Kitab Ta'limul Muta'allim |
Siapa yang tak mengenal
dengan kitab Ta’limul Muta’alim ? Ya,
hampir semua orang yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan pesantren
mengenal dengan kitab ini. Kitab yang berisi tentang tata cara dan etika
menjadi seorang penuntut ilmu ini seakan menjadi kitab wajib yang harus
diajarkan kepada para santri. Terutama para santri baru.
Kitab yang ditulis oleh
Syekh al-Zarnuji ini ditulis sekitar abad ke-VI Hijriyah. Tak ada catatan pasti
tentang kapan awal kali ditulisnya kitab tersebut. Hal ini sama misteriusnya
dengan biografi penulisnya sendiri. Al-Zarnuji sendiri bukanlah nama yang
spesifik mengacu terhadap satu orang. Al-Zarnuji adalah nama yang disandangkan
berdasarkan daerah asal si penulis, yaitu daerah Zarnuj. Daerah ini menurut al-Quraisy
dalam al-Jawahirul Mudliah diduga
berada di daerah Iraq. Sedangkan menurut Yusuf al-Hamawi dalam Mu’jamul Buldan diduga berada di daerah
Turkistan yang kini masuk wilayah Afganistan.
Tak ada identitas lain
yang bisa dilacak dari Syekh al-Zarnuji. Hanya ada beberapa nama gurunya yang
tertulis dalam kitab Ta’limul Muta’alim tersebut yang bisa dilacak. Seperti
Burhanuddin Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (w. 593 H / 1197 M), Ruknul Islam
Muhammad bin Abu Bakar yang terkenal dengan nama Imam Zadeh (w. 573 H / 1177
M), Syekh Hammad bin Ibrahim (w. 576 H / 1180 M), Syekh Fakhruddin al Kasyani
(w. 587 H / 1191 M), Syekh Fakhruddin Qadli Khan al Ouzjandi (w. 592 H / 1196
M), dan Rukhuddin al Farghani (w. 594 H / 1198 M). Kesemuanya adalah ulama
fiqih bermadzab Hanafiyah. Dapat diduga Syekh al-Zarnuji ini pun adalah seorang
ahli fiqih dari madzab Hanafiyah pula.
Perjalanan
kitab yang berjudul lengkap Ta’limul
Muta’alim Thariqatut Ta’allum tersebut pun tak ada catatan yang menjelaskan.
Baru pada tahun 996 H, Syekh Ibrahim bin Ismail menuliskan syarah (penjelas) untuk kitab tersebut. Dalam syarah yang berjudul sama tersebut, Syekh Ibrahim bin Ismail
menjelaskan bahwa kitab tersebut adalah kitab populer dilingkungan pendidikan
kala itu. Terutama pada Kerajaan Ottoman dibawah pemerintahan Sultan Murad III
(Murad Khan bin Salim Khan). Sultan Murad III sendiri memimpin pada rentang
waktu 908 – 1003 H / 1574 – 1595 M.
Dalam
catatan Yusuf Alyan Sarkis pada Mu`jam
al-matbu`at al-`arabiyah wa-al-mu`arrabah menjelaskan perjalanan panjang
kitab Ta’limul Muta’alim tersebut.
Naskah kitab tersebut diketahui pertama kali dicetak di Jerman pada tahun 1709
oleh seorang orentalis bernama Ralandus. Kemudian pada tahun 1838 M dicetak
ulang oleh orentalis Jerman, Kaspari di kota Liepzig, Jerman. Dalam edisi ini
mendapatkan catatan tambahan oleh M. Plessner. Diketahui pula pada tahun 1265 H
dicetak di Marsadabad. Lalu, dicetak di
Qazan pada tahun 1898 M dengan format 32 halaman. Lantas pada tahun 1901 M dicetak
dengan masih 32 halaman namun dengan sedikit penambahan dihalaman belakang.
Kitab
ini juga ditemukan dicetak di Tunisia pada tahun 1286 H dengan format 40
halaman. Lalu, di Tunisia Astana pada tahun 1292 H berubah menjadi 46 halaman
dan tahun 1307 H diringkas menjadi 24 halaman saja. Sedangkan di Mesir baru
diketahui dicetak pada tahun 1300 H dengan format 40 halaman, lalu pada tahun
1307 H membengkak menjadi 52 halaman dan bertahan sampai cetakan pada tahun
1311 H. Perbedaan jumlah halaman tidak dipengaruhi isi kitab yang berubah,
hanya disebabkan oleh penggunaan huruf dan tata letak saja.
Haji
Khalifah dalam Kasyfud Dhunun juga
mencatat kitab tersebut pernah dialihbahasakan dalam beberapa bahasa.
Diantaranya dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nushuh bin Israel dengan
judul Thalibin fi Ta’limil Muta’allimin.
Petualangan di Indonesia
Lantas,
bagaimana naskah kitab Ta’limul Muta’alim
bisa sampai ke Indonesia? Ada beberapa asumsi yang disampaikan. Pertama, diduga
kitab ini masuk ke nusantara bersama dengan masuknya Islam awal yang dibawa
oleh Wali Songo. Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas
Walisongo menilai aturan tata krama dalam Ta’limul Muta’alim menyerupai aturan Guru Bakti. Yaitu sistem pendidikan yang menjadi cikal bakal
pesantren.
Sedangkan
ada pula yang menduga masuknya kitab tersebut bersama dengan meningkatnya
intensitas pendidikan ke Timur Tengah. Yaitu berkisar pada abad ke-XVIII akhir
dan ke-XIX. Adapun jika dilihat dari kemadzaban, diduga kitab ini masuk lebih
akhir. Syekh az-Zarnuji yang bermadzab
hanafiyah masuk akhir-akhir ini, karena pada dasarnya Islam di Nusantara
menganut madzab syafi’iyah.
Terlepas
dari awal masuknya kitab tersebut ke Nusantara, namun penyebarannya begitu
masif. Selain banyak dikaji di pesantren – pesantren salaf hingga saat ini,
juga banyak karya yang dilahirkan oleh ulama Indonesia. Ada sebuah naskah yang
dikeluarkan oleh Penebit Al Miftah, Surabaya yang berupa naskah berharakat (musyakalah). Lalu ada pula karya KH.
Hammam Nasiruddin dari Grabag, Magelang yang menerbitkan naskah kitab ini dalam
format bahasa Jawa dengan makna jenggot. Yaitu sistem pemaknaan yang dituliskan
artinya dibawah kalimat yang diartikan dengan huruf Arab Pegon dengan model italic.
Makna Gandul: Arab Pegon yang tertulis italic ke bawah |
Terjamah terbitan Menara Kudus |
Adapula
terjemah kitab Ta’limul Muta’allim
karya Drs. Aly As’ad, MM dengan judul Terjemah Ta’limul Muta’allim Bimbingan
Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan. Buku yang diterbitkan oleh Menara Kudus. Buku yang
pertama kali dicetak pada tahun 1976 tersebut telah mengalamai cetak ulang
berulang kali. Pada tahun 2007 saja telah mencapai cetak ulang ke-27.
Dan
begitulah sekelumit petualangan kitab Ta’limul
Muta’allim di dunia pendidikan Islam. Kitab tersebut terus bergulir menebar
manfaat hingga batas yang jauh ke depan. Selama pendidikan pesantren masih
eksis, maka selama itu kitab Ta’limul
Muta’allim akan terus dipergunakan.
Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi