Salah satu cetakan Kitab Bugyatul Mustarsyidin |
(a). Memohon dengan
sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikapdan
tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan
Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap pihak Belanda dan
kaki tangannya.
(b) Supaya
memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya
Negara Republik Indonesia dan Agama Islam.
Demikianlah keputusan
yang kelak menggerakkan rakyat Indonesia, khususnya Jawa, bertempur dengan
sengit melawan NICA di pertempuran Surabaya pada 10 Nopember 1945. Keputusan yang
dikenal dengan Resolusi Jihad tersebut dikeluarkan oleh Hoobestur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini
mengadakan pertemuan dengan semua konsul NU se-Jawa Madura di Bubutan,
Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945.
Hadratusysyekh KH.
Hasyim Asyari, Rois Akbar NU, tentu tidak sembarangan dalam mengeluarkan
keputusan tersebut. Sebagai seorang yang begitu menguasai ilmu fiqih, tentu
setiap keputusannya didasarkan pada keilmuwan sekaligus keyakinan beragamanya
tersebut. Apalagi keputusan dalam bidang keagamaan, sebagaimana seruan untuk
jihad fi sabilillah.
Dalam perspektif fiqih,
jihad fi sabilillah dalam rangka
membela negara (wilayah / balad )
diperbolehkan hanya untuk mempertahankan Darul
Islam (Negara Islam). Lantas, apakah Indonesia merupakan darul islam yang diperkenankan untuk jihad fi sabilillah dalam mempertahankannya?
Pertanyaan tentang
status Indonesia (dulu disebut Hindia Belanda), telah mengemuka dan diputuskan
oleh Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936 M. Dalam
muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) adalah
sebagai darul islam. Hal ini
didasarkan pada kitab Bugyatul
Mustarsyidin:
مسألة : كل محل قدر مسلم ساكن به في زمن من الأزمان يصير دار إسلام تجري عليه
أحكامه في ذالك الزمان ومابعده وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم
ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لاحكما فعلم أن أرض
بتاوي وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها قبل الكفار
“Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang'”hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Jawah (Nusantara) adalah “Daerah Islam” (darul Islam) karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.”
Menarik kiranya
menelusuri kitab Bugyatul Mustarsyidin
tersebut dalam kaitannya tentang penyebutan Batawi
(Batavia / Jakarta), begitupula Jawah
(Nusantara / Indonesia), sebagai darul
islam.
Kitab Bugyatul Mustarsyidin dikarang oleh
seorang ulama asal Hadramaut, Yaman, Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain
bin Umar atau dikenal dengan julukan Al-Ba’alawi. Beliau dilahirkan di Tarim
pada 29 Sya’ban 1250 H. Beliau seorang mufti di Hadramaut yang sehari-harinya
beruzlah di Masjid Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sahran sekaligus menjadi imam
besar disana. Konon, di masjid itulah kitab Bugyatul
Mustarsyidin ditulis.
Kitab tersebut
merupakan kumpulan fatwa ulama muta’akhirin
dan beberapa fatwa yang sebelumnya telah ditulis dalam enam kitab fatawa. Diantaranya adalah Fatawa As-Sayyid Abdullah Husain Bafaqih,
Fatawa Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya, Fatawa Sayyid Alawi bin Saqaf al-Jufri, Fatawa Abu Bakar
al-Asykhari, dan Fatawa Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi.
Kembali ke pertanyaan
diatas, darimanakah Habib Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwa bahwa Batawi dan Jawah pada umumnya adalah darul
Islam?
Ada beberapa
kemungkinan yang bisa diajukan untuk menjawab pertanyaan diatas. Pertama, Habib
Abdurrahman Al-Ba’alawi mengeluarkan fatwanya sendiri. Kemungkinan fatwa
tersebut dikeluarkan ketika ada muridnya yang berasal dari Indonesia yang
menanyakan pertanyaan yang serupa.
Hal tersebut bukan
tidak mungkin. Mengingat hubungan nusantara dan dan Hadramaut telah terjalin
sejak lama. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwasannya Wali Songo,
penyebar Islam awal di Indonesia, berasal dari salah satu kota di Yaman
tersebut. Hubungan tersebut terutama dilakukan oleh kalangan habaib yang banyak
tinggal di Indonesia. Ada keterbatasan referensi bagi penulis untuk meneliti
kemungkinan ini lebih jauh. Insyaallah
pada tulisan lain akan dibahas.
Kemungkinan kedua,
Habib Abdurrahman Ba’alawi mengutip tentang status Betawi ataupun Jawah itu
berasal dari kitab Fatawa Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi. Pendapat ini, penulis kira, masih prematur. Namun,
setidaknya tulisan ini, bisa menjadi rintisan untuk menjawab pertanyaan diatas.
Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdi (1125-1194 H / 1713-1780 M), memiliki hubungan yang cukup harmonis
dengan murid-muridnya yang berasal dari Jawah.
Hubungan harmonis tersebut ditandai dengan perhatiannya terhadap mas’alatul jawiyah (Masalah-masalah dari Jawah). perhatian tersebut tampak dari karyanya yang berjudul Al-Durrat al-Bahiyyah fi Jawabil As’ilatil
Jawiyyah. Dalam penelitian Azyumadri Azra kitab tersebut tak diketahui
membahas tentang permasalahan apa. Namun, tidak mungkin permasalahan tentang Jawah yang diajukan ke Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi juga menanyakan tentang status Jawah itu sendiri dalam hukum Islam.
Salah satu murid dari
Sulaiman Al-Kurdi yang berasal dari Indonesia adalah Syeikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari (1122-1227 H / 1710-1812 M). Menurut Steenbrink (1984) Al-Banjari
seringkali meminta fatwa tentang permasalahan yang terjadi di tanah airnya. Salah
satu permasalahan yang pernah ditanyakan adalah tentang kebijakan Sultan
Banjar untuk mendenda rakyatnya yang tidak
melaksanakan sholat Jum’at.
Hubungan Al-Banjari
dengan Sulaiman Al-Kurdi ini menarik untuk diamati, mengingat kisah
kepulangannya ke tanah air. Al-Banjari bersama dua kawannya, Syekh Abdurrahman
al-Mishri al-Batawi dan Syekh Abdul Wahab al-Bugisi pada tahun 1186 H / 1773 M.
Kepulangan Al-Banjari tersebut tidak langsung menuju Banjarmasin, daerah
asalnya, namun menetap dulu di Betawi dalam beberapa bulan.
Saat tinggal di Betawi,
Al-Banjari banyak melakukan aktivitas dakwah yang berpengaruh besar. Salah satu
diantaranya adalah melakukan pembetulan arah kiblat di masjid-masjid yang
berada di Betawi. Tidak menutup kemungkinan keberadaan Al-Banjari di Betawi
berkirim surat ke Sulaiman Al-Kurdi untuk mempertanyakan status mempertahankan
Betawi dan Jawah (nusantara) pada
umumnya. Karena, pada masa-masa kedatangan Al-Banjari, Betawi dan sebagian
besar pulau Jawa terlibat dalam perlawanan menghadapi Belanda.
Sebagaimana dikemukakan
diawal, tulisan ini merupakan rintisan yang masih bersifat prematur, tentu
masih banyak hal yang perlu dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut. Namun terlepas
dari asal muasal pendapat tersebut, tulisan Habib Abdurrahman Ba’alawi di kitab
Bugyatul Mustarsyidin tak dapat
dipungkiri telah menjadi pijakan ulama Nusantara untuk berjihad mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi