa prototype tentang apa yang akan terjadi
bila dirinya bisa menjelma dari hanya suatu bayangan. Dengan semangat dia
mempresentasikan mega proyeknya, suasana desa yang asri dengan anak-anak
bermain ditaman ada yang sibuk membaca buku komik, novel, pelajaran, dan ada
yang sibuk menulis puisi, prosa, cerpen. Dan di sebelah musholla tampak anak
usia SD belajar bahasa asing dan mengaji, decak kagumku belum selesai ketika
sang angan membuka lembar selanjutnya, di ruangan yang tidak begitu besar dan
dinding-dinding yan tertutup buku para pemuda-pemudi berkumpul untuk berdikusi,
saling beradu asumsi dalam menyikapi suatu kasus yang sedang terjadi di desa
tersebut, apa itu di pinggir jalan kog sibuk banget kelihatannya, itu entrepreneur
muda dari desa ini, sebelah utara itu berjualan es cendol, dan yang berdasi itu
dalam ruangan ber AC itu, pemuda desa ini yang mencoba mengelolah koprasi dan
bank simpan pinjam, agar perekonomian di desa ini semakin menggeliat dan
bersinergi satu sama lain, coba lihat jurang pemisah itu lambat laun semakin
tak terlihat, dan coba buka lagi lembar selanjutnya.. memaksa pada sang angan
tapi dengan nada keras sang angan menolaknya, jangan, jangan sampai kau membuka
lembar selanjutnya aku takut kamu gila karna mimpi-mimpimu sendiri, karna
sebenarnya masih banyak yang indah-indah untuk kita rencanakan dan kita
wujudkan. Terasa seperti dalam film harry potter karna prototype itu tampak
nyata seperti LED 3D.
Lumayan mengobati
rinduku, meskipun aku merasa masih haus dengan sari bunganya yang belum sempat
aku menghabiskannya atau mungkin tak akan habis.
Langganan:
Postingan (Atom)