Ramadan Bulan Membaca
|
ilustrasi |
Ramadan adalah bulan spesial. Begitu
spesialnya bulan ini sehingga banyak julukan yang disematkan. Ramadan disebut
bulan ampunan (syahrul magfiroh)
karena pada bulan ini Allah menebar ampunan kepada hamba yang memohonnya.
Ramadan juga disebut bulan ibadah (syahrul
ibadah) karena anjuran untuk memperbanyak ibadah dengan imbalan pahala yang
berlipat. Ramadan juga layak disebut dengan syahrul
qiroah, bulan membaca.
Ramadan layak disebut bulan membaca
karena intensitas membaca umat Islam semakin meningkat dibanding bulan-bulan
lainnya. Setidaknya hal ini terlihat dari tradisi tadarus dan huduran. Tadarus adalah
tradisi membaca al-qur’an secara bersama-sama –
ada yang membaca dan ada yang menyimak –
setelah melaksanakan sholat tarawih atau setelah sholat-sholat fardu
yang lain. Sedangkan huduran adalah tradisi khas pesantren dimana para
santri mengkhatamkan beberapa kitab kuning secara kilat selama Ramadan dengan
metode bandongan. Huduran rata-rata ditempuh selama delapan
jam per hari bahkan lebih. Seperti halnya di Pesantren Al-Anwari Kertosari
Banyuwangi yang memulai huduran
seusai sholat subuh sampai jam 08:30 WIB. Kemudian dilanjutkan setelah sholat
duhur sampai menjelang magrib dengan istirahat sebentar untuk sholat ashar.
Setelah sholat tarawih dilanjutkan lagi hingga jam sepuluh malam.
Ramadan juga layak disebut bulan membaca karena pada bulan ini al-qur’an
untuk pertama kalinya diwahyukan. Sebagaimana diketahui bersama, ayat yang
pertama kali diturunkan adalah perintah untuk membaca, iqra’ bismirobbikalladzi kholaq – bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu yang menciptakan (QS. Al-Alaq [96]:1). Hal ini berarti Ramadan tidak
hanya diperingati sebagai hari turunnya al-qur’an (nuzulul qur’an), namun juga sebagai momentum peringatan perintah untuk
membaca.
Peringatan perintah untuk membaca
menjadi penting mengingat besarnya manfaat membaca. Terkait hal ini, Ibnu
Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya menjelaskan lafad iqra (bacalah) dikaitkan dengan bentuk ilmu. Menurutnya ilmu
terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu yang berbentuk ingatan/pemahaman (ilmud dahni), ilmu yang berbentuk ucapan
(ilmul lisan), dan ilmu yang
berbentuk tulisan (ilmul kitabah).
Masing-masing ilmu memiliki ujung yang berupa ingatan, lafad, dan huruf.
Sedangkan huruf itu sendiri telah menghimpun ingatan dan lafad. Dengan demikian
melalui membaca dapat memperoleh tiga jenis ilmu sekaligus, sehingga Allah
memerintah manusia untuk membaca.lanjutkan
Begitu pentingnya membaca sampai-sampai
Nabi Muhammad mensyaratkan kepada tawanan perang Badar untuk mengajar anak-anak
Madinah belajar baca tulis. Bahkan Nabi Muhammad dalam salah satu hadistnya
yang diriwayatkan oleh Ibnu an-Najar menegaskan salah satu haknya anak dari
orang tuanya adalah diajarkannya baca tulis. Dalam al-qur’an juga dinyatakan bahwa
Nabi Muhammad diutus untuk mengajarkan al-kitab
dan hikmah. Mengajarkan al-kitab dapat dipahami dengan arti
mengajarkan tulis baca, atau paling tidak, mengajar apa yang ditulis dalam al-kitab yaitu al-qur’an.
Tradisi membaca juga menjadi tanda dari
peradaban industri yang menekankan pada tradisi literasi dibanding dengan
tradisi lisan (tanda peradaban agraris). Oleh karena itu, negara-negara di
dunia terus berupaya untuk meningkatkan budaya membaca rakyatnya sebagai upaya
untuk meningkatkan peradaban negara tersebut. Negara Indonesia sendiri, negara
agraris yang beralih menjadi negara berperadaban industri, tidak memiliki
budaya membaca yang tinggi pada rakyatnya. Menurut hasil survei UNESCO (United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization )
jumlah
orang yang tingkat minat bacanya tinggi
di Indonesia hanya 0,001 persen. Ini artinya dari setiap seribu rakyat
Indonesia hanya terdapat satu orang yang minat bacanya tinggi. Hal ini tentu
menghambat laju pertumbuhan negara yang mengarah pada peradaban industrial.
Keengganan untuk membaca pada dasarnya
bukan lah permasalahan waktu atau kesempatan sebagaimana banyak dikeluhkan
orang dewasa ini, namun hanya masalah keinginan. Jika dibiasakan membaca maka
seseorang akan mampu membaca 300 kata per menit. Ini berarti dalam waktu 15
menit seseorang dapat membaca 4.500 kata. Dalam waktu sebulan hanya dengan 15
menit per hari telah mampu membaca 126 ribu kata. Kalau rata-rata satu buku
saku memuat 60 ribu kata, maka dalam waktu sebulan mampu membaca dua buah buku.
Bandingkan dengan kebiasaan membaca dan mengetik pesan singkat (sms), yang
katakanlah, rata-rata 10 kata pada setiap pesan. Jika selama sehari menerima
dan mengirim sms sebanyak 100 kali maka orang tersebut telah membaca seribu
kata atau setara dengan tiga lembar tulisan di kertas HVS penuh. Dengan
demikian tidak ada alasan untuk tidak membaca.
Abbas Mahmud al-Aqqad (1889 – 1964 M)
seorang cendekiawan terkemuka Mesir mengatakan bahwa dengan membaca manusia
akan mampu mengumpulkan sekian banyak ide,
rasa dan imajinasi dalam benaknya dan dengan demikian manusia tidak hanya
memiliki satu hidup saja, namun lebih dari satu hidup. Bung Karno, presiden
pertama Indonesia, juga pernah mengatakan bahwa dengan membaca beliau mampu
berkeliling dunia meski terkukung dalam kemelaratan dan mampu kembali ke masa
lampau, mengetahui masa sekarang dan menerawang ke masa depan. Sampai – sampai pepatah
Arab mengatakan, qiiduu al-ilma
bilkitabah (pimpinlah ilmu dengan tulisan).
Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab
(pakar tafsir Indonesia) menjelaskan perintah Allah untuk membaca pada surat
al-Alaq (96:1) tidak hanya berarti membaca teks yang tertulis saja, namun juga
teks yang terhampar. Tidak hanya yang tersurat namun juga yang tersirat.
Membaca teks yang tertulis adalah sebagaimana kegiatan membaca pada umumnya,
namun membaca teks yang tidak tertulis adalah dengan mengangan-angan (tadabbur) fenomena alam dan dengan
berfikir (tafakkur) akan realitas
sosial yang ada.
`Ibadah
puasa juga bisa menjadi instrumen untuk membaca teks-teks yang tidak tertulis.
Dengan menahan rasa lapar dan haus, puasa memberikan bahan bacaan akan perihnya
penderitaan orang-orang fakir yang tidak mampu mencari sesuap nasi. Dengan
puasa juga menyuguhkan bahan bacaan lain untuk berfikir ulang akan segala
ketamakan manusia dalam memburu dunia. Puasa juga menjadi media membaca potensi
dan kapasitas diri dalam menjauhi godaan duniawi dan mendekatkan diri kepada
Allah.
Quraish Shihab mengibaratkan bacaan
laksana makanan. Ketika memakan makanan ada kalanya lansung ditelan, ada pula
yang dikunyah terlebih dahulu, dan ada pula yang harus dimuntahkan. Demikian
pula membaca suatu bacaan (buku dan lain sebagainya) harus dipilah, apakah
bacaan itu layak diterima, hanya sekedar tahu atau justru harus dienyahkan.
Namun dengan demikian bukan berarti membatasi dengan bacaan tertentu saja.
Semua hal dibaca dalam rangka bismirobbika
(dengan menyebut nama Tuhanmu), dengan artian membaca untuk mengetahui
keagungan Allah. Pepatah Arab mengajarkan, khud
ma sofaa wa da’ maa kadara, ambil yang jernih tinggalkan yang keruh. Bacaan
yang baik akan memberikan manfaat dan bacaan yang buruk akan memberikan
kewaspadaan.
Semoga bulan Ramadan kali ini bisa
menjadi momentum untuk meningkatkan minat baca, teks maupun konteks, dalam
rangka menuju hamba yang bertaqwa. Orang bijak berkata: “Kita belajar untuk
pandai membaca. Kita membaca untuk bisa menjadi pandai.” Dengan ilmu itulah
peluang untuk menjadi orang yang bertaqwa semakin besar.
Ayung
Notonegoro
Direktur
Rumah Baca Mawar. Tinggal di www.bgreeneration.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar