Santri dan tumpukkan kitab kuning produksi Pethuk |
Bulan Ramadhan, bagi
santri pesantren, adalah waktunya huduran.
Yaitu ngaji kilatan beberapa kitab
kuning. Biasanya yang populer dikaji adalah kitab pethuk-an. Yaitu kitab yang
diterbitkan oleh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab yang berada di Dusun
Pethuk, Desa Poh Rubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Pesantren Hidayatut
Thullab atau lebih dikenal dengan Pesantren Pethuk layak disebut dengan
pahlawan literasi bagi keberlansungan Islam Nusantara. Bagaimana tidak,
Pesantren Pethuk tersebut banyak memproduksi kitab kuning yang menjadi
langganan pesantren – pesantren di Indonesia. Bahkan konon juga dipergunakan di
luar negeri seperti Malaysia, Brunai, Singapore, sampai Mesir.
Kutib kuning produksi
Pesantren Pethuk dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama kitab yang dikenal
dengan sebutan kitab bima’na Pethuk.
Kitab ini adalah kitab kuning pada umumnya karya ulama Timur Tengah maupun
ulama asli Nusantara. Misalnya, seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali
atau kitab Sirajuththalibin anggitan KH. Ihsan Jampes. Uniknya, kitab – kitab
tersebut, tidak seperti umumnya kitab kuning yang tampak kosong tanpa harakat.
Kitab kuning keluran Pethuk telah diberi makna gandul. Yaitu makna kitab dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan
huruf Arab Pegon.
Kitab bima’na Pethuk ini sangat membantu para
pengkaji kitab yang memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa Arab. Selain
itu, kitab jenis tersebut juga sering dijadikan muqabbalah (pembanding), bagi
para pengkaji kitab kuning ketika mengkaji kitab yang sama.
Jenis kedua yang
diterbitkan Pesantren Pethuk adalah kitab karya pengasuh maupun santri senior
di pesantren tersebut. Yaitu kitab dengan tema – tema tertentu yang bertema
ringan. Biasanya berkisar antara 60 sampai 100 lembar. Diantara judul-judul
kitabnya seperti Tafsir Surat Yasin, Tafsir Muqaddimah Al-Fatihah, Tafsir
Muawwidzatain, Masailus Shiyam, Mauidotun bil Hikayah, dan lain sebagainya.
Menariknya, kitab-kitab
jenis kedua ini berbentuk nukilan-nukilan dari berbagai sumber kitab muktabarah. Dari puluhan kitab dikutip
pada bagian-bagian yang sesuai dengan tema kitab yang dibahas. Misalnya kitab
Masailus Shiyam. Kitab tersebut berisi permasalahan seputar puasa, dimana
isinya berupa permasalahan yang jawabannya berupa kutipa-kutipan dari
kitab-kitab fiqih yang sudah masyhur. Seperti Ianatuth Tholibin, Al-Majmu’,
Fathul Wahab dan lainnya.
Karena kitab-kitab
tersebut merupakan nukilan dari sekian kitab-kitab, maka istilah yang dipergunakan
penulisnya bukanlah muallif (penulis), sebagaimana kitab kuning pada
umumnya. Namun menggunakan istilah jama’a
(mengumpulkan). Biasanya, sebelum diterbitkan kitab-kitab tersebut di-tashhih kebenarannya oleh KH. Idris
Marzuki, pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri.
Kitab Pethuk jenis
kedua ini cocok untuk pemula. Santri baru yang pertama kali bersentuhan dengan
kitab kuning dan memaknai dengan huruf pegon amat terbantu dengan kitab jenis
ini. Selain penggunaan kosakata da susunan gramatika bahasa Arabnya yang sederhana,
juga tata letak hurufnya menggunakan font
yang agak besar dan spasi yang cukup luas dibanding kitab kuning umumnya. Jadi,
para santri baru dapat dengan mudah memaknai gandul.
Contoh kitab kuning terbitan Pethuk |
Pesantren
Pethuk dengan kitab kuningnya tidak terlepas dari sosok pendiri dan pengasuhnya,
KH. Ahmad Yasin Asymuni. Beliau adalah alumni Pesantren Lirboyo, Kediri. KH.
Asymuni merasa prihatin dengan nasibnya ketika di pesantren. Tak banyak kitab
yang berhasil dipelajarinya karena untuk menghatamkan satu kitab membutuhkan
rentang waktu yang lama. Pengalaman itulah yang mendorongnya untuk memproduksi
kitab – kitab yang telah diberi makna sebagaimana waktu mengaji dulu (kitab bima’na pethuk).
Keprihatinan
tersebut mulai direalisasikannya ketika mulai mendirikan Pesantren Hidayatut
Thullab. Pesantren tersebut didirikan sejak tahun 1993. Semenjak itu pula
produksi dua jenis kitab sebagaimana diatas dimulai. Rata-rata setiap tahun ada
sepuluh judul kitab yang diproduksiya. Sampai tahun 2013 kemarin Pesantren
Pethuk telah menghasilkan 188 judul kitab karya sendiri.
Tata
kelola penerbitan kitab diurus langsung oleh koperasi pesantren. Omzet harian
rata-rata satu juta, namun ketika menjelang Ramadhan bisa mencapa tiga sampai
empat juta per hari. Hal ini karena banyaknya pesantren atau majlis taklim yang
menyelenggarakan pengajian kilatan dengan mengkaji kitab-kitab Pethuk ini.
Sekali
lagi, Pesantren Pethuk layak dianugerahi sebagai pahlawan literasi bagi Islam
Nusantara. Bagaimanapun Islam Nusantara tidak bisa terlepas dari namanya kitab
kuning. Kitab kuning bagi penganut maupun penggiat Islam Nusantara adalah referensi
utama. Sudah barang tentu nasib Islam Nusantara bergantung pada keberlansungan
kitab kuning. Atau jika dirunut, bergantung pada penggiat kitab kuning seperti
halnya Pesantren Pethuk.
Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi
Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar