menu

Senin, 03 Desember 2012

Demokrasi la Royba Fih


Demokrasi la Royba Fih

Sinar mentari menyapu kegelapan subuh, menerobos pintu, menghangatkan tubuh para santri yang duduk bersilah di mushollah. "Pemimpin itu laksana tiang rumah. Jika tiang itu rapuh, maka rumah itu pun rapuh. Namun jika tiang itu kuat, maka rumah akan kokoh." Nasihat Pak Kyai yang duduk menghadap ke timur, menghadap ke para santri.

Lima belas menit berlalu, para santri berhamburan keluar seiring keluarnya Pak Kyai yang diiringi para ustadz dan pengurus pondok.

Hari itu, akan diadakan "pesta demokrasi" untuk pertama kalinya di pondok pesantren An-Nur. Pesta demokrasi itu berupa pemilihan ketua asrama Al-Ghazali. jangan membayangkan kalau pemilihan ketua asrama sama dengan pemilihan umum pada umumnya yang memajang poster dimana-dimana, melakukan kampanye, melobi sana-sini, sampai-sampai money politic dan berbagai cara curang lainnya.Beda sekali.

Demokrasi di pondok merupakan sebuah bentuk demokrasi yang telah dimodifikasi. "Pemilihan secara lansung itu bukan cara yang tepat, tapi hanya akal-akalan Yahudi. Itu merupakan konspirasi yang hanya ingin mengerdilkan umat islam. Masak suara Kyai sama dengan suara pelacur? padahal kan tidak sama kwalitas pendapat keduanya! apalagi dalam urusan mencari pemimpin, bisa celaka!" Ustad Thoriq memaparkan pendapatnya dalam rapat pengurus pondok pesantren dalam rangka menentukan ketua asrama Al-Ghazali.

"Ngapunten Ustad" Ustad Ibrahim menimpali "Tapi dengan perkembangan zaman seperti sekarang, dimana keterbukaan dan kebebasan berpendapat terjadi dimana-mana, termasuk di pesantren, maka kita juga harus mempertimbangkan hal itu." lanjut Ustad Ibrahim.
"Justru kebebasan itu harus ditekan di pondok ini Ustad. Bisa berbahaya jika mereka dibiarkan saja." Ustad Thoriq mempertahankan pendapatnya.
"Begini Ustad, jika kebebasan berpendapat itu tidak diapresiasi maka anak-anak akan melakukan hal-hal yang tidak terkontrol sebagai bentuk penyaluran gagasannya. Apalagi melihat kondisi pondok ini yang terbuka." Ustad Ibrahim berargumen.

"Semuanya benar.Memang sistem demokrasi yang ada saat ini ada nilai negatif dan nilai positifnya." Ustad Romli berdiplomasi. "Oleh karena itu, perlu adanya modifikasi pada sistem demokrasi jika ingin diterapkan disini. Khud maa shofa wa da' maa kadaro."  Lanjutnya.

"Lalu bagaimana bentuk modifikasi itu Ustad?" Tanya Ustad Ibrahim.

"Pertama kita seleksi terlebih dahulu para kandidat yang terbaik. Dari hasil seleksi tersebut kemudian kita serahkan kepada para santri untuk memilih." Jawab Ustad Romli.

Akhirnya rapat pengurus menyepakati usulan Ustad Romli untuk memodifikasi sistem demokrasi bagi pemilihan ketua asrama Al-Ghazali.

Seminggu setelah rapat pengurus terpilihlah tiga kandidat ketua asrama Al-Ghazali berdasarkan seleksi tim formatur yang terdiri dari lima orang ustad dan pengurus pondok.

kandidat pertama bernama Ahmad Mustofa, santri senior yang sudah enam tahun nyantri. Namun karena perangainya yang agak slengean, perkembangan intelektualnya tertinggal dari pada rekan-rekan santri lainnya yang sepantaran dengan dia. Namun, karena faktor senioritas dia disegani oleh para juniornya. Atas pertimbangan inilah, dia terpilih oleh tim formatur dengan harapan bisa menjadi pengatur para juniornya.

Kandidat kedua namanya Badrun Munif. Dia tergolong santri baru, baru tiga tahun lebih dia mondok. Namun karena kecerdasannya dan kemampuannya mengorganisir teman-temannya, dia dinilai layak oleh tim formatur untuk menjadi kandidat ketua asrama. Namun, dari sisi akhlaq dia dinilai kurang terlalu bagus. Agak urakan.

Kandidat ketiga bernama Mohammad Muhlisin. Dia adalah tipe santri yang tawadhu', sangat menjunjung akhlaqul karimah. Dia juga termasuk santri senior, karena usianya yang tua tapi masih baru di pondok. Karena itulah dia terpilih menjadi kandidat ketua asrama. Namun, kecakapannya dalam memimpim masih dipertanyakan.

Paska launching kandidat ketua asrama oleh tim formatur, para santri asrama Al-Ghazali terpolarisasi menjadi tiga kelompok pendukung.

"Pokoe Kang Tofa gudhu dadi ketua asrama." Kata Randi, salah satu santri asrama Al-Ghazali pada teman-teman kamarnya.
"Lek Kang Tofa kang dadhi ketua asrama, pokoe Al-Ghazali pasti tentrem. Karena seorang pemimpin itu harus dipimpin oleh santri senior. Jika yang memimpin lebih muda, maka akan terjadi kesenjangan."  Randi berkampanye."Coba kita perhatikan, ketua pondok juga dipilih berdasarkan senioritas. iya gak?" Randi berargumen.
Beda kamar, beda pula pilihannya.Di sebelah kamar Randi adalah kamar Selamet. "Sudah saatnya, pemilihan ketua asrama harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam memimpin. Tidak hanya dipandang dari segi senioritas." Ungkap Selamet ke teman-teman kamarnya. "Bukankah Nabi pernah bersabda, jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya?" Lanjutnya.
"Lalu siapa Kang yang mampu menjadi ketua asrama?" tanya salah seorang santri.
"Jika menurut pengamatan saya, berdasarkan track record ketiga kandidat, Kang Badrun yang lebih mampu memimpin. Tentunya terlepas dari faktor kekurangan pada sisi lain." Jawab Selamat mantap.

Begitu pula dengan pendukung Muhlisin tak kalah vokalnya.
"Kita ga' butuh pemimpin yang cerdas. Apalagi pemimpin yang menganggap dirinya senior. Tapi kita butuh pemimpin yang berakhlaq mulia. Bukankah negara kita hancur karena para pemimpinnya tidak berakhlaq?" Sulaiman berpidato di depan teman-teman kamarnya.
"Kang Muhlis adalah orang yang tepat untuk kita jadikan ketua asrama, bukan yang lain." Putus Sulaiman.
Perbincangan mengenai calon ketua asrama menjadi topik hangat tidak hanya di asrama al-ghazali, tapi sudah menjalar ke asrama lainnya, bahkan menyebrang sampai ke pondok putri. Singkat kata, pemilihan ketua asrama al-ghazali telah menjadi buah bibir seluruh pondok pesantren An-Nur.

Pagi itu, pagi yang telah ditunggu oleh para santri asrama Al-Ghazali karena pada hari itu akan diadakan pemilihan lansung ketua asrama. Sebelum pemilihan dilansungkan, para kandidat terlebih dahulu dijejer di depan para santri untuk memaparkan visi misi kepemimpinannya nanti.

"Rekan-rekanku sekalian.Mungkin selama ini saya bukanlah santri yang bisa menjadi teladan bagi kalian semua. Tapi perlu diingat, akan menjadi cambuk yang sangat keras bagi saya, selaku santri senior, jika tidak mampu membawa asrama Al-Ghazali menjadi lebih baik." Cetus Mustofa menyampaikan pandangannya kelak saat menjadi ketua asrama.
Sontak saja, pidato Mustofa disambut tepuk tangan para pendukungnya. Tentunya juga diiringi teriakan "huuuu..." dari lawan-lawan "politiknya."

Giliran kedua adalah Badrun Munif untuk menyampaikan visi misinya.
"Mengutip pesan Pak Kyai tadi pagi, bahwa pemimpin itu ibarat tiang rumah. Oleh karena itu rekan-rekan santri semua, seasrama sepondok. Agar rumah kokoh, kita harus memilih tiang yang kuat. Maka saya berharap kepada teman-teman semua untuk memilih tiang yang kuat, meski masih muda. Jangan hanya memilih tiang yang tua, tapi keropos." Pidato Badrun membikin suasana bergemuruh.
"Sudah saatnya yang kreatif, yang muda, yang memimpin." Badrun memungkasi pidatonya.

Tepuk tangan dan gemuruh huuuu....berebut tempat di aula tempat pemilihan tersebut. Sampai-sampai keamanan pondok turun tangan untuk menenangkan masa.

Terakhir, giliran Muhlisin menyampaikan pidatonya.

"Rencang-Rencang, asline kulo mboten siap dadhos ketua asrama. tapi lek rencang-rencang sedanten meleh kulo dados ketua asrama, kulo mboten ate nyia-nyiaken kepercayaane jenengan sedanten." singkat, jelas, tenang, dan mantap pidato Muhlisin.

Selang beberapa menit setelah pemaparan visi misi pemilihan ketua asrama secara lansung dimulai untuk pertama kalinya di Pondok pesantren An-Nur.

Animo para santri begitu besar untuk mengikuti pemilihan lansung tersebut. Tak lebih dari dua jam, seratus santri asramaAl-Ghazali telah selesai menetukan pilihannya. Tanpa seorang santri pun yang golput.

Tibalah waktunya perhitungan suara.
Ustad Romli yang bertugas untuk menghitung surat suara para pemilih yang telah dimasukkan ke dalam kotak.

"Saya akan menyebut satu untuk kandidat Mustofa, dua untuk kandidat Badrun, dan tiga untuk kandidat Muhlisin" Ustad Romli memaparkan.
kemudian Ustad Romli menuang seluruh surat suara dari kotak ke dalam wadah terbuka dan menunjukkan kotak suara telah kosong.
Kemudian surat suara pertama dibuka. Dengan hati-hati Ustad Romli meneliti surat suara dengan ditunjukkan kepada semua hadirin. "Sah satu.." Teriak Ustad Thoriq. Yang kemudian diikuti oleh Ustad Ibrahim yang menuliskan garis di papan skor.
Tepuk tangan bergemuruh. Namun segera diredam oleh keamanan.
"Mohon diam dulu. biar semua berjalan dengan tenang. Kita perhatikan dengan seksama proses perhitungan ini dengan khidmat agar tidak mengganggu petugas." Bentak Kepala Keamanan pondok.

Acara perhitungan terus berlanjut.

"Sah satu"
"Sah satu"
"Sah dua"
"Sah tiga"

"Sah tiga"
"Sah dua"
"Sah tiga"
"Sah dua"
Surat suara semakin menipis, ketiga kandidat terus berkejaran sama kuat.
Keajaiban terjadi. Ketiga kandidat memperoleh suara sama, tigapuluh tiga.
"Perolehan suara sama dan surat suara tinggal satu. Mari kita saksikan bersama, siapakah yang akan menjadi ketua asramaAl-Ghazali" Ustad Romli
Suasana hening. Dada berdebar.
Pelan-palan lipatan surat suara dibuka. Dipampang kearah depan.
"Tidak sah..." Teriak Ustad Romli.
Seakan mendengar suara halilintar. Semua terhenyak.
Terus siapa yang menjadi ketua asrama Al-Ghazali????? Pertanyaan tersebut menggaung di seluruh aula. Laksana jutaan lebah yang terbang mengitari aula.Tiba-tiba, ditengah kekacauan dan hiruk pikuk terdengar bisikan yang lirih tapi semua orang di aula mendengar.Tidak tahu siapa yang berkata. Semacam bisikan gaib. Suasana seketika hening."Istihoroh ae"
 "Istihoroh ae""Istihoroh ae"
Suara itu menjadi gaduh. Mungkinkah itu ilham dari malaikat yang diberikan kepada para santri untuk memilih ketua asrama dengan metode istihoroh, bukan demokrasi?

Banyuwangi, 4 Desember 2012

1 komentar:

Ayung Notonegoro mengatakan...

terbit di harian jawa pos radar banyuwangi 6 januari 2013