“Huh…huh…huh” Nafas Karmin memburu.
Shubuh itu sudah ketiga kalinya Karmin menelusuri tebing-tebing
kaldera gunung ijen memikul dua keranjang belerang sekitar delapan puluh
kilogram.
Seiring nafasnya yang terus berpacu cepat, Karmin melangkahkan
kaki menyusuri jalan setapak berkelok sepanjang tiga setengah kilometer mulai
dari dapur tempat menambang belerang di mulut kawah hingga di tempat
penimbangan di Paltuding. Dengan rute sempit menyusuri kelok tebing yang
bersanding jurang. Suatu pekerjaan yang senantiasa dibayangi maut.
Pekerjaan yang sudah duapuluh tahun ditekuninya, bersama
dengan ratusan penambang lainnya, tak pernah menimbulkan tanya, kapan aku harus
berhenti bekerja mempertaruhkan nyawa seperi ini?
Kesadaran alam pikir mereka hanyalah kecemasan membayangkan
kehidupan.
“Kenapa sampean mau bekerja seperi ini?” Tanya seorang pengunjung
kawah Ijen kepada salah satu penambang.
“Saya takut?” Jawabnya.
“Takut kenapa pak?”
“Takut lapar” Jawabnya penuh ironi
Ketakutan seperti itulah yang membayangi hari-hari para
penambang, termasuk Karmin di shubuh itu.
Karmin terus memaksa otot-ototnya yang membatu laksana
tebing-tebing gunung untuk memikul belerang dengan harapan memperoleh upah tujuhratus
rupiah perkilonya. Tak lebih. Tak pernah terlintas pikiran tentang alur bisnis
indusri belerang yang ratusan ton perharinya dengan omzet ratusan juta itu
mengalir ke kantong-kantong siapa? Karmin tak pernah mengerti dengan gurita
kapitalis yang terus menyedot keringat buruh-buruh sampai ke sumsum tuk
mengeruk untung sebesar-besarnya. Karmin hanya faham bahwa dia harus memikul
belerang sebanyak mungkin untuk mendapatkan uang yang cukup agar bisa makan dan
membayar biaya sekolah anak-anaknya.
Semua kekayaan alam, air, bumi dan isinya yang menyangkut
hidup orang banyak dikuasai pemerintah unuk kesejahteraan rakyat Kalimat indah
yang terpampang gagah di undang-undang dasar seakan mimpi yang hanya terjadi
disurga kelak. Karmin tak peduli dengan semua itu, Karmin hanya teringat kata-kata
istrinya semalam.
“Pak anake nedi
kiriman damel mbayar SPP kale ujian…uhug..uhug” ungkapnya sambil diiringi
batuk yang sudah setengah bulan tak terobati.
“Piro dek?”Tanya
Karmin sambil meninabobokan anak-kecilnya yang baru diam dari tangisnya menahan
lapar.
“Duaratus tujuhpuluhlimaribu.” Ungkap isrinya tanpa ada
harapan kepastian.
Duaratus tujuhpuluhlimaribu itulah kata-kata yang terus terngiang
ditelinga Karmin. Pikiran pendeknya bermatematika sederhana, uang untuk sekolah
anak duaratus tujuhlimaribu ditambah biaya berobat isrti duapuluhlimaribu, beli
beras dan kebutuhan sehari-hari enampuluhribu selama satu minggu, maka harus
memikul belerang setidaknya limaratuslimabelas kilogram dengan harga tujuhratus
rupiah per kilonya. Limaratuslimabelas kilogram belerang harus dibawahnya
sebanyak enam sampai tujuh kali dengan beban tujuhpuluh sampai delapan puluh kilogram.
Betapa beratnya.
Jam satu dini hari, Karmin berangkat seorang diri mendaki
gunung ijen dengan tekad bulat dan kecemasan yang telah memenuhi seluruh simpul
otaknya. Sebuah sugesti kecemasan absurd yang menjadi multivitamin para
penambang menghadapi dinginnya puncak ijen dan menyengatnya bau belerang.
Dengan berkaos tipis hadiah dari partai politik bergambar
calon legeslatif, yang sekarang entah kemana janji-janjinya memperjuangkan
rakya miskin, dilapisi dengan mantel plastik ala kadarnya, sepatu boat
usang, lampu senter terikat di kepala,
dan tak lupa keranjang belerang, Karmin menembus kegelapan malam berkabut
gunung ijen.
Hanya bermodal bismillah
dan nekad tanpa berfikir keselamatan jiwa pada medan perang pengancam jiwa
tanpa senjata, tebing-tebing kawah ijen. Apalagi harapan untuk mendapat
asuransi jaminan sosisal tenaga kerja. Mungkin mereka dianggap bukan manusia
pekarja yang perlu diasuransi?
“Wolongpolohtelu kilo”
Ujar penimbang yang menimbang belerang dibawa Karmin di pos penimbangan.
Satu kilometer sebelum puncak.
Empatratus tigapuluhdua kilogram kekurangan belerang yang
harus dipikul melecut Karmin untuk segera bangkit menyonsong belerangnya.
Diiringi koor tangis anaknya semalam yang terus terngiang-ngiang ditelinga menjadi
penyemangat, lebih tepatnya pemilu hati, untuk segera memenuhi targetnya.
Shubuh, Karmin mendaki untuk kedua kalinya.
Hujan mengiringinya. Membasuh keringat yang membasahinya.
Karmin terus melangkah menyusuri tanjakan-tanjakan ijen.
Tanjakan yang senantiasa dia daki seolah menjadi guru yang mengajarkan kerasnya
perjuangan hidup. Namun tanjakan-tanjakan terjal kehidupannya tak pernah
menjanjikan keindahan panorama diakhir pendakiaannya, panorama yang seindah
hijaunya kawah ijen, kemilaunya bluefire,
putihnya hamparan awan, dan rindangnya pepohonan. Hanya kemelaratan dan tangis
kesedihan yang selama ini didapat. Entah mungkin ini yang digariskan Tuhan
untuk menguji hambanya? Mungkin panorama indah itu akan didapat di akherat
kelak?. Begitulah nasehat para mubaligh yang biasa Karmin dengar.
Bayangan Karmin tak
beranjak, berputar-putar mulai tangis jabang bayinya, batuk istrinya yang
merintih, dan masa depan sekolah anak bungsunya, selayaknya slide show yang
terus berputar menjadi energi gaib yang terus memompa tubuhnya.
“Pitungpuluh pitu”Belerang
bawaan Karmin yang kedua ditimbang.
“Haaah….”
“Haaaah….”
Karmin mengeluh nafas panjang. Tigaratus limapuluhlima
kilogram membayang untuk segera dituntaskan.
Setelah sarapan dengan nasi aking dan ikan asin bekal dari rumah, Karmin kembali melanjutkan
jihadnya memenuhi kewajiban tugas rumah tangga.
Bermandikan cahaya mentari pagi, mentari kawitan di pulau
jawa, Karmin memikul belerang menuju Paltuding.
Setelah menyeruput kopi, Karmin kembali meraih keranjangnya.
Ketiga kalinya Karmin mendaki.
“Kang kari keburu, wes
peng loro masih mau naik lagi.” Tarno, rekan sesama penambang menegurnya.
“Iyo Dek, waktunya
membayar SPP.” Ujarnya.
“Jangan memaksakan diri. Maaf Kang, Sampean sudah tua. Bukannya
apa, tapi kalau memaksakan diri sampai tiga kali, saya takut ada apa-apa dengan
sampean Kang.” Karmin yang sedari
tadi duduk, beranjak menghampiri Karmin.
“Mugi-mugi tidak
ada apa-apa.” Karmin menjawab dengan tenang
“Memangnya berapa yang dibutuhkan untuk membayar SPP?”
“Tidak banyak.”
“Kalau cuma duaratus ribu saya punya simpanan Kang, silakan
pinjam dulu.”
Dalam hati Karmin ingin sekali mengiyakan tawaran Tarno,
tapi hal itu segera di tepis mengingat tagihan utangnya yang tersebar
dimana-mana. Kopi yang baru diseruputnya saja merupakan gelas kelimabelas yang
dihutang Karmin pada Paniyem, penjual disekitar Paltuding.
“Terima kasih Dek, insyaallah sekali lagi sudah cukup.” Ujar
Karmin tegas meski masih terbayang kekurangan yang masih jauh.
“Oh iya, nanti kalau kamu pulang dulu, tolong bawakan uang
dua keranjang belerangku sama istriku.” Karmin berwasiat pada Tarno yang
kebetulan masih tetangganya.
Karmin melanjutkan langkah gontainya.
Hanya tekad dan nekad lah yang memenuhi jiwa Karmin. Tanpa
ketekadan dan kenekadan, sulit untuk mendaki ijen sebanyak tiga kali dengan
membawa beban berpuluh-puluh kilo.
Namun sebesar apapun tekad, segila apapun nekad yang
dicamkan, tubuh tak mampu dibohongi. Karmin memikul belerang seberat tujuhpuluh
lima kilogram dari pos penimbangan dengan diselimuti kabut yang menebal. Jarak
pandang yang hanya lima meter ditempuh Karmin. Dengan kaki mulai gemetar, bahu
kiri dan kanan yang terus bergantian memikul beban bergantian dengan cepatnya menandakan bahu-bahu yang sudah lelah dan bengkak.
Kepala Karmin mulai dirayapi ras pening.
Kepeningan makin kacau dengan pikiran Karmin yang semakin
menggila. Jika aku mati, siapa yang akan membayar SPP anak-anakku, siapa yang
mengobati istriku, siapa yang memberi makan keluargaku, siapa yang akan
membelikan mainan, meski hanya balon, anak-anakku. Pertanyaan itu semakin
berputarmenhujam syaraf otak dan kesadaran Karmin. Tanpa ada jawaban yang
terlintas.
Andai Karmin tahu bahwa sekolah anak-anak miskin ditanggung
oleh pemerintah, andai tahu bahwa ada jaminan kesehatan untuk para fuqoro’,
andai tahu ada dana sosial yang diperuntukkan bagi orang-orang melarat, Karmin
takkan terpusingkan dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tapi, anak Karmin bukanlah
anak pintar yang berhak untuk mendapat beasiswa. Karmin bukanlah orang yang
cukup tahu untuk mengurus administrasi jamkesmas yang begitu berbelit dan penuh
pungli. Dan Karmin tak punya keluasan akses untuk mengambil dana-dana sosial,
kecuali ketika menjelang pemilihan umum.
Di lereng itu, kaki Karmin tersandung, keranjang belerang
berkilo-kilo tersenggol batu tebing, tubuhnya oleng. Karmin terhempas ke jurang
gunung, tubuhnya terantuk batu.Karmin berpulang menjemput keindahan
panorama puncak perjuangannya di akhirat. Innalillahi wa inna ilayhi rojiun.
Entah siapa yang bakal menjawab semua pertanyaan Karmin?
Ayung Nitinegara, tinggal di bgreeneration.blog.spot.com
Banyuwangi, 02 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar