Desa Pelaosan begitu meriah. Gambar-gambar
bertebaran di setiap sudut desa. Mulai dari yang ukuran polio sampai ukuran
baliho. Ada
yang bergambar orang memakai dasi yang dipadu dengan jas sebagai bukti
keprofisionalan dan keintelektualannya. Ada
juga yang berkopiah dan baju koko putih seolah-olah menampakkan
keberagamaannya. Dan adapula yang bersafari sambil mengacungkan genggaman
tangannya untuk menggambarkan semangatya.
Pilihan kepala desa kali ini berbeda dengan
pemilihan kepala desa – kepala desa sebelumnya, dimana hanya memasang gambar
hasil kebun, seperti jagung, kelapa, pisang, singkong, dan lainnya sebagai
lambang setiap kandidat.
Tak hanya sebatas gambar wajah, tapi juga sudah
memakai berbagai slogan yang saling bersaing mutu untuk merebut simpati rakyat.
“Lanjutkan kepemimpinan cerdas dan bersih”.
Begitu bunyi slogan dari Drs. Soeharto yang menjadi calon incumbent.
Beda latar belakang kandidat beda slogan pula. Haji Abdullah atau akrab dipanggil Haji Dullah, salah seorang tokoh masyarakat yang memimpin salah satu ormas keagamaan, memakai jargon, “Wujudkan desa agamis yang sejahtera”.
Begitu pula calon ketiga yang menjadi representasi para pemuda, Mulyono atau familiar disebut Cak Mul, mungusung jargon, “Dengan semangat muda, mengubah desa menjadi kota”.
Beda latar belakang kandidat beda slogan pula. Haji Abdullah atau akrab dipanggil Haji Dullah, salah seorang tokoh masyarakat yang memimpin salah satu ormas keagamaan, memakai jargon, “Wujudkan desa agamis yang sejahtera”.
Begitu pula calon ketiga yang menjadi representasi para pemuda, Mulyono atau familiar disebut Cak Mul, mungusung jargon, “Dengan semangat muda, mengubah desa menjadi kota”.
Demam pemilihan kepala desa menjalar ke berbagai
penjuru, tidak hanya dalam desa bahkan sampai pula ke luar desa. Pemilihan
kepala desa selalu menjadi topik utama.
“Kaya’e Pak Lurah bakal kepilih lagi.” Ujar
Sarmin di pos ronda.
“Iya.. Keputusannya membuat lapangan bola baru
akan mampu merebut simpati para pemuda untuk memilihnya.” Timpal Kardi
menganalisis kebijakan Pak Lurah dengan gaya
bak pengamatan politik yang sering muncul di televisi.
“Kalau saya menjagokan Haji Dullah.” Rahmat
menanggapi.
“Dia sosok yang baik dan agamis, gak neko-neko
hidupnya. Pasti banyak yang simpatik kepada beliau.” Lanjutnya.
“Benar Haji Dullah berpeluang menempel ketat Pak
Lurah. Setelah saya melakukan survey kecil-kecilan dibeberapa kantong suaranya
Pak Lurah banyak yang mendukung Haji Dullah.” Ujar sang pengamat politik
kampung, Kardi.
“Kalau menurutmu peluangnya Mulyono bagaimana?”
Tanya Sarmin ke Kardi.
“Dia tak ubahnya pion yang hanya dijadikan tumbal
dalam setiap pertarungan. Tumbang dia.” Jawab Kardi.
“Alah sok tahu kamu Kar.” Bentak Karmin yang merupakan saudara jauhnya Mulyono.
“Alah sok tahu kamu Kar.” Bentak Karmin yang merupakan saudara jauhnya Mulyono.
“Kamu saja Min yang kurang pergaulan.” Kardi
tersulut emosinya.
“Wes..wes…” Sarmin melerainya.
Semakin dekat waktu pemilihan semakin panas dan
sensitif perbincangan tentang pilkades, pemilihan kepala desa. Apalagi dibumbui
gerak para petaruh yang memanaskan situasi. Namun perbincangan calon kepala
desa mengerucut kepada dua kandidat, Lurah lama dan Haji Dullah. Pada bursa
taruhan para Bhotho Lurah, menempatkan keduanya sebagai calon kuat. Sedangakan
Cak Mul dianggap sebagai bawang alias pelengkap.
“Kamu cari sebanyak mungkin bhotho-bhotho cilik
dari dalam desa yang pegang Mulyono. Kamu kasih penawaran yang menguntungkan
mereka agar mereka mau memilih Mulyono. Gunakan uang ini untuk notoi Pak Lurah
dan Haji Dullah.” Tarmin, si Bhotho besar, menginstruksikan kepada kedua anak
buahnya, Udin dan Tarjo.
Meluncurlah dua bhotho suruhan Tarmin untuk
melakukan transaksi perjudian. Ada
yang model ashor setengah yaitu dua suara Pak Lurah atau Haji Dullah sama denga
satu suara Cal Mul. Ada
juga yang model ngepoor yaitu perhitungan suara Pak Lurah atau Haji Dullah
dimulai dari min, mulai min seratus, min seratus limapuluh, bahkan sampai min
duaratus suara.
Taruhannya beragam. Mulai dari uang limaratus
ribu, satu juta, bahkan sampai mendekati sepuluh juta. Ada pula yang mempertaruhkan kambing, sapi,
sepeda motor atau bahkan menggadaikan sertifikat rumah atau kebun dan sawahnya.
Perjudian yang tak hanya bemotif uang tapi juga gengsi dan tradisi.
Udin dan Tarjo sukses menjalankan perintah sang
bos. Semua petaruh-petaruh kelas rencek menjagokan Cak Mul. Sedangkan Pak Lurah
dan Haji Dullah dimonopoli oleh Udin dan Tarjo saja. Jika ada yang menjagokan
Pak Lurah dan Haji Dullah, Udin atau Tarjo akan menantangnya dengan penawaran
yang menguntungkan lawannya. Jika tidak mau, maka musuh dari lawannya tersebut
dibeli agar mau bertaruh dengan Udin atau Tarjo saja. Tentunya juga dengan penawaran
yang lebih menggiurkan.
Malam menjelang hari pemilihan adalah malam yang
paling mendebarkan. Disetiap sudut desa banyak masyarakat yang bergadang. Malam
itu menjadi malam penentuan siapa yang bakal menjadi kepala desa. Dari kalangan
pemercaya mistis, mereka akan sering melihat ke langit untuk memastikan
jatuhnya andaru, si bintang jatuh yang dipercaya sebagai perlambang
keberuntungan. Rumah yang terlihat kejatuhan andaru ini dipercaya akan menjadi
pemenang. Berbeda dengan para simpatisan kandidat kepala desa, mereka akan
menjaga sekitar rumah si calon untuk memastikan tidak ada serangan ghaib,
semacam sihir, yang dipercaya bisa merusak suara si calon. Selain itu, mereka
juga berjaga-jaga dibeberapa tempat yang rawan dan sepi dari bentuk serangan fajar
yaitu pembagian uang atau sembako untuk membeli suara masyarakat besok di hari
pemilihan. Serangan fajar tidak hanya diotaki oleh tim sukses salah satu
kandidat, tapi yang paling bahaya adalah yang dilakukan oleh para bhotho.
Ratusan masyarakat tumplek blek di lapangan untuk
menyaksikan perhitungan suara setelah jam satu ditutup kesempatan pemungutan
suara. Para bhotho hilir mudik memantau
jalannya perhitungan. Ada
yang berwajah tegang, harap-harap cemas, ada yang khusu’ seolah memanjatkan
doa, ada pula yang menahan senyum melihat jagoannya memperoleh suara banyak.
Tampak pula Udin dan Tarjo yang juga tidak kalah tegangnya. Maklum dia berdua
menjadi bintang diantara ratusan bhotho yang hadir.
“Bos celaka, jagoan kita kalah semua.” Udin
melaporkan hasil perhitungan suara pemilihan kepala desa kepada sang bos,
Tarmin.
“Ha…ha…ha….” Diluar dugaan, Tarmin malah ketawa
keras memperlihatkan gigi-gigi emas di gerahamnya.
“Kalah kok malah ketawa Bos?” Tarjo tidak
memahami prilaku bosnya yang telah memodalinya duaratusan juta untuk taruhan
kepala desa.
“Goblok kamu. Kalian berdua itu hanya umpan. Saya
sengaja mengarahkan bhotho-bhotho cilik itu untuk menjagokan Mulyono. Sehingga
mereka nantinya yang akan menggembosi suaranya Lurah dan Haji Dullah. Kita tidak
perlu berkeringat mencari suara, biar mereka yang menyogok dan membujuk saudara
dan teman-temannya.” Tarmin menjelaskan dengan diiringi gelak tawa.
“Terus uangnya gimana bos?” Udin masih belum
faham.
“Hahahaha… saya ini bhotho kelas kakap musuhnya
pun kelas kakap. Aku megang Mulyono melawan Koh Liong, bos tambak desa sebelah.
Kamu tahu tidak?” Tanya Tarmin.
Udin dan Tarjo menggeleng.
“Empat ratus juta.” Ujar Tarmin memberitahu anak
buahnya.
“HA HA HA….” Tarmin tertawa sekali lagi diikuti
oleh Udin dan Tarjo. Mereka mentertawakan proses demokrasi yang telah
dikangkangi oleh para bhotho lurah protolan sekolah dasar.
Ayung Notonegoro