Dalam penelusuran
tersebut, ada semacam pola yang terbentuk dalam interaksi para tokoh itu dengan
buku. Mereka mengawali dengan membaca, lalu menulis dan diakhiri ditulis dalam
buku. Hal ini pun berlaku dalam kisah hidup tokoh besar bangsa Indonesia, Tan
Malaka.
Dalam buku “Tan Malaka: Bapak Republik Yang Dilupakan”
terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Tempo (cetakan ketiga: Juli
2015), pun yang menjadi fokus pembacaannya adalah perjumpaan Tan Malaka dengan bacaan
dan tulisan (literasi).
Tan Malaka yang bernama
lengkap Datuk Ibrahim Tan Malaka ini lahir dikalangan pemeluk Islam yang taat.
Maka, tak ayal lagi, interaksi awalnya dengan aksara pun dimulai dari Al-Quran
yang menjadi bacaan wajib umat Islam. Bahkan, Tan Malaka pada masa kecilnya
pernah hafal Al-Qur’an, sebagaimana pengakua Zulfikar mengutip penuturan
Kamaruddin, adik kandung Tan (hal. 95).
Sebagai seorang bocah
yang cerdas, Tan memiliki kesempatan untuk meneruskan pendidikannya sampai ke
Belanda. Pada 1913, Tan muda (usia 16 tahun) melanjutkan sekolah guru-nya di Rijkweekschool yang berada di kota
Haarlem. Sebuah kota kecil di bagian utara Belanda.
Di kota inilah,
interaksi Tan dengan buku menemukan momentumnya. Tempat tinggal Tan di Jacobijnestraat berdampingan dengan toko
buku De Vries yang menjual buku bekas
membantu gairah Tan untuk membaca. Tak hanya toko buku De Vries, tapi toko buku lainnya pun Tan kunjungi.
Tan pun mulai melahap
buku-buku para filsuf dan pemikir populer kala itu. Diantaranya Thus Spoke Zarathusta dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu
pula buku karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia, yang berjudul The French Revolution (hal. 107).
Minatnya yang tinggi
dalam membaca buku-buku politik tersebut, membuat nilai sekolah Tan Malaka
menurun. Sebagaimana yang dituturkan oleh Arie de Waard, teman sekelasnya di Rijkweekschool (hal. 112).
Selain buku, Tan juga
menambah bacaannya dengan beragam surat kabar. Dimana dia sering kali
mendiskusikannya dengan teman-teman tempat pemondokannya. Dia membaca De Telegraf, sebuah surat kabar yang
anti-Jerman dan Het Volk yang rajin
menyerukan pesan anti-kapitalisme dan anti-imperialisme (hal. 107).
Gairah membaca Tan
Malaka tak pernah surut. Bahkan saat tinggal di Rawajati, Kalibata, Tan Malaka
kerap meyambangi Museum Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen – sekarang Museum Nasional – untuk
mencari dan membaca buku. Bila hendak kesana, Tan bangun jam setengah lima
subuh lalu berangkat kesana. Sekitar pukul sembilan Tan baru sampai di museum
(hal. 52).
Pergumulan
Tan dengan dunian bacaan merangsangnya untuk menulis. Buku yang pertam kali
ditulisnya berjudul Parlemen atau Soviet
yang ditulisnya tahun 1920. Sepulangnya dari Belanda, Tan mengajar di sekolah
rendah perkebunan teh Belanda di Deli. Disini, dia menulis Dasar Pendidikan (1921). Tak lama menjadi seorang guru, Tan hijrah
ke Semarang. Disana Tan terlibat dalam dunia pergerakkan. Tan aktif di
organisasi Sarekat Islam (SI). Dalam keterlibatannya di SI, Tan menulis “SI Semarang dan Onderwijs” (1921).
Keterlibatan
Tan di SI mengantarkannya ke Belanda lagi. 13 Februari 1922 Tan Malaka dibuang
ke Amsterdam, Belanda. Dalam pembuangannya, Tan aktif dalam gerakan Partai
Komunis Belanda. Kemudian pada November 1922, Tan mewakili Partai Komunis
Indonesia dalam Konferensi Komunis Internasiona (Komitern), di Moskow, Rusia.
Setelah kongres usai, Tan diminta Karl Radek (pemimpin komitern urusan Asia)
untuk menulis.
Tan
dibebaskan untuk menulis apa saja. Ia pun memilih menulis tentang sejarah dan
statistik yang berkaitan dengan Indonesia. Bahan-bahan tulisannya dipesankan
dari Belanda. Tulisan-tulisan tersebut diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun
1924 dengan judul Indonezija; ejo mesto
na proboezdajoesjtsjemsja Vostoke (Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang
Bangkit). Setahun kemudian, buku ini kembali diterbitkan oleh Pemerintah Rusia
untuk dibagikan sejumlah 5.000 ekslempar (hal. 75).
Namun,
Tan tak sempat menunggu “lahirnya” buku tersebut. Tan keburu pergi ke Kanton,
Tiongkok sebagai wakil Komitern untuk Asia Timur. Di Kanton (1924), Tan
dipercaya untuk menerbitkan surat kabar produk Komitern dengan nama, The Dawn. Di Kanton pula, Tan Malaka
menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia).
Buku
yang ditulis 1924 dan diterbitkan pertama kali pada April, 1925 tersebut
merupakan buku pertama yang menggagas tentang Republik Indonesia. Ketika berada
di Filipina pada 1925, Tan kembali mencetak buku ini. Lantas, buku tersebut
masuk ke Indonesia dan menjadi viral dengan cara diketik ulang (bahkan sampai
dengan tujuh lapis kertas karbon), dikalangan aktivis dan terpelajar.
Tak
ayal, buku tersebut menjadi buku favorit para tokoh pergerakan. Ir. Soekarno,
sebagaimana pengakuan Sayuti Melik, selalu membawa buku tersebut. Begitu pula
Muhammad Yamin juga menyuaki buku tersebut (hal. 82-83).
Pada
1925 Tan berpindah dari Kanton ke Filipina. Di tahun itu pula Tan menyelesaikan
bukunya yang berjudul Semangat Muda.
Tak banyak catatan tentang buku ini. Namun kepindahan Tan ke Filipina kembali
mengantarkannya pada aktivitas tulis-menulis. Dia menjadi koresponden surat
kabar El Debate (hal.87).
Awal
tahun 1926 Tan memasuki Singapore. Kala itu, di Indonesia, PKI sedang
menggelorakan untuk melakukan revolusi melawan Kolonial Belanda. Tan yang
berada dipersembunyiannya (Geylang Serai, Singapore), buru-buru menulis buku guna,
menurutnya, mencegah lahirnya revolusi yang masih prematur. Namun, buku
tersebut telat cetak dan tak menemui sasaran awalnya, karena revolusi keburu
dibekuk Belanda (hal. 89).
Namun
buku berjudul Massa Actie in Indonesia menjadi
sumber inspirasi massa untuk melakukan gerakan revolusi selanjutnya. Buku setebal
129 halaman tersebut, Tan menulis tentang sejarah ringkas akan arti sebuah
imajinasi bernama Indonesia. Dari buku ini, WR. Supratman terinspirasi
menuliskan lagu Indonesia Raya (hal. 90).
Tahun-tahun
berikutnya, Tan Malaka tetap menggerakkan revolusi dimanapun berada. Baik di
dalam maupun di luar negeri seraya tetap menulis. Diantaranya adalah Manifesto Bangkok (1927), Pari dan International (1927), Aslia
Bergabung (19430, Manifesto Jakarta (1945),
Politik (1945), Rencana Ekonomi Berjuang (1945), Muslihat (1945), Thesis
(1946), Pidato Purwokerto (1946), Pidato Solo (1946), Islam Dalam Tinjauan Madilog (1948), Gerpolek (Gerakan, Politik dan Ekonomi) (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), Pidato Kediri (1948), Proklamasi 17-8-45, Isi dan Pelaksanaannya (1948)
(hal. 9).
Selain
buku-buku tersebut, magnum opus dari
karya-karya Tan Malaka adalah buku berjudul Madilog
(Materialisme, Dialektika, Logika). Buku tersebut ditulis sejak 15 Juli
1942 sampai 30 Maret 1943 di Desa Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di
Kalibata, Jakarta. Disebuar ruangan seluas 15 meter persegi itu, Tan menuliskan
gagasannya sedari pukul enam pagi sampai 12 siang. Naskah Madilog tersebut dibawa Tan berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur. (hal. 52-53).
Menurut
Rizal Adhitiya Hidayat, Madilog
merupakan sebuah sintesis perantauan yang dilakukan oleh Tan. Perantauan yang
mengantarkannya berkenalan dengan segal dinamika pemikiran dan pergerakan.
Perantauan yang berluma dari kota Haarlem, Belanda sampai di Rawajati (Hal.164-167).
Karya
autobiografi Tan Malaka yang berjudul Dari
Penjara ke Penjara pun menjadi karya yang melegenda. Buku berjumlah tiga
jilid yang berisi tentang kisah hidup dan pemikirannya tersebut terus menjadi
bacaan orang-orang yang ingin mengenal Tan Malaka. Banyak buku-buku yang
menulis tentang Tan berhutang banyak pada buku tersebut.
Gerakan
penulisan Tan Malaka terakhir berupa pamflet-pamflet tentang kecaman terhadap
Belanda dan Soekarno-Hatta yang menolak bergerilya. Pamflet itu diterbitkannya dari
Markas Murba Terpendam. Yaitu sebuah tempat persembunyian Tan pada tahun 1949
di Kediri atas ajakan seorang Mayor bernama Sabaarudin (hal. 135).
Di
persembunyian terakhirnya, tepatnya di Dusun Selopanggung, Semen, Kediri itu,
Tan menghembuskan nafas terakhirnya. Menurut Tolu, seorang warga Dusun
Selopanggung, menceritakan bahwa dirinya melihat seseorang yang ditawan bersama
tumpukan buku disebuah lumbung padi oleh Pasukan Batalion Sikatan. Kemudian terjadi letusan dan tahanan itu tak
pernah dilihatnya kembali (hal. 128)
Kejadian
di lereng Gunung Wilis itu, menurut Harry Poeze, merupakan peristiwa pembunuhan
Tan Malaka oleh militer. Dimana kejadian tersebut terjadi pada tanggal 21
Februari 1949 (hal. 129).
Kematian
Tan Malaka tak lantas menutup keterlibatannya dalam dunia buku. Setelah
sepanjang hidupnya diisi dengan membaca dan menulis buku, sepeninggalnya pun
Tan Malaka memasuki tahapan untuk ditulis dalam buku. Banyak karya yang
mengupas tentang Tan Malaka, baik pemikiran maupun kisah perjuangannya. Salah satu
karya yang paling otoritatif adalah buku setebal 2.200 halaman yang ditulis
oleh Harry Albert Poeze. Buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitiannya
terhadap tokoh asli Minang ini dilakukan selama 36 tahun. Baru pada akhir Juli
2007, ia meluncurkannya dengan judul Vurguisd
en Vergeten, Tan Malaka, de Linkse beweging en de Indonesische Revolutie,
1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia 1945-1949).
Selain
karya sejarah dan pemikiran, ada juga karya tulis berjenis roman-fiksi yang
berkisah tentang Tan Malaka. Seperti buku berjudul Patjar Merah Indonesia (1938), karya Hasbullah Parendurie. Adapula yang
berjudul Tan Malaka di Kota Medan
karya Mochtar Nasution yang diterbitkan pada tahun 1941 (hal.127).
Begitulah
kisah Tan Malaka. Perjuangannya tak berhenti sebatas usianya, namun dengan
buku-buku yang ditulisnya, Datuk Ibrahim Tan Malaka terus berjuang hingga
kelak. Sebagaimana Tan Malaka tulis dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara:
“Ingatlah
bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi.”
Banyuwangi, 1 September 2015
Ayung Notonegoro (Penggiat Literasi Banyuwangi)