menu

Rabu, 30 September 2015

AKU RINDU KESAKTIANMU




48 tahun silam
begitu dramatis dirimu menepis peluru-peluru komunis
tameng dadamu tak bergeming
meski darah membasahi negeri
Bintang tetap berpijar
menghempaskan atheisme

inilah kesaktianmu
menjunjung tinggi bintang
mengesakan Tuhan

kini...
Pijarmu meredup tertutup tafsir eksklusif
menghancurkan liyan
berdalih membasmi kemungkaran
menegakkan kemakrufan

aku rindu kesaktianmu memendarkan
cahaya bintang yang menyinari
cahaya bintang yang menghangatkan
dalam keesaan Tuhan

karat ketamakan menistakan persamaan
karat nafsu pribadi melecehkan kebersamaan
Karat keserakahan menghancurkan kemanusian
Rantaimu hampir putus
manusia sudah tak peduli keadilan
semua serba memikirkan dirinya sendiri
manusia sudah tak beradab
semua yang penting didapat

aku rindu kesaktianmu menghapus
karat yang merapuhkan manusia
menjadi tak adil dan beradab

begitu pula kegersangan
mengancam kerindangan beringinmu
perkara kecil memicu tercerabutnya akar persatuan
tidak makan akar dicabut
tidak sefaham akar dicabut
tidak searah akar dicabut
semua tercerabut, beringin pun goyah
Persatuan akan punah

aku rindu kesaktianmu menyemai
memupuk akar mengokohkan beringin
menghijaukan persatuan

keliaran juga merasuk di banteng-bantengmu
banteng lupa sebagai banteng
bertugas menjadi wakil rakyat
menyampaikan hikmah dan kebijaksanaan
banteng sibuk menyeruduk yang berbeda
tak peduli itu rakyat atau apa
yang penting ia terus mengunyah
persetan dengan rakyat
banteng mewakili untuk berkuasa
bukan untuk memimpin

aku rindu kesaktianmu menjinakkan
banteng liar menjadi penurut
mengemban amanah menghikmahkan kebijaksanaan

ketandusan bagi padi dan kapasmu
juga menjalar seram
orang kaya saja yang menikmati padi
orang berpangkat saja yang menyandang kapas
Rakyat kecil dihempaskan
tak peduli benar salah
orang besar dijunjung
tak peduli pangeran atau bajingan
tak ada namanya keadilan sosial
yang ada hanya untuk segelintir orang

aku rindu kesaktianmu menyuburkan
menumbuhkan padi dan kapas
membagi dengan adil

aku rindu kesaktianmu Pancasila


Bunder, 01 Oktober 2013
AYUNG NOTONEGORO


KIAI IHSAN, KITAB DAN KOPI



 
KH. Ihsan Jampes, Kediri
Salah satu ulama Nusantara yang karyanya memiliki reputasi internasional adalah Kiai Ihsan, atau biasa dikenal dengan nama Kiai Ihsan Jampes. Jampes sendiri merupakan tempat kelahirannya di daerah Kediri. Beliau dilahirkan pada tahun 1901 dengan nama kecil Bakri.

Selayaknya keluarga pesantren, Kiai Ihsan juga menempuh pendidikannya dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Ilmu-ilmu dasar keislamannya dipelajari langsung kepada kedua orang tuanya, kemudian dilanjutkan ke beberapa pesantren lain.  Mula-mula ia ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri yang diasuh oleh pamannya sendiri, KH. Khazin. Dari sana, kemudian, Kiai Ihsan melanjutkannya ke Pesantren Jamsaren, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudaian dilanjutkan ke Pesantren KH. Shaleh Darat dan Pesantren Mangkang, Semarang, Jawa Tengah. Lalu ke pesantren Pundun, Magelang, Jawa Tengah; Pesantren Gondanglegi, Nganjuk, Jawa Timur dan Pesantren Kademangan, Bangkalan asuhan Syaikhona Kholil.

Meski hanya belajar di seputaran Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak mengurangi sedikitpun kealiman Kiai Ihsan dibanding dengan yang belajar di Timur Tengah. Penguasaannya terhadap khazanah keilmuwan Islam dan gramatikal Bahasa Arab tidak diragukan lagi. Hal ini ditandai dengan karya-karyanya yang memiliki reputasi internasional.

Salah satu masterpiece Kiai Ihsan adalah Sirajut Thalibin. Buku ini merupakan syarah (penjelas) dari kitab al-Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Buku ini membahas persoalan-persoalan tasawuf. Kitab ini membuat para pengkaji “etika al-Ghazali” di Eropa terkesima. Doktrin-doktrin Al-Ghazali yang begitu rumit, dapat diuraikan secara gamblang oleh Kiai Ihsan. Tak ayal lagi buku yang ditulis sekitar tahun 1932-1933 itu menjadi rujukan diberbagai belahan dunia. Menurut KH. Said Aqil Siradj, buku tersebut juga menjadi kajian dibeberapa majlis taklim di Afrika maupun di Amerika. Bahkan buku tersebut menjadi  buku wajib untuk kajian post-graduate di Universitas Al-Azhar Mesir hingga kini. Tebal halamannya sekitar seribu halaman yang terbagi dalam dua jillid.

Buku tersebut terus dicetak ulang hingga kini. Pada tahun 2009 kemarin, kitab Sirajut Thalibin tersebut diketahui dibajak oleh penerbit Bairut, Lebanon, Darul Kutub Ilmiah. Dimana nama Kiai Ihsan Jampes di ganti menjadi Syekh Ahmad Zaini Dahlan al-Hasani al-Hasyimi (w. 1886). Selain penggantian nama pengarang, kata pengantar (taqridha) yang ditulis oleh KH. Hasyim Asyari Jombang, KH Abdurrahman bin KH. Abdul Karim Kediri, dan KH. Mahumammad Yunus Abdullah Kediri juga dihapus. Diduga, pembajakan kitab tersebut telah berlangsung sejak tahun 2006.

Karya lain Kiai Ihsan Jampes yang terbilang cukup besar adalah Manahijul Imdad. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Irsyadul Ibad karya Zainuddin al-Malibari. Kitab ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 mengalami cetak ulang. Tebalnya mencapai 1050 halaman dan terbagi menjadi dua jilid.

Kealiman Kiai Ihsan ini menarik perhatian Raja Faruq dari Mesir. Raja tersebut mengirim utusan untuk membujuk Kiai Ihsan agar mau mengajar di Universitas Al-Azhar. Namun, kiai yang tawadlu’ tersebut menolak penawaran dari Raja Faruq dengan halus dan memilih untuk tetap mengasuh pesantrennya di Kediri.

Berteman Kopi



Kiai Ihsan semenjak kecil sangat suka menonton pertujukan wayang yang semalam suntuk mengakrabkannya dengan minuman kopi (juga rokok). Kebiasaanya meminum kopi dilanjutkan hingga akhir hayatnya. Kopi selalu menjadi pendampingnya ketika Kiai Ihsan membaca dan menuliskan karya-karyanya.

Kegemarannya pada kopi dan rokok sampai-sampai menginspirasi Kiai Ihsan untuk menuliskan kitab tentang keduanya. Kitab tersebut berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayanil Qahwati wa al-Dukhan (Petunjuk bagi Saudara-Saudara Tentang Keterangan Kopi dan Rokok). Kitab yang setebal 53 halaman tersebut berupa nadzom (syair) berbahasa Arab yang memuat tentang manfaat, bahaya, serta hukum kopi dan rokok yang ditinjau dari berbagai aspek. Baik dari tinjauan hukum Islam maupun kesehatan.

Sejak abad ke sepuluh, kopi dan rokok telah melahirkan pertentangan tentang hukumnya. Banyak ulama yang mengharamkan kopi pada saat itu. Namun argumentasi yang mendasarinya tidaklah jelas dan kuat. Kiai Ihsan Jampes mengutip dari karya Abu Bakar bin Abdullah as-Syadili, mengatakan bahwa ulama yang pertama kali mengkonsumsi kopi adalah Al-Najam Al-Ghazi.

Menurut Kiai Ihsan Jampes sendiri, sebagaimana tercantum dalam kitabnya tersebut mengatakan:

Wabihi qod jazama ibnu hajari # wa-r-romli ma’ naqlihimal muharrari
An shohibil Ubabi qola innahaa # la tujilul aqla wa kun muntabihaa
Watuhshilul nasyatha thiybal khathari # ma’ adamil insya’i lidzoruri
Bal rubbama kana mau’natan alaa #  jiyadatil amali khud muhashshola
Fattajih inna lidzallika hukmahu #  fain wujida tha’atan amaluhu

Dalam syair tersebut, Kiai Ihsan berpatokan kepada pendapatnya Ibnu Hajar al-Haitami dalam Syarah Al-Ubab dan Imam Romli dalam Fatawa-nya, dimana kedua pendapat tersebut dinukil dari kitab Al-Ubab yang ditulis oleh Al-Alamah Syekh Al-Qadhi Ahmad bin Umar al-Mujzad. Dimana, kopi sesungguhnya tidak menghilangkan akal, menumbuhkan semangat, menenangkan hati, dan serta tanpa adanya keraguan akan bahayanya. Kopi terkadang juga membantu untuk menambah amal perbuatan. Oleh karena itu, dalam menyikapi hukum minum kopi ambillah pendapat yang unggul, yaitu yang mengatakan hukum minum kopi itu tergantung pada tujuan minumnya. Jika minum kopi tersebut bertujuan untuk menambah keta’atan maka minum kopi tersebut dapat menghasilkan hikmah.

Pada dasarnya suatu perbuatan itu tergantung dengan tujuannya, termasuk dalam hal minum kopi. Kopi bisa berhukum mubah (boleh), apabila dilakukan untuk tujuan-tujuan yang mubah. Misalnya untuk hidangan. Bisa pula bernilai sunnah (mendapatkan pahala), jika ditujukkan untuk perbuatan-perbuatan sunnah, misalnya untuk menemani dalam belajar agar tidak mengantuk. Minum kopi pun bisa menjadi haram tatkala meminumnya untuk tujuan haram, seperti mengkonsumsi obat-obatan terlarang dengan dicampurkan pada kopi.

Menurut para ahli medis meminum kopi dapat mendatangkan beberapa penyakit. Namun menurut Kiai Ihsan penyakit tersebut tidak ditimbulkan serta merta dari kopi itu sendiri. Kopi bisa berbahaya bagi orang yang memiliki penyakit lain, seperti halnya penyakit pencernaan.

Diakhir pembahasannya tentang kopi (bab pertama), dalam kitabnya tersebut, Kiai Ihsan Jampes mengutip sebuah syair yang diucapkan oleh Ibnu Abdillah al-Samarani:

Alayka bi aklil bunni fi kulli saa’atin # fafil bunni lil akli khamsu fawaaidi
Nasyathun wa tahdliimun wa tahlilu bulgami # tathoyyibu anfasin wa awnun liqosidi

Tetaapkanlah minum kopi setiap saat
Maka didalam meminum kopi terdapat lima manfaat:
Menumbuhkan semangat, melancarkan pencernaan, dan membersihkan riak
Juga membaguskan nafas serta membantu dalam meraih tujuan.

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi Banyuwangi



Minggu, 27 September 2015

Membaca Sejarah Ala Gus Dur





Gus Dur sebagai sosok yang kompleks semakin menemukan relevansinya. Keluasan pengetahuan dan kedalaman pemahamannya akan berbagai hal menjadikan Gus Dur sosok yang sulit untuk dikategorikan dan dibatas-batasi. Penguasaan akan keagamaan yang mendalam tak berhenti menjadikannya menjadi seorang ulama saja. Tapi beliau juga mahir bergerak dibidang politik, sosial, kebudayaan, seni, olahraga dan juga sejarah. Bidang sejarah inilah yang coba penulis fahami dari sosok Gus Dur.

Dalam kumpulan artikelnya yang diterbitkan LKiS tahun 2010 (cet. 1) yang bejudul “Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur” mengajarkan cara membaca sejarah. Sejarah bagi Gus Dur bukanlah kebutuhan akademis yang sarat dengan rujukan-rujukan ilmiah, namun sejarah bagi Gus Dur juga bisa berasal dari cerita tutur yang berkembang di masyarakt setempat selagi bisa diautentikkan secara logis. Dengan demikian sejarah adalah sebuah fondasi untuk memahami masa sekarang dan masa depan kelak. Sejarah tidak hanya sebatas mengetahui masa lampau, namun bagaimana menarik benang merah dan mencari subtansi.

Sebagaimana yang ditulis oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam kata pengantar buku tersebut, penafsiran sejarah yang dilakukan Gus Dur cenderung kontroversial. Namun dibalik kontroversi penafsiran sejarah ala Gus Dur, pesan moral, kritik, dan upaya mengambil hikmah disetiap peristiwa sejarah tidak pernah ditinggalkan. Bagaimana Gus Dur mengaitkan perkembangan LSM/NGO dengan kisah perseteruan antara Sultan Hadiwijaya dengan menantunya, Pangeran Sutawijaya. Atau juga bagaimana Gus Dur mengupas kealpaan ngopeni sektor maritim oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dan juga kesultanan Banten yang mengakibatkan kekalahan melawan kompeni.

Namun dari serangkaian penafsiran sejarah yang dilakukan oleh Gus Dur adalah tentang relasi negara dan agama. Dalam beberapa kupasannya Gus Dur memahami beberapa konflik kerajaan di Nusantara sebagai bentuk pertentangan agama. Bala bantuan pasukan China (diyakini Gus Dur sebagai pasukan muslim dibawah pimpinan Laksmana Ceng Ho) yang membantu Raden Wijaya untuk mengalahkan Kerajaan Singosari dibawah kekuasan Prabu Jayakatwang bukan semata-mata perkara politik namun karena perbedaan agama antara Islam yang dianut Ceng Ho dan Raden Wijaya (dugaan Gus Dur) melawan Jayakatwang yang beragama Bhirawa (Hindu-Budha). Adapula perang Bubat yang juga diartikan sebagai upaya pencegahan perpaduan antara dua kerajaan berhaluan Bhirawa yaitu Majapahit dan Pejajaran oleh sekelompok elit yang beragama Hindu-Murni atau Islam.

Selain itu, Gus Dur juga membedah kemungkinan konflik agama yang melatarbelakangi penyerangan Kusuma Wardani dari Kadipaten Kediri yang beragama Bhirawa terhadap Prabu Brawijaya V yang memimpin Majapahit yang mulai mengalami proses islamisasi. Dimana kelak Kusuma Wardani yang bergelar Prabu Brawijaya VI juga diserang oleh Kerajaan Demak yang beragamakan Islam. Dan juga masih banyak tafsiran-tafsiran atas kronik sejarah yang dilakukan Gus Dur sebagai bentuk konflik agama.

Dari hal tersebut, penulis menangkap pesan Gus Dur yang menentang formalisasi agama dalam kenegaraan. Ketika agama diformalkan dan integral dalam bentuk negara akan menyulut konflik dari penganut agama lain sebagaimana yang telah tersaji dalam sejarah panjang Nusantara. Gus Dur seakan menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus memandang agama sebagai sesuatu yang simbiotik, sebagaimana yang telah dikonsepsikan oleh KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahid Hasyim yang tak lain kakek dan ayahandanya.

*) Profil Buku: 
Judul buku  : Membaca Sejarah Nusantara
Penulis       : Abdurrahman Wahid
Pengantar   : KH A Mustofa Bisri
Penerbit      : LKIS, Yogyakarta
Cetakan     : Pertama, 2011
Tebal buku  : 133 halaman

Banyuwangi, 26 November 2014



Ayung Notonegoro, Penggiat Literasi Banyuwangi

Sabtu, 26 September 2015

SURAT DI PENGHUJUNG FAJAR


 
“Ping!”

Ponsel lelaki berjanggut tipis itu berdenting. Membangunkan dari tidurnya. Ia terperanjat dan segera bergegas. ia membasuh muka dan berwudlu. 

Kemudian, ia beranjak menelusuri tangga. Anak tangganya tak sepenuhnya terlihat. Keburaman fajar – fajar yang menuju penghujung – menutupinya. Cahaya biru, tak seberapa lama, berpendar lembut. Disusul kemudian pendar cahaya yang lebih terang dari layar benda berwarna hitam itu.

Sebuah laptop menyala. Sinarnya menerangi ruang dan sepotong wajah lelaki berjanggut tipis itu. Sisa ruang dan bagian belakang tubuh lelaki berjanggut tipis itu masih dibalut oleh keburaman cahaya fajar – fajar yang menuju penghujung.

Tampaknya pesan di ponsel lelaki berjanggut tipis itu menyerunya untuk segera membuka laptop. Jari-jarinya terlihat lincah melompat-lompat di atas keyboard laptop itu. Beberapa saat kemudian tampak deretan kata dari layar yang terang itu. Sebuah surat.

Memang, saat ini, surat tak hanya berupa kertas berperangko pada sampulnya. Surat elektonik begitu orang menyebutnya. Cukup dengan akses internet, surat menyurat dapat berlangsung dalam hitungan detik. Tak peduli jarak sejauh apapun membentang.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu pun lansung dihujamkan ke surat itu. Sekejap saja keheningan dan kekhusuan menenggelamkannya. Andai ada microskop canggih yang mampu memindah kerja otak, mungkin akan terlihat pijar-pijar saraf di otak lelaki berjanggut tipis itu. Memercikkan kenangan dan letupan refleksi. 

***
Buku bersampul hijau bergambar sebuah daun berwarna coklat memercik terlebih dahulu dari pijar kenangan lelaki itu. Sebuah novel yang entah siapa nama asli penulisnya itu. Mengisahkan cinta gadis ingusan hingga beranjak dewasa. Lengkap dengan derita hidup dan kehampaan tanpa seorang ayah. Dibumbui dengan kedatangan seorang lelaki bak malaikat yang menjadi penolong. Lelaki yang seolah berperan sebagai ayah sekaligus kakak laki-laki dan seiring waktu menjelma menjadi orang terkasih.

“Aku tak berusaha membandingkan diriku dengan lelaki dalam novel itu.” Desis lelaki yang berjanggut tipis itu dalam kesunyian fajar, fajar yang menuju penghujung.

Selalu ada sebuah pesan yang tak tertulis diantara rimbun kata yang tertulis. Bahkan dalam rentetan kata yang membuku. Setebal apapun buku itu. Mendialogkan kata dengan aliran darah, kemudian membincangkannya dengan kesahduan jiwa adalah bagian dari upaya-upaya mengais pesan yang tak sempat terketik itu.

“Aku menangkap satu pesan dalam novel itu. Sebuah pesan bahwa apapun dalam hidup ini bisa terjadi. Terkadang pahit, sangat pahit atau bisa pula sebaliknya. Manis dan sangat manis. Dan fitrah kita dalam hidup hanyalah menerima serta berusaha untuk bisa menikmatinya.”

“Bukankah hidup itu soal keberanian menghadapi yang tanda tanya?” Lelaki itu menggumamkan penggalan puisi Soe Hok Gie yang masyhur itu, “Tanpa pernah kita mengerti, tanpa pernah memahami. Terimalah dan hadapilah.” Pungkasnya.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Bibirnya yang tak bergetar itu tampak mengeluarkan sesuatu. Mungkin desahan. Bisa pula rintihan.
Tidak. Lelaki berjanggut tipis itu menggumam lirih. Kesunyian fajar – fajar yang menuju penghujung – sekalipun, tak akan bisa mendengarnya. Begitu lirih.

“Kisah itu seperti musik klasik. Menyenandungkan kegetiran di satu waktu. Kadangkala kebahagiaan di waktu yang lain.”

“Tak peduli engkau menuturkannya dengan riuh, seriuh kicau burung di pagi hari. Aku tak pernah bosan mendengarnya. Dengan termangu aku menyimaknya.”

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Pelupuk mata lelaki itu seolah berbicara. Ingin menyampaikan satu potong kenangan yang tersirat dari penggal paragraf surat di waktu fajar – fajar yang menuju penghujung – itu.

“Puncak itu menjadi mercusuar penuntun diriku menuju pulau jiwamu.”

“sengalan-sengalan nafasmu yang mengais oksigen kala menuju puncak itu tak ubahnya pesan-pesan pendekku selama beberapa bulan ini. Sebuah pesan – yang tak salah kuingat – awal kali padamu adalah ungkapan terima kasihku atas kehadiranmu di acara itu. Acara yang pertama kali aku mengenalmu. Entah bagaimana ceritanya, acara itu pun dihelat di lereng puncak gunung yang menjadi mercusuar penuntunku melabuhi pulau jiwamu.” Buliran mata di mata lelaki berjanggut tipis itu melontarkan cerita.

“Seandainya di lereng itu, engkau tak bersikap acuh.” Mata itu terpejam. Buliran itu mengalir. Membasahi pipi.

Selang beberapa detak jarum merah di jam dinding, mata lelaki berjanggut tipis itu kembali terbuka.
Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

“Benar kiranya, jarak terjauh adalah lupa. Hanya dengan itu, jangankan hanya sekedar masalah letak, masalah waktu pun bisa terlipat. Membincang kenangan adalah membincang jarak dan waktu. Hanya lupa yang bisa menyingkirkannya.” Kerut-kerut dahi lelaki berjanggut tipis itu seolah berteori.

“Aku pun serupa. Jemari tanganmu yang lentik, pundakmu yang tak begitu kukuh, lingkar tubuhmu yang sepegelangan tanganku, dan juga ranum merah jambu bibirmu telah menjadi fosil dalam benakku. Kenangan yang menjadi prasasti. Yang membuncahkan kegundahan tiap kali mengingatnya.”

Kembali jatuh sepotong, semacam embun, terjatuh dari kelopak mata lelaki berjanggut tipis itu.

“Teringat memang berbeda dengan sengaja mengingat. Tapi bagiku itu sama. Ingatan yang datang silih berganti dalam sadar dan tak sadarku.”

 Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Lekat-lekat ia menyusuri paragraf demi paragraf. Giginya terdengar gemeretak. Mengeratkan suatu penyesalan akan satu keteledoran. Satu kesalahan yang berujung fatal.

“Aku kadang berfikir, mungkin ini cara Tuhan untuk menuntunku pada satu kepastian. Kepastian yang telah aku tetapkan sejak aku belum mengenalmu.” Bibir bergetar itu menggumam sahdu.

“Kepastian itu tak ubahnya sembilu di mata jelitamu. Menghujam jiwa dengan serentetan caci maki yang seharusnya itu terhujam didahiku. Letupan-letupan sumpah serapah yang seharusnya memborbardirku. Bukan kamu.”

Gigi lelaki itu gemeretak. Mengernyitkan suara yang pilu.

“Adakah sesuatu yang lebih hebat dari sepotong kata maaf?” Buliran itu kembali mengalir di ceruk hidung dan pipinya.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Dalam sergapan hawa dingin di waktu fajar – fajar yang menuju penghujung – lelaki itu terus menyelami suratnya. Surat yang mengaduk samudera jiwa. Menggelorakan gelombang tinggi di pulau hatinya. Meluapkan suatu kisah yang berujung nestapa. Tidak. Kisah itu masih belum berujung, meski telah menukik curam.

“Tahukah engkau dimana letak diri ini?”

“Ya, direlung hati. Disana ada satu tempat yang absurd. Tak seorang pun mampu mengunjunginya. Bahkan diri sendiri pun tak kuasa memasukinya walau sekedar untuk menata atau merapikan tempat itu. Ia hanya bisa dimasuki oleh sublimasi kenangan yang telah terekstrak oleh jiwa. Disanalah hembusan sesuatu yang lebih lembut dari angin ditiupkan. Menebarkan aroma senyum atau derai air mata. Ditempat itu, aku meletakkanmu.”

“Mungkin ditempat seperti itu pula engkau meletakkanku. Tanpa pernah bisa engkau mengubahnya. Bahkan dalam mimpi pun engkau tak kuasa menyentuh tempat itu.” 

Buliran serupa embun itu kembali terurai.

Sorot mata lelaki berjanggut tipis itu kembali menghujam ke surat itu.

Tak lama kemudian, tubuh lelaki berjanggut tipis itu tertunduk. Menghela nafas panjang dan merebahkan dirinya. Matanya yang terus berlinang itu, menatap langit-langit atap. Keburaman fajar – fajar yang menuju penghujung – menyelimutinya.

“Jemari tanganmu tak sehangat biasanya malam itu. Sorot mata yang engkau alihkan lebih tajam menancap di ceruk sukmaku. Sepanjang waktu aku menahan getaran jiwa. Rasa yang begitu nyilu. Tak terperikan.”

“Mungkin nyilu ini tak sebanding dengan perih yang engkau rasakan. Aku terima. Bahkan jika ada siksa yang lebih perih dari itu, aku rela menerimanya.”

“Terang bulan itu, terasa gerhana.”

Lelaki berjanggut tipis itu mengeluhkan nafas panjang. Menyaingi nafas muadzin subuh yang lamat-lamat berkumandang. Menandakan fajar telah mencapai penghujung.

***
Tak begitu lama lelaki berjanggut tipis itu beranjak. Air bekas wudlu bercampur air mata itu masih membasahi janggutnya. Ia tunaikan panggilan Sang Kuasa di pangkal hari itu. Kemudian ia bersimpuh. Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya mengatup di depan wajahnya. Selayaknya orang berdoa. 

Tak ada yang tahu apa yang dirapal lelaki berjanggut tipis itu. Mungkin, malaikat pencatat doa pun tak mendengarnya. Atau jangan-jangan ia hanya terdiam. Membisikkan doa pada Tuhan tanpa kata. Tanpa getar hati. Hanya kepasrahan kemana Tuhan menghembuskan penghujung kisahnya di penghujung fajar itu.

“Bukankah kepasrahan adalah bentuk dari doa pula?” (*)


Banyuwangi, 27 September 2015
Pemilik Ruang Absurd