menu

Jumat, 08 Juni 2012

IBU PEMILIK PENUH

Sungguh menakutkan melihat data Orang Dengan HIV / AIDS (ODHA ) di Kabupaten Banyuwangi. Sebagaimana diberitakan di Radar Banyuwangi (02/12/2011) bahwa ODHA di Kabupten Banyuwangi mencapai 1.015 orang dan menduduki peringkat ketiga di Jawa Timur. Dan yang mencengangkan adalah adanya penyebaran HIV di kalangan Ibu Rumah Tangga (IRT). Sebagaimana data yang dilansir harian Suara Surabaya (01/12/2011) menyatakan bahwa ODHA dari kalangan Ibu Rumah Tangga mencapai 10% atau sekitar 600 orang melebihi jumlah ODHA dari kalangan PSK yang hanya 5%. Menurut laporan KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) menerangkan bahwa akibat penularan HIV dikalangan Ibu Rumah Tangga banyak diakibatkan melalui hubungan badan dengan suami (laporan KPAN 2010).
Penularan HIV kepada IRT atau biasa dikenal dengan feminimisasi epedemi HIV salah satunya merupakan akibat paradigma sosio-teologis sebagian masyarakat yang meletakkan perempuan (Ibu) berada pada posisi sub-ordinat saat melakukan hubungan seksual. Posisi ibu sami’an wa tha’atan ketika sang suami mengajaknya melakukan hubungan intim. Istri tak biasa menolak ajakan suami meskipun sang suami adalah pengidap HIV/ AIDS.


Paradigma yang menjadikan ibu-ibu sebagai objek pasif dalam menentukan hubungan biologis harus segera di rubah demi masa depan kesehatan sang ibu (perempuan). Ibu memiliki hak untuk ikut menentukan kapan dan bagaimana proses reproduksi itu berlansung demi kesehatan seksualitas dan reproduksinya. Sehubungan dengan itu, FWCW (Fourth World Conference on Women) pada tahun 1995 telah merumuskan tentang hak-hak seksualitas perempuan yang telah tertuang dalam pasal 97, yaitu: “Hak-hak asasi perempuan termasuk hak menguasai dan membuat keputusan secara bebas dan tanggung jawab tentang semua hal yang berhubungan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksualitas dan kesehatan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan.
Hubungan yang setara (equal)antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual dan reproduksi – termasuk kehormatan penuh untuk integritas pribadi – memerlukan kehormatan satu sama lain (mutual respect), persetujuan (consent), serta tanggung jawab bersama (joint responsibility) untuk perilaku seks dan konsekuensinya.”
dengan begitu, ibu memiliki hak untuk mengatur reprodusinya, termasuk menentukan untuk berhubungan badan dengan suami demi kesehatannya.
Dalam tinjauan agama islam memang terdapat beberapa dalil yang “mengesankan” suami memiliki hak penuh untuk melakukan hubungan badan dengan istrinya. Misalnya QS. Al-Baqarah (2):223 menyebutkan, nisaa’ukum hartsulakum fa’tuu hartsukum anna syiktum – istrimu adalah ladangmu maka tanamilah ladangmu itu kapan saja kamu kehendaki. Dan ada pula beberapa hadis, misalnya, idza l-rajulu da’aa zawjatahu lihaajatihi falta’tihi wa in kanat alaa l-tannur (At-Tirmidzi, V/1992, No. Hadist: 4697).*yang berarti: jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan inti, maka hendaknya sang istri memenuhi, meskipun sedang memasak didapur.
Namun dalil-dalil diatas tidak bisa secara otomatis melegetemasi suami untuk meniduri istri, meski sang suami berisiko tinggi HIV/AIDS atau penyakit kelamin menular lainnya, dengan menafikan dalil-dalil lainnya. Dalam QS. An-Nis(4):19 disebutkan, wa’aasyaruuhunna bil ma’ruf – dan bergaulah (berhungan badan) dengan mereka (perempuan) secara patut – yang mengindikasikan bahwa berhubungan badan harus tetap mempertimbangkan manfaat dan bahayanya. Dan juga banyak hadis yang menganjurkan berbuat baik kepada istri diantaranya hadis dari Abdullah bin Amr yang berarti,”sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istri, dan aku adalah orang yang paling baik diantara kamu sekalian terhadap istriku.” (Ibnu Majah:1978).
Dengan demikian,ibu tidak harus patuh begitu saja terhadap suami saat sang suami ingin melampiaskan kebutuhan biologis ketika hubungan itu berisiko besar terhadap masa depan kesehatan. Ibu adalah pemilik penuh hak reproduksi karena ibu adalah orang yang menjadi korban pertama dan utama saat terjadi masalah pada bagian reprodusi.
Paradigma yang menjunjung hak-hak perempuan dalam reproduksi merupakan salah satu cara utama untuk memutus rantai feminimisasi epedemi HIV. Sudah saatnya Ibu membela hak-haknya. Selamat hari Ibu.
· Untuk kwalitas hadis ini bisa dibaca di buku karya FK-3, kembang Setaman Perkawinan, hal.72.
· Penulis: Barur Rohim, Mahasiswa STAI Ibrahimy dan nyantri di PP. Al-Anwari Banyuwangi.

Tidak ada komentar: