menu

Sabtu, 09 Februari 2013

Sang Penambang



“Huh…huh…huh” Nafas Karmin memburu.
Shubuh itu sudah ketiga kalinya Karmin menelusuri tebing-tebing kaldera gunung ijen memikul dua keranjang belerang sekitar delapan puluh kilogram.
Seiring nafasnya yang terus berpacu cepat, Karmin melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak berkelok sepanjang tiga setengah kilometer mulai dari dapur tempat menambang belerang di mulut kawah hingga di tempat penimbangan di Paltuding. Dengan rute sempit menyusuri kelok tebing yang bersanding jurang. Suatu pekerjaan yang senantiasa dibayangi maut.
Pekerjaan yang sudah duapuluh tahun ditekuninya, bersama dengan ratusan penambang lainnya, tak pernah menimbulkan tanya, kapan aku harus berhenti bekerja mempertaruhkan nyawa seperi ini?
Kesadaran alam pikir mereka hanyalah kecemasan membayangkan kehidupan.
“Kenapa sampean mau bekerja seperi ini?” Tanya seorang pengunjung kawah Ijen kepada salah satu penambang.
“Saya takut?” Jawabnya.
“Takut kenapa pak?”
“Takut lapar” Jawabnya penuh ironi
Ketakutan seperti itulah yang membayangi hari-hari para penambang, termasuk Karmin di shubuh itu.
Karmin terus memaksa otot-ototnya yang membatu laksana tebing-tebing gunung untuk memikul belerang dengan harapan memperoleh upah tujuhratus rupiah perkilonya. Tak lebih. Tak pernah terlintas pikiran tentang alur bisnis indusri belerang yang ratusan ton perharinya dengan omzet ratusan juta itu mengalir ke kantong-kantong siapa? Karmin tak pernah mengerti dengan gurita kapitalis yang terus menyedot keringat buruh-buruh sampai ke sumsum tuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Karmin hanya faham bahwa dia harus memikul belerang sebanyak mungkin untuk mendapatkan uang yang cukup agar bisa makan dan membayar biaya sekolah anak-anaknya.
Semua kekayaan alam, air, bumi dan isinya yang menyangkut hidup orang banyak dikuasai pemerintah unuk kesejahteraan rakyat Kalimat indah yang terpampang gagah di undang-undang dasar seakan mimpi yang hanya terjadi disurga kelak. Karmin tak peduli dengan semua itu, Karmin hanya teringat kata-kata istrinya semalam.
“Pak anake nedi kiriman damel mbayar SPP kale ujian…uhug..uhug” ungkapnya sambil diiringi batuk yang sudah setengah bulan tak terobati.
“Piro dek?”Tanya Karmin sambil meninabobokan anak-kecilnya yang baru diam dari tangisnya menahan lapar.
“Duaratus tujuhpuluhlimaribu.” Ungkap isrinya tanpa ada harapan kepastian.
Duaratus tujuhpuluhlimaribu itulah kata-kata yang terus terngiang ditelinga Karmin. Pikiran pendeknya bermatematika sederhana, uang untuk sekolah anak duaratus tujuhlimaribu ditambah biaya berobat isrti duapuluhlimaribu, beli beras dan kebutuhan sehari-hari enampuluhribu selama satu minggu, maka harus memikul belerang setidaknya limaratuslimabelas kilogram dengan harga tujuhratus rupiah per kilonya. Limaratuslimabelas kilogram belerang harus dibawahnya sebanyak enam sampai tujuh kali dengan beban tujuhpuluh sampai delapan puluh kilogram. Betapa beratnya.
Jam satu dini hari, Karmin berangkat seorang diri mendaki gunung ijen dengan tekad bulat dan kecemasan yang telah memenuhi seluruh simpul otaknya. Sebuah sugesti kecemasan absurd yang menjadi multivitamin para penambang menghadapi dinginnya puncak ijen dan menyengatnya bau belerang.
Dengan berkaos tipis hadiah dari partai politik bergambar calon legeslatif, yang sekarang entah kemana janji-janjinya memperjuangkan rakya miskin, dilapisi dengan mantel plastik ala kadarnya, sepatu boat usang,  lampu senter terikat di kepala, dan tak lupa keranjang belerang, Karmin menembus kegelapan malam berkabut gunung ijen.
Hanya bermodal bismillah dan nekad tanpa berfikir keselamatan jiwa pada medan perang pengancam jiwa tanpa senjata, tebing-tebing kawah ijen. Apalagi harapan untuk mendapat asuransi jaminan sosisal tenaga kerja. Mungkin mereka dianggap bukan manusia pekarja yang perlu diasuransi?
Wolongpolohtelu kilo” Ujar penimbang yang menimbang belerang dibawa Karmin di pos penimbangan. Satu kilometer sebelum puncak.
Empatratus tigapuluhdua kilogram kekurangan belerang yang harus dipikul melecut Karmin untuk segera bangkit menyonsong belerangnya. Diiringi koor tangis anaknya semalam yang terus terngiang-ngiang ditelinga menjadi penyemangat, lebih tepatnya pemilu hati, untuk segera memenuhi targetnya.
Shubuh, Karmin mendaki untuk kedua kalinya.

Hujan mengiringinya. Membasuh keringat yang membasahinya.
Karmin terus melangkah menyusuri tanjakan-tanjakan ijen. Tanjakan yang senantiasa dia daki seolah menjadi guru yang mengajarkan kerasnya perjuangan hidup. Namun tanjakan-tanjakan terjal kehidupannya tak pernah menjanjikan keindahan panorama diakhir pendakiaannya, panorama yang seindah hijaunya kawah ijen, kemilaunya bluefire, putihnya hamparan awan, dan rindangnya pepohonan. Hanya kemelaratan dan tangis kesedihan yang selama ini didapat. Entah mungkin ini yang digariskan Tuhan untuk menguji hambanya? Mungkin panorama indah itu akan didapat di akherat kelak?. Begitulah nasehat para mubaligh yang biasa Karmin dengar.
 Bayangan Karmin tak beranjak, berputar-putar mulai tangis jabang bayinya, batuk istrinya yang merintih, dan masa depan sekolah anak bungsunya, selayaknya slide show yang terus berputar menjadi energi gaib yang terus memompa tubuhnya.
Pitungpuluh pitu”Belerang bawaan Karmin yang kedua ditimbang.
“Haaah….”
“Haaaah….”
Karmin mengeluh nafas panjang. Tigaratus limapuluhlima kilogram membayang untuk segera dituntaskan.
Setelah sarapan dengan nasi aking dan ikan asin  bekal dari rumah, Karmin kembali melanjutkan jihadnya memenuhi kewajiban tugas rumah tangga.
Bermandikan cahaya mentari pagi, mentari kawitan di pulau jawa, Karmin memikul belerang menuju Paltuding.
Setelah menyeruput kopi, Karmin kembali meraih keranjangnya. Ketiga kalinya Karmin mendaki.
“Kang kari keburu, wes peng loro masih mau naik lagi.” Tarno, rekan sesama penambang menegurnya.
“Iyo Dek, waktunya membayar SPP.” Ujarnya.
“Jangan memaksakan diri. Maaf Kang, Sampean  sudah tua. Bukannya apa, tapi kalau memaksakan diri sampai tiga kali, saya takut ada apa-apa dengan sampean Kang.” Karmin yang sedari tadi duduk, beranjak menghampiri Karmin.
Mugi-mugi tidak ada apa-apa.” Karmin menjawab dengan tenang
“Memangnya berapa yang dibutuhkan untuk membayar SPP?”
“Tidak banyak.”
“Kalau cuma duaratus ribu saya punya simpanan Kang, silakan pinjam dulu.”
Dalam hati Karmin ingin sekali mengiyakan tawaran Tarno, tapi hal itu segera di tepis mengingat tagihan utangnya yang tersebar dimana-mana. Kopi yang baru diseruputnya saja merupakan gelas kelimabelas yang dihutang Karmin pada Paniyem, penjual disekitar Paltuding.
“Terima kasih Dek, insyaallah sekali lagi sudah cukup.” Ujar Karmin tegas meski masih terbayang kekurangan yang masih jauh.
“Oh iya, nanti kalau kamu pulang dulu, tolong bawakan uang dua keranjang belerangku sama istriku.” Karmin berwasiat pada Tarno yang kebetulan masih tetangganya.
Karmin melanjutkan langkah gontainya.
Hanya tekad dan nekad lah yang memenuhi jiwa Karmin. Tanpa ketekadan dan kenekadan, sulit untuk mendaki ijen sebanyak tiga kali dengan membawa beban berpuluh-puluh kilo.
Namun sebesar apapun tekad, segila apapun nekad yang dicamkan, tubuh tak mampu dibohongi. Karmin memikul belerang seberat tujuhpuluh lima kilogram dari pos penimbangan dengan diselimuti kabut yang menebal. Jarak pandang yang hanya lima meter ditempuh Karmin. Dengan kaki mulai gemetar, bahu kiri dan kanan yang terus bergantian memikul beban bergantian dengan cepatnya menandakan bahu-bahu yang sudah lelah dan bengkak. Kepala Karmin mulai dirayapi ras pening.
Kepeningan makin kacau dengan pikiran Karmin yang semakin menggila. Jika aku mati, siapa yang akan membayar SPP anak-anakku, siapa yang mengobati istriku, siapa yang memberi makan keluargaku, siapa yang akan membelikan mainan, meski hanya balon, anak-anakku. Pertanyaan itu semakin berputarmenhujam syaraf otak dan kesadaran Karmin. Tanpa ada jawaban yang terlintas.
Andai Karmin tahu bahwa sekolah anak-anak miskin ditanggung oleh pemerintah, andai tahu bahwa ada jaminan kesehatan untuk para fuqoro’, andai tahu ada dana sosial yang diperuntukkan bagi orang-orang melarat, Karmin takkan terpusingkan dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tapi, anak Karmin bukanlah anak pintar yang berhak untuk mendapat beasiswa. Karmin bukanlah orang yang cukup tahu untuk mengurus administrasi jamkesmas yang begitu berbelit dan penuh pungli. Dan Karmin tak punya keluasan akses untuk mengambil dana-dana sosial, kecuali ketika menjelang pemilihan umum.
Di lereng itu, kaki Karmin tersandung, keranjang belerang berkilo-kilo tersenggol batu tebing, tubuhnya oleng. Karmin terhempas ke jurang gunung, tubuhnya terantuk batu.Karmin berpulang menjemput keindahan panorama puncak perjuangannya di akhirat. Innalillahi wa inna ilayhi rojiun.
Entah siapa yang bakal menjawab semua pertanyaan Karmin?
Ayung Nitinegara, tinggal di bgreeneration.blog.spot.com
Banyuwangi, 02 Februari 2013

Tidak ada komentar: