menu

Rabu, 24 Juni 2015

PETHUK, PAHLAWAN LITERASI ISLAM NUSANTARA

Santri dan tumpukkan kitab kuning produksi Pethuk
Bulan Ramadhan, bagi santri pesantren, adalah waktunya huduran. Yaitu ngaji kilatan beberapa kitab kuning. Biasanya yang populer dikaji adalah kitab pethuk-an. Yaitu kitab yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab yang berada di Dusun Pethuk, Desa Poh Rubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.

Pesantren Hidayatut Thullab atau lebih dikenal dengan Pesantren Pethuk layak disebut dengan pahlawan literasi bagi keberlansungan Islam Nusantara. Bagaimana tidak, Pesantren Pethuk tersebut banyak memproduksi kitab kuning yang menjadi langganan pesantren – pesantren di Indonesia. Bahkan konon juga dipergunakan di luar negeri seperti Malaysia, Brunai, Singapore, sampai Mesir.

Kutib kuning produksi Pesantren Pethuk dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama kitab yang dikenal dengan sebutan kitab bima’na Pethuk. Kitab ini adalah kitab kuning pada umumnya karya ulama Timur Tengah maupun ulama asli Nusantara. Misalnya, seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali atau kitab Sirajuththalibin anggitan KH. Ihsan Jampes. Uniknya, kitab – kitab tersebut, tidak seperti umumnya kitab kuning yang tampak kosong tanpa harakat. Kitab kuning keluran Pethuk telah diberi makna gandul. Yaitu makna kitab dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab Pegon.

Kitab bima’na Pethuk ini sangat membantu para pengkaji kitab yang memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa Arab. Selain itu, kitab jenis tersebut juga sering dijadikan muqabbalah  (pembanding), bagi para pengkaji kitab kuning ketika mengkaji kitab yang sama.

Jenis kedua yang diterbitkan Pesantren Pethuk adalah kitab karya pengasuh maupun santri senior di pesantren tersebut. Yaitu kitab dengan tema – tema tertentu yang bertema ringan. Biasanya berkisar antara 60 sampai 100 lembar. Diantara judul-judul kitabnya seperti Tafsir Surat Yasin, Tafsir Muqaddimah Al-Fatihah, Tafsir Muawwidzatain, Masailus Shiyam, Mauidotun bil Hikayah, dan lain sebagainya.

Menariknya, kitab-kitab jenis kedua ini berbentuk nukilan-nukilan dari berbagai sumber kitab muktabarah. Dari puluhan kitab dikutip pada bagian-bagian yang sesuai dengan tema kitab yang dibahas. Misalnya kitab Masailus Shiyam. Kitab tersebut berisi permasalahan seputar puasa, dimana isinya berupa permasalahan yang jawabannya berupa kutipa-kutipan dari kitab-kitab fiqih yang sudah masyhur. Seperti Ianatuth Tholibin, Al-Majmu’, Fathul Wahab dan lainnya.

Karena kitab-kitab tersebut merupakan nukilan dari sekian kitab-kitab, maka istilah yang dipergunakan penulisnya bukanlah muallif  (penulis), sebagaimana kitab kuning pada umumnya. Namun menggunakan istilah jama’a (mengumpulkan). Biasanya, sebelum diterbitkan kitab-kitab tersebut di-tashhih kebenarannya oleh KH. Idris Marzuki, pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri.

Kitab Pethuk jenis kedua ini cocok untuk pemula. Santri baru yang pertama kali bersentuhan dengan kitab kuning dan memaknai dengan huruf pegon amat terbantu dengan kitab jenis ini. Selain penggunaan kosakata da susunan gramatika bahasa Arabnya yang sederhana, juga tata letak hurufnya menggunakan font yang agak besar dan spasi yang cukup luas dibanding kitab kuning umumnya. Jadi, para santri baru dapat dengan mudah memaknai gandul.

Contoh kitab kuning terbitan Pethuk
Pesantren Pethuk dengan kitab kuningnya tidak terlepas dari sosok pendiri dan pengasuhnya, KH. Ahmad Yasin Asymuni. Beliau adalah alumni Pesantren Lirboyo, Kediri. KH. Asymuni merasa prihatin dengan nasibnya ketika di pesantren. Tak banyak kitab yang berhasil dipelajarinya karena untuk menghatamkan satu kitab membutuhkan rentang waktu yang lama. Pengalaman itulah yang mendorongnya untuk memproduksi kitab – kitab yang telah diberi makna sebagaimana waktu mengaji dulu (kitab bima’na pethuk).
Keprihatinan tersebut mulai direalisasikannya ketika mulai mendirikan Pesantren Hidayatut Thullab. Pesantren tersebut didirikan sejak tahun 1993. Semenjak itu pula produksi dua jenis kitab sebagaimana diatas dimulai. Rata-rata setiap tahun ada sepuluh judul kitab yang diproduksiya. Sampai tahun 2013 kemarin Pesantren Pethuk telah menghasilkan 188 judul kitab karya sendiri.
Tata kelola penerbitan kitab diurus langsung oleh koperasi pesantren. Omzet harian rata-rata satu juta, namun ketika menjelang Ramadhan bisa mencapa tiga sampai empat juta per hari. Hal ini karena banyaknya pesantren atau majlis taklim yang menyelenggarakan pengajian kilatan dengan mengkaji kitab-kitab Pethuk ini.

Sekali lagi, Pesantren Pethuk layak dianugerahi sebagai pahlawan literasi bagi Islam Nusantara. Bagaimanapun Islam Nusantara tidak bisa terlepas dari namanya kitab kuning. Kitab kuning bagi penganut maupun penggiat Islam Nusantara adalah referensi utama. Sudah barang tentu nasib Islam Nusantara bergantung pada keberlansungan kitab kuning. Atau jika dirunut, bergantung pada penggiat kitab kuning seperti halnya Pesantren Pethuk.


Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi

Tidak ada komentar: