menu

Senin, 31 Agustus 2015

Melihat Buku Dalam Hidup Tan Malaka (Sebuah Resensi)


Ada suatu keyakinan pada diri saya bahwa perubahan berawal dari membaca. Tentunya, membaca yang paling mudah adalah membaca buku. Keyakinan yang demikian memotivasi saya untuk mencari pembuktian – pembuktian empiris. Salah satu diantaranya adalah dengan membaca sejarah tokoh-tokoh besar dalam perjumpaannya dengan buku.

Dalam penelusuran tersebut, ada semacam pola yang terbentuk dalam interaksi para tokoh itu dengan buku. Mereka mengawali dengan membaca, lalu menulis dan diakhiri ditulis dalam buku. Hal ini pun berlaku dalam kisah hidup tokoh besar bangsa Indonesia, Tan Malaka.

Dalam buku “Tan Malaka: Bapak Republik Yang Dilupakan” terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Tempo (cetakan ketiga: Juli 2015), pun yang menjadi fokus pembacaannya adalah perjumpaan Tan Malaka dengan bacaan dan tulisan (literasi).

Tan Malaka yang bernama lengkap Datuk Ibrahim Tan Malaka ini lahir dikalangan pemeluk Islam yang taat. Maka, tak ayal lagi, interaksi awalnya dengan aksara pun dimulai dari Al-Quran yang menjadi bacaan wajib umat Islam. Bahkan, Tan Malaka pada masa kecilnya pernah hafal Al-Qur’an, sebagaimana pengakua Zulfikar mengutip penuturan Kamaruddin, adik kandung Tan (hal. 95).

Sebagai seorang bocah yang cerdas, Tan memiliki kesempatan untuk meneruskan pendidikannya sampai ke Belanda. Pada 1913, Tan muda (usia 16 tahun) melanjutkan sekolah guru-nya di Rijkweekschool yang berada di kota Haarlem. Sebuah kota kecil di bagian utara Belanda.

Di kota inilah, interaksi Tan dengan buku menemukan momentumnya. Tempat tinggal Tan di Jacobijnestraat berdampingan dengan toko buku De Vries yang menjual buku bekas membantu gairah Tan untuk membaca. Tak hanya toko buku De Vries, tapi toko buku lainnya pun Tan kunjungi.
Tan pun mulai melahap buku-buku para filsuf dan pemikir populer kala itu. Diantaranya Thus Spoke Zarathusta dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula buku karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia, yang berjudul The French Revolution (hal. 107).

Minatnya yang tinggi dalam membaca buku-buku politik tersebut, membuat nilai sekolah Tan Malaka menurun. Sebagaimana yang dituturkan oleh Arie de Waard, teman sekelasnya di Rijkweekschool (hal. 112).

Selain buku, Tan juga menambah bacaannya dengan beragam surat kabar. Dimana dia sering kali mendiskusikannya dengan teman-teman tempat pemondokannya. Dia membaca De Telegraf, sebuah surat kabar yang anti-Jerman dan Het Volk yang rajin menyerukan pesan anti-kapitalisme dan anti-imperialisme (hal. 107).

Gairah membaca Tan Malaka tak pernah surut. Bahkan saat tinggal di Rawajati, Kalibata, Tan Malaka kerap meyambangi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen – sekarang Museum Nasional – untuk mencari dan membaca buku. Bila hendak kesana, Tan bangun jam setengah lima subuh lalu berangkat kesana. Sekitar pukul sembilan Tan baru sampai di museum (hal. 52).
Pergumulan Tan dengan dunian bacaan merangsangnya untuk menulis. Buku yang pertam kali ditulisnya berjudul Parlemen atau Soviet yang ditulisnya tahun 1920. Sepulangnya dari Belanda, Tan mengajar di sekolah rendah perkebunan teh Belanda di Deli. Disini, dia menulis Dasar Pendidikan (1921). Tak lama menjadi seorang guru, Tan hijrah ke Semarang. Disana Tan terlibat dalam dunia pergerakkan. Tan aktif di organisasi Sarekat Islam (SI). Dalam keterlibatannya di SI, Tan menulis “SI Semarang dan Onderwijs” (1921).
Keterlibatan Tan di SI mengantarkannya ke Belanda lagi. 13 Februari 1922 Tan Malaka dibuang ke Amsterdam, Belanda. Dalam pembuangannya, Tan aktif dalam gerakan Partai Komunis Belanda. Kemudian pada November 1922, Tan mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Konferensi Komunis Internasiona (Komitern), di Moskow, Rusia. Setelah kongres usai, Tan diminta Karl Radek (pemimpin komitern urusan Asia) untuk menulis.
Tan dibebaskan untuk menulis apa saja. Ia pun memilih menulis tentang sejarah dan statistik yang berkaitan dengan Indonesia. Bahan-bahan tulisannya dipesankan dari Belanda. Tulisan-tulisan tersebut diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1924 dengan judul Indonezija; ejo mesto na proboezdajoesjtsjemsja Vostoke (Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit). Setahun kemudian, buku ini kembali diterbitkan oleh Pemerintah Rusia untuk dibagikan sejumlah 5.000 ekslempar (hal. 75).
Namun, Tan tak sempat menunggu “lahirnya” buku tersebut. Tan keburu pergi ke Kanton, Tiongkok sebagai wakil Komitern untuk Asia Timur. Di Kanton (1924), Tan dipercaya untuk menerbitkan surat kabar produk Komitern dengan nama, The Dawn. Di Kanton pula, Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).
Buku yang ditulis 1924 dan diterbitkan pertama kali pada April, 1925 tersebut merupakan buku pertama yang menggagas tentang Republik Indonesia. Ketika berada di Filipina pada 1925, Tan kembali mencetak buku ini. Lantas, buku tersebut masuk ke Indonesia dan menjadi viral dengan cara diketik ulang (bahkan sampai dengan tujuh lapis kertas karbon), dikalangan aktivis dan terpelajar.
Tak ayal, buku tersebut menjadi buku favorit para tokoh pergerakan. Ir. Soekarno, sebagaimana pengakuan Sayuti Melik, selalu membawa buku tersebut. Begitu pula Muhammad Yamin juga menyuaki buku tersebut (hal. 82-83).
Pada 1925 Tan berpindah dari Kanton ke Filipina. Di tahun itu pula Tan menyelesaikan bukunya yang berjudul Semangat Muda. Tak banyak catatan tentang buku ini. Namun kepindahan Tan ke Filipina kembali mengantarkannya pada aktivitas tulis-menulis. Dia menjadi koresponden surat kabar El Debate (hal.87).
Awal tahun 1926 Tan memasuki Singapore. Kala itu, di Indonesia, PKI sedang menggelorakan untuk melakukan revolusi melawan Kolonial Belanda. Tan yang berada dipersembunyiannya (Geylang Serai, Singapore), buru-buru menulis buku guna, menurutnya, mencegah lahirnya revolusi yang masih prematur. Namun, buku tersebut telat cetak dan tak menemui sasaran awalnya, karena revolusi keburu dibekuk Belanda (hal. 89).
Namun buku berjudul Massa Actie in Indonesia menjadi sumber inspirasi massa untuk melakukan gerakan revolusi selanjutnya. Buku setebal 129 halaman tersebut, Tan menulis tentang sejarah ringkas akan arti sebuah imajinasi bernama Indonesia. Dari buku ini, WR. Supratman terinspirasi menuliskan lagu Indonesia Raya (hal. 90).
Tahun-tahun berikutnya, Tan Malaka tetap menggerakkan revolusi dimanapun berada. Baik di dalam maupun di luar negeri seraya tetap menulis. Diantaranya adalah Manifesto Bangkok (1927), Pari dan International (1927),  Aslia Bergabung (19430, Manifesto Jakarta (1945), Politik (1945), Rencana Ekonomi Berjuang (1945), Muslihat (1945), Thesis (1946), Pidato Purwokerto (1946), Pidato Solo (1946), Islam Dalam Tinjauan Madilog (1948), Gerpolek (Gerakan, Politik dan Ekonomi) (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), Pidato Kediri (1948), Proklamasi 17-8-45, Isi dan Pelaksanaannya (1948) (hal. 9).
Selain buku-buku tersebut, magnum opus dari karya-karya Tan Malaka adalah buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Buku tersebut ditulis sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943 di Desa Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta. Disebuar ruangan seluas 15 meter persegi itu, Tan menuliskan gagasannya sedari pukul enam pagi sampai 12 siang. Naskah Madilog tersebut dibawa Tan berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. (hal. 52-53).
Menurut Rizal Adhitiya Hidayat, Madilog merupakan sebuah sintesis perantauan yang dilakukan oleh Tan. Perantauan yang mengantarkannya berkenalan dengan segal dinamika pemikiran dan pergerakan. Perantauan yang berluma dari kota Haarlem, Belanda sampai di Rawajati (Hal.164-167).
Karya autobiografi Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara ke Penjara pun menjadi karya yang melegenda. Buku berjumlah tiga jilid yang berisi tentang kisah hidup dan pemikirannya tersebut terus menjadi bacaan orang-orang yang ingin mengenal Tan Malaka. Banyak buku-buku yang menulis tentang Tan berhutang banyak pada buku tersebut.
Gerakan penulisan Tan Malaka terakhir berupa pamflet-pamflet tentang kecaman terhadap Belanda dan Soekarno-Hatta yang menolak bergerilya. Pamflet itu diterbitkannya dari Markas Murba Terpendam. Yaitu sebuah tempat persembunyian Tan pada tahun 1949 di Kediri atas ajakan seorang Mayor bernama Sabaarudin (hal. 135).
Di persembunyian terakhirnya, tepatnya di Dusun Selopanggung, Semen, Kediri itu, Tan menghembuskan nafas terakhirnya. Menurut Tolu, seorang warga Dusun Selopanggung, menceritakan bahwa dirinya melihat seseorang yang ditawan bersama tumpukan buku disebuah lumbung padi oleh  Pasukan Batalion Sikatan.  Kemudian terjadi letusan dan tahanan itu tak pernah dilihatnya kembali (hal. 128)
Kejadian di lereng Gunung Wilis itu, menurut Harry Poeze, merupakan peristiwa pembunuhan Tan Malaka oleh militer. Dimana kejadian tersebut terjadi pada tanggal 21 Februari 1949 (hal. 129).
Kematian Tan Malaka tak lantas menutup keterlibatannya dalam dunia buku. Setelah sepanjang hidupnya diisi dengan membaca dan menulis buku, sepeninggalnya pun Tan Malaka memasuki tahapan untuk ditulis dalam buku. Banyak karya yang mengupas tentang Tan Malaka, baik pemikiran maupun kisah perjuangannya. Salah satu karya yang paling otoritatif adalah buku setebal 2.200 halaman yang ditulis oleh Harry Albert Poeze. Buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitiannya terhadap tokoh asli Minang ini dilakukan selama 36 tahun. Baru pada akhir Juli 2007, ia meluncurkannya dengan judul Vurguisd en Vergeten, Tan Malaka, de Linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949).
Selain karya sejarah dan pemikiran, ada juga karya tulis berjenis roman-fiksi yang berkisah tentang Tan Malaka. Seperti buku berjudul Patjar Merah Indonesia (1938),  karya Hasbullah Parendurie. Adapula yang berjudul Tan Malaka di Kota Medan karya Mochtar Nasution yang diterbitkan pada tahun 1941 (hal.127).
Begitulah kisah Tan Malaka. Perjuangannya tak berhenti sebatas usianya, namun dengan buku-buku yang ditulisnya, Datuk Ibrahim Tan Malaka terus berjuang hingga kelak. Sebagaimana Tan Malaka tulis dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara:
“Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi.”  
Banyuwangi, 1 September 2015
Ayung Notonegoro (Penggiat Literasi Banyuwangi)

Kamis, 20 Agustus 2015

MERDEKA: AYO BERLITERASI

Merdeka: Penggiat Literasi Merayakan Kemerdekaan Indonesia di Puncak Ijen

“Negeri Indoensia ketika itu merdeka, tetapi penduduk Indonesia, rakyat jelata Indonesia, Marhaen Indonesia adakah ia merdeka? Marhaen Indonesia tidak pernah merdeka.” Mereka hanya menjadi perkakas saja dari raja-raja itu dengan segala bala keningratannya...”

Penggalan dari buku Mencapai Indonesia Merdeka, tulisan Ir. Soekarno itu dibacakan oleh Saifudin Zuhri – kelak dia menjadi Menteri Agama, begitupula anaknya yang bernama Lukman Hakim Saifudin juga menjadi Menteri Agama RI untuk saat ini - dihadapan para pengurus takmir masjid. Kemudian para takmir itu berdiskusi tentang kemerdekaan dan penjajahan. [1]

Kisah masa kecil KH. Saifudin Zuhri yang ditulis autobiografinya, Berangkat Dari Pesantren, itu menggambarkan bahwa dunia literasi ikut memainkan peran penting dalam mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia ini. Dengan segala keterkungkungan penjajah Belanda, media tulis menulis menjadi solusi. Lewat tulisan – tulisan, baik berupa buku, koran ataupun pamflet – gagasan kemerdekaan, propaganda perlawanan terhadap penjajah dan hal ihwal upaya pencerdasan segenap anak bangsa disebarkan.

Setelah era politik etis – akhir abad ke-19 – yaitu dengan dibukanya lembaga pendidikan (sekolah) yang mengajarkan cara membaca dan menulis dalam huruf latin, perkembangan dunia literasi latin pun bergeliat. Pada awal kebangkitan nasional, hampir setiap organisasi atau kumpulan apapun mempunyai produk literasi. Baik berupa buku, jurnal, majalah ataupun koran. Misalnya, dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) – inspirator berdirinya organisasi Budi Utomo – menerbitkan majalah Ratnadoemilah. Adapula jurnal Bintang Hindia yang diterbitkan pertama kali di Belanda pada tahun 1902 oleh Abdul Rivai (l. 1871). Dan banyak lagi terbitan lainnya.

Memang pada beberapa dekade menjelang kemerdekaan (1900-1930) itu, tak banyak orang yang bisa membaca huruf Latin. Sebagaimana sensus yang dilakukan pemerintah kolonial pada tahun 1930, jumlah penduduk seluruh kepulauan di Indonesia tak lebih dari 7,4 % saja. Perinciannya: di Sumatera 13,1 %, di Jawa dan Madura 6% serta di Bali dan Lombok 4%. Dan presentase terbesar berada di Ambon yang mencapai 50% [2]. Namun hal tersebut tidak menghalangi rakyat Indonesia untuk berliterasi.

Sebagaimana dikisahkan oleh Saifudin Zuhri diawal tulisan ini, orang yang bisa membaca bertugas untuk membacakan buku tersebut didepan para audien yang tidak bisa mengakses bacaan. Kemudian yang mendengarkan itu mendiskusikannya antar sesama pendengar dan pembaca itu sendiri. Proses yang demikian tak ubahnya sistem pengajaran di pesantren, yaitu sistem bandongan. Sistem bandongan adalah sistem pembelajaran kitab kuning di pesantren dimana qori (pembaca kitab), membacakannya dihadapan para santri.

Namun sebenarnya, peranan literasi dalam membangun kesadaran nasional dan kemerdekaan serta perlawanan terhadap penjajah tidak hanya baru muncul pada awal abad ke-20 saja. Sebelum diterapkannya politik etis yang mengajarkan aksara Latin, penduduk Indonesia sejatinya telah berliterasi. Baik dengan menggunakan aksara Jawa, aksara Pegon maupun aksara Arab.

Proses literasi dalam kerangka melawan penjajah berkembang pada abad ke-17. Banyak karya tulis yang mengabadikan dan menyerukan perlawanan terhadap penjajah. Diantaranya adalah karya Syekh Abdus Samad al-Falimbani (1116 -1203 H / 1704-1788 M), yang berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mukminin fi Fada’ilil Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin (Nasihat bagi orang-orang muslim dan pengingat bagi orang-orang mukmin tentang keutamaan jihad di jalan Allah dan kemulyaan orang-orang yang berjihad). Kitab yang ditulis menggunakan aksara dan bahasa Arab ini sendiri merupakan kajian dalam bidang fiqih dan tasawuf, namun sarat dengan seruan untuk melawan penjajahan. Dari kitab inilah, salah satu pahlawan nasional dari Aceh, Tengku Cik Di Tiro terinspirasi untuk melakukan perlawan terhadap penjajah [3].

Di Indonesia timur juga muncul banyak karya tulis yang menyerukan tentang perlawanan terhadap penjajah. Rijali, seorang penulis asal Ambon, menulis Hikayat Tanah Hitu, dalam bahasa Melayu dan menggunakan aksara Arab Pegon yang mekonstruksi sejarah Ambon, dimana meletakkan Portugis dan Belanda sebagai penjajah “kafir” yang harus dilawan. Di Makasar juga muncul karya literasi berjudul  Syair Prang Makasar yang dianggit oleh Encik Amin. Tulisan tersebut menggunakan aksara Arab Pegon dan bahasa Melayu. Isinya berupa pujian pada Pangeran Hasanudin yang melawan penjajah Belanda [4].

Pasca perang Jawa (1725 – 1730 M), banyak para pengikut Pangeran Diponegoro yang notabane-nya adalah para ulama dan pendakwah mengubah stategi perlawanan terhadap penjajah. Selain masih menggunakan konfrontasi fisik, mereka juga mulai melakukan kaderisasi strategis dengan mengedepankan pendidikan (pesantren). Lewat pesantren itulah, dunia literasi sebagai bagian dari perjuangan melawan penjajah dilaksanakan.

Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Kyai Abdus Salam. Selain seorang pendekar pilih tanding, eks pasukan Pengeran Diponegoro ini juga merupakan juru dakwah dan ulama. Usai ditangkapnya Pangeran Diponegoro, Kyai Abdus Salam menggeser area perjuangannya dari Tegalrejo menuju ke arah timur, Tambakberas Jombang. Disini beliau mendirikan pesantren yang kelak dikenal dengan pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas Jombang. Dari keturunan Kyai Abdus Salam dikemudian hari lahir para faunding faather bangsa Indonesia. Diantaranya adalah KH. Hasyim Asyari dan KH. Wahab Hasbullah yang kelak memprakarsai resolusi jihad pada perang kemerdekaan [5].

Keberadaan pesantren kala itu, tidak hanya mengajarkan literasi ilmu-ilmu keagamaan saja. Namun, beragam ilmu militer guna melawan penjajah juga diajarkan. Diantara naskah yang diajarkan dan kemudian dirampas Belanda dan kini tersimpan di perpustakaan Lieden, yaitu satu teks dengan kode Lor 5738 bis yang berjudul Mbedil (menembak) [6].

Ilmu-ilmu kemiliteran ini, dipelajari dari teks-teks Spanyol-Portugis dan Turki-Utsmaniyah yang diterjemahkan oleh kalangan santri-mustami’ (meminjam istilah Ahmad Baso), di Bontoala-Makasar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis dan Makasar. Diantara teks tersebut ditulis oleh komandan artileri Raja Katela (spanyol), Andrea Ri Monyona dibuat pada tahun 1635 dan 1652. Dan juga tulisan Haji Bankatasi (dialek Bugis dari Haji Bektash), yang merupakan komandan artileri Kesultanan Turki Utsmani asal Anatolia [7].

Banyaknya pesantren yang menjadi basis perlawanan terhadap penjajah, membuat Belanda seringkali melakukan razia ke pesantren. Salah satu diantara targetnya adalah dengan merampas kitab-kitab pesantren yang menjadi media perjuangan literatif. Sebagaimana sebuah surat yang ditulis oleh Snouck Hurgronje tentang perampasan ini:

“Akhirnya saya memperoleh sejumlah naskah yang saya bawa dari Hindia-Belanda untuk saya sampaikan. Berikut ini terlampir koleksi naskah-naskah yang sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi dalam bahasa Jawa (dalam huruf Jawi atau Arab Pegon). Beberapa tahun lalu naskah-naskah itu saya peroleh sari kota Serang (Banten) yang sebelumnya tersimpan dan ditahan selama 16 tahun, yang kemudian saya bawa ke Batavia. Kebanyakan naskah-naskah tersebut bertema keagamaan, yang disita dari seorang pribumi yang dituduh melakukan agitasi anti pemerintah [kolonial].” [8].

Dari fakta sejarah diatas dapat disimpulkan bahwasannya literasi memiliki peranan yang tidak kecil dalam mencapai kemerdekaan bangsa ini. Dengan literasi menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kemerdekaan dan perjuangan melawan penjajah serta peningkatan aneka ragam ilmu pengetahuan. Maka, diperingatan 70 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia kali ini, kesadaran akan pentingnya literasi pun harus kembali digalakkan. Membaca dan menulis tentang penyadaran dan pencerdasan kehidupan bangsa menjadi instrumen penting dalam mengisi kemerdekaan ini.

Ayo berliterasi...!

Ayung Notonegoro
Penggiat Literasi

Fotenoot:
1.      Berangkat Dari Pesantren, KH. Saifudin Zuhri, LkiS: Yogyakarta, Cet. 1, 2013. Hal. 99 – 102.
2.      Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008 (terjemah), MC. Ricklefs. Serambi: Jakarta, Cet. 1, 2008. Hal. 346.
3.      Ensiklopedi Penulis Pesantren: Biografi Singkat Para Penulis Pesantren (Mulai Abad 14 Hingga 21 Masehi), A. Mubarok Yasin. Pustaka Tebuireng: Jombang, Cet. 1, 2009. Hal. 39-41.
4.      Pesantren Studies 2a, Ahmad Baso, Pustaka Afid: Jakarta, Cet. 2, 2013. Hal. 275
5.      Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Zainul Milal Bizawie. Pustaka Compass: Jakarta. Cet. 1. 2014. Hal.50-51
6.      Ibid, Ahmad Baso. Hal. 303
7.      Ibid, Ahmad Baso. Hal. 275-276.
8.      Naskah surat asli tersebut dapat dilihat di , Witkam, Inventory, vol.6 hal.159-60. Diterjemahkan oleh Ahmad Baso dalam catatan kaki buku Pesantren Studies 2a, halaman 144.